Menuju konten utama

Mata Elang, Si Pemburu Debitur Macet

Mereka berburu motor yang menunggak cicilan, disuburkan oleh praktik perusahaan leasing yang mengambil untung dari praktik kredit murah.

Ilustrasi profiling 'mata elang'. tirto.id/Gery

tirto.id - Sejak sore Hendrik dan dua temannya memandang penuh awas pelat nomor motor di jalan. Mereka duduk tak jenak di sebuah pos keamanan di seberang kantor perusahaan Central Santosa Finance, bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Hendrik bekerja untuk PT Tua OKI, perusahaan debt collector atau dikenal dengan istilah mata elang. Ia melakoni pekerjaan ini selama delapan tahun terakhir, dan bekerja sejak pagi hingga petang.

Meski Hendrik berperawakan kurus—berbeda dari dua temannya yang berbadan besar, ia punya nyali: pernah sekali waktu memberhentikan motor yang dibawa polisi dan tentara karena debiturnya telat membayar angsuran bulanan.

Hendrik berkata bahwa mayoritas sepeda motor yang bermasalah adalah jenis skuter matic seperti Yamaha Mio dan Honda Beat. Banyaknya kredit macet motor ini lantaran uang muka murah. Dengan hanya panjar Rp200 ribu, misalnya, debitur sudah bisa membawa pulang motor. Namun, setelah satu kali cicilan sebesar Rp700 ribu, misalnya, debitur pun kabur.

Untuk menyewa jasa mata elang seperti Hendrik, perusahaan pembiayaan—leasing maupun finance—harus melewati prosedur standar. Mula-mula mereka mengontak si debitur sebelum jatuh tempo. Bila terus menunggak selama 14 hari, leasing mengirim dua surat peringatan. Tiga pekan terus diabaikan, penagih utang yang bekerja.

Jika mereka tak menemukan alamat si debitur, tahap selanjutnya diserahkan ke mata elang. Biasanya, rata-rata unit kendaraan motor bermasalah yang masuk sayembara sudah melewati bulan ke tujuh dan delapan.

“Sayembaranya setiap kelompok mata elang bisa bawa unit itu ke perusahaan jasa mata elang sebagai pihak ketiga yang ditunjuk oleh leasing. Nanti perusahaan yang kasih duit ke mata elang dan biayanya diganti sama leasing,” kata Hendrik.

Di Indonesia, lebih dari 70 persen konsumen memilih kendaraan bermotor secara kredit. Dengan kata lain, perusahaan pembiayaan juga ikut menyuburkan praktik ini—mereka akan lebih menguntungkan transaksi jual-beli kendaraan lewat kredit ketimbang tunai.

Penyebaran Mata Elang

Pada awal bekerja, Hendrik memakai buku sebagai database kendaraan roda dua yang menunggak cicilan. Sejak 2011, buku itu diganti oleh telepon genggam jenis Nokia Communicator untuk melacak kendaraan yang bermasalah.

Sekarang, saat ponsel pintar berharga murah jadi alat komunikasi massal, para mata elang bisa mengunduh aplikasi di Google Play Store. Ada berbagai macam aplikasi Data Matel (mata elang), Mata Besi Dewata, dan Matel Mobile. Aplikasi ini memudahkan para mata elang mencari kendaraan di jalan.

Menurut Hendrik, kebanyakan pemilik motor yang menunggak cicilan dari kalangan organisasi masyarakat. Mereka membelinya bukan per unit, melainkan puluhan unit, dan dari perusahaan pembiayaan yang berbeda-beda. Unit-unit motor ini biasanya dipindahkan ke luar Jakarta, begitu juga sebaliknya.

“Ada banyak pemain,” kata Hendrik. “Bikin KTP palsu, ajukan ke leasing 10 unit. Orang Jakarta kredit motor lalu dibuang ke Bandung, Madura. Sebaliknya, orang sana kredit sama leasing dibuang ke Jakarta.”

“Kalau tidak ada mata elang, leasing bisa bangkrut,” tambah Hendrik.

Untuk di luar daerah Jakarta, wilayah yang sering menunggak kredit—atau disebut “wilayah merah”—adalah Madura, Lampung, dan Jawa. Sedangkan untuk wilayah Jakarta, misalnya, di daerah Condet (Jakarta Timur) dan Tanah Merah (Jakarta Utara). Bahkan, seringkali pemilik motor membuat surat keterangan kehilangan dari polisi, padahal masih ada.

Irvan, penagih utang dari PT Lima Tiga Belas, menyebut pekerjaan ini sering diindentikkan bagi orang dari wilayah timur Indonesia. Stereotip ini lekat karena para mata elang ini berkulit gelap, dengan dialek khas timur Indonesia.

Padahal, kata Irvan, pekerjaan ini juga dilakoni oleh orang Betawi dan Palembang.

Kelompok-kelompok mata elang ini juga bisa dikenali berdasarkan zonasi perburuan. Misalnya, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur biasanya didominasi oleh orang-orang dari Kupang; Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dikuasai orang Betawi dan Ambon; wilayah Bekasi didominasi orang Palembang. Bahkan ada juga oknum tentara yang melakoni profesi ini di daerah Cileungsi dan Cibinong.

“Dulu, Jakarta tidak seramai sekarang. Kasih kredit, alamat lengkap jelas dan tidak kabur. Kenapa diadakan mata elang? Karena banyak unit kendaraan yang hilang,” ujar Irvan.

Leasing sudah jera, banyak unit yang hilang. Ada motor Legenda tahun 2002 masih dicari sampai sekarang,” katanya. Bahkan ia pernah mendapatkan motor yang sudah 7 tahun menghilang dan menunggak kredit macet.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/18/Mata-Elang-Si-Pemburu-Penunggak-Cicilan--INDEPTH--Mojo.jpg" width="860" alt="HL Mata Elang" /

Aksi Mata Elang Memicu Pengaduan

Fenomena menjamurnya praktik mata elang di Jabodetabek maupun di luar Pulau Jawa bikin konsumen resah. Ia sering menimbulkan masalah dalam eksekusi.

Misalnya kasus yang menimpa Rivaldi di Bekasi Timur. Siswa kelas 8 ini saat mengendarai motor diberhentikan oleh enam pemuda dari PT Sanggong Jaya Utama—mitra kerja Adira Finance, dan dipaksa untuk ikut mata elang ke kantor.

Eksekusi kendaraan bermotor bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Seorang pelajar di Mojokerto tewas ditabrak truk tanki karena aksi enam mata elang yang menarik dan menendang sepeda motor tunggakan di jalanan.

Berdasarkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, jumlah pengaduan konsumen terhadap perusahaan leasing bermasalah konsisten peringkat lima besar selama dua tahun terakhir: 66 kasus pengaduan pada 2015 dan 57 kasus pengaduan pada 2016.

Sementara perusahaan pembiayaan yang paling banyak diadukan konsumen adalah Astra Credit Companies Finance (12 kasus), BFI Finance (4 kasus), CIMB Finance (4 kasus), Oto Finance (4 kasus), BCA Finance (3 kasus), dan Adira Finance (2 kasus).

“Permasalahan yang sering diadukan itu mengenai eksekusi jaminan, yakni mencapai 17 aduan,” kata Mustafa Aqib Bintoro, staf divisi pengaduan dan hukum dari YLKI.

Menurut Mustafa, dalam proses eksekusi di jalan, mestinya ada standar yang baku: bahasa sopan serta melarang adanya intimidasi secara fisik, psikis, maupun lisan. Mata elang juga tidak boleh merampas kendaraan tanpa melalui prosedur. Perusahaan pembiayaan dan mata elang harus melibatkan kepolisian dalam eksekusi unit kendaraan demi melindungi keamanan konsumen.

Selain masalah eksekusi, kasus yang diterima YLKI terkait penghitungan beban bunga dan biaya tidak transparan oleh leasing (13 kasus), perbedaan penghitungan angsuran (4 kasus), kredit macet (10 kasus), dan debt collector bermasalah (6 kasus).

Menabrak Aturan Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur soal besaran uang muka pembiayaan kendaraan bermotor bagi perusahaan pembiayaan. Merujuk aturan ini, sangat tidak masuk akal bila ada perusahaan pembiayaan yang memberikan uang muka Rp300-500 ribu, yang seharusnya Rp2 juta, untuk kisaran harga motor Rp10 juta.

Uang muka rendah menjadi pangkal aksi mata elang di jalan. Ketika konsumen seret membayar kredit, si penagih utang bakal terus mengubernya sampai di jalan.

“Dengan modal Rp500 ribu, sudah dapat motor. Padahal jika mengikuti aturan 20-30 persen dari harga motor, banyak yang tidak memenuhi syarat. Jadi pihak leasing sendiri yang subsidi uang muka yang notabene dilarang. Permainan ini menyebabkan banyak pembiayaan tidak layak tetapi tetap disalurkan,” kata Mustafa.

Celakanya, pengawasan OJK pun sebatas laporan dokumen, tidak mengecek ke lapangan.

Bagi perusahaan leasing, kehadiran mata elang membantu neraca keuangan mereka. Melalui jasa mata elang, perusahaan leasing dapat mengurangi kerugian besar.

Di lapangan pun aksi mata elang tidak selalu beres. Hendrik berkata, ada juga konsumen yang menolak ikut membawa motornya, bahkan membawa-bawa massa organisasi masyarakat.

Mereka bukanlah bukanlah pekerja tetap. Mereka diupah berdasarkan setoran unit motor bermasalah ke perusahaan leasing. Motif ekonomi inilah yang bikin mereka harus berburu di jalan.

“Kita di sini bekerja untuk bertahan hidup. Pemerintah kok urus yang cari makan Rp100 ribu? Pemerintah mau enggak debt collector jadi maling?” kata Hendrik.

Baca juga artikel terkait MATA ELANG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam