Menuju konten utama

KPK Periksa Sjamsul Nursalim Terkait Pemberian SKL

KPK memanggil Sjamsul Nursalim beserta istrinya dalam kasus korupsi pemberian surat lunas yang merugikan negara.

KPK Periksa Sjamsul Nursalim Terkait Pemberian SKL
Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (5/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan kasus korupsi terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI yang merugikan keuangan negara sampai Rp3,7 triliun.

"Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diperiksa untuk tersangka SAT," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (29/5/2017), merujuk pada Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sjamsul adalah pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal dan sudah lari keluar negeri.

Ia terakhir kali diketahui berada di Singapura, di rumah duka Mount Vernon Parlour, Singapura saat melayat pengusaha Liem Sioe Liong alias Sudono Salim pada 18 Juni 2012.

Selain Sjamsul dan Itjih, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan staf khusus Wakil Presiden Farid Harianto dalam penyidikan perkara itu.

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus korupsi terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-Djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali BDNI pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Hukum
Reporter: Yandri Daniel Damaledo
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo