tirto.id - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari memilih menghadiri sidang putusan pengujian materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring, pada Kamis (15/6/2023). Hakim konstitusi akan memutuskan sistem pemilu apakah dilaksanakan secara terbuka atau tertutup.
"KPU hadiri sidang MK secara daring," kata Ketua KPU Hasyim Asy'ari kepada wartawan, Selasa (13/6/2023).
Komisioner KPU Idham Holik menambahkan pihaknya diundang MK dalam sidang putusan gugatan perkara itu. Sebab, KPU merupakan salah satu pihak yang terkait dalam perkara itu.
Namun, mengingat persidangan diselenggarakan di masa transisi endemi Corona Covid-19, KPU akan hadir secara daring.
"Jadi, memungkinkan hadir secara daring." kata Idham saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (13/6/2023) siang.
Idham memastikan apa pun keputusan MK tidak memengaruhi tahapan penyelenggaraan pemilu yang sudah berjalan. Pasalnya, kata dia, penyelenggaraan pemilu harus tepat waktu.
Menurut Idham, tepat waktu ini merupakan aktualisasi dari prinsip berkepastian hukum sebagaimana dalam Pasal 167 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal itu menjelaskan bahwa penyelenggaran pemilu setiap lima tahun sekali. Pasal tersebut juga merujuk pada Bab 7 a Pasal 22 e ayat 1 UUD 1945 di mana pemilu diselenggarakan di setiap lima tahun sekali.
"KPU sudah menetapkan Rabu, 14 Februari 2024 adalah hari pemungutan suara. Insya Allah semua ini akan berjalan sesuai apa yang ditetapkan oleh KPU dalam peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022," tutur Idham.
Ia mengatakan KPU akan memedomani prinsip hukum dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu 2024.
"Prinsip berkepastian hukum menjadi salah satu prinsip yang harus kami pedomani dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu Serentak 2024," pungkas Idham.
Sekadar informasi, sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR RI sepakat menolak Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Mereka menandatangani pernyataan sikap bersama. Hanya Fraksi PDIP yang tidak ikut dalam pernyataan sikap bersama ini.
Delapan fraksi yang ada di DPR juga meminta Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang saat ini diajukan mengenai pasal 168 ayat 2 mengenai sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Menurut mereka hal itu penting demi mengawal pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Mereka menilai Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 telah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk langsung mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka di parlemen.
"Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan partai politik semata," jelasnya.
Selain itu mereka meminta KPU untuk bersikap independen dan tidak memiliki kepentingan apapun dalam bekerja melaksanakan proses Pemilu.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto