Menuju konten utama

KPK Periksa Pejabat Bakamla Terkait Kasus Suap

Pejabat Badan Keamanan Laut telibat dalam kasus suap pengadaan satelit monitoring. KPK mulai melanjutkan penyelidikan dengan memanggil sejumlah saksi yang berkaitan dengan kasus tersebut.

KPK Periksa Pejabat Bakamla Terkait Kasus Suap
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) bersama Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (tengah) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah memberikan konferensi pers operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Bakamla di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/12). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai memeriksa pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) terkait kasus dugaan suap dalam pengadaan satelit monitoring di institusi tersebut.

Pada pemeriksaan itu, KPK memanggil Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi pada Bakamla Noefel Hasan yang dalam laman Bakamla di http://bakamla.go.id/, Noefel berpangkat Laksamana Pertama.

"Nofel Hasan diperiksa untuk tersangka ESH (Eko Susilo Hadi), HST (Hardy Stefanus), MAO (Muhammad Adami Okta) dan FD (Fahmi Darmawansyah)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, seperti yang dilansir Antara, Senin (19/12/2016).

Selain Nofe, KPK juga memeriksa dua pegawai negeri sipil (PNS) di Bakamla, yaitu Wakhid Mamun dan Trinanda Wicaksono.

Dalam perkara ini Deputi Bidang Informasi dan Hukum Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi disangkakan Pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga menetapkan Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta, dan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka pemberi suap berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari Rp15 miliar "commitment fee" yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp200 miliar.

Paket Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla dengan nilai pagu paket Rp402,71 miliar yang juga sudah selesai lelang pada 9 Agustus 2016. Pemenang tender adalah PT Melati Technofo Indonesia yang berkantor di Jalan Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan Peralatan tersebut rencananya akan ditempatkan di berbagai lokasi di Indonesia dan terintegrasi dengan seluruh stasiun yang dimiliki oleh Bakamla serta dapat diakses di Pusat Informasi Maritim (PIM) yang berada di kantor pusat Bakamla.

KPK masih mencari keberadaan Fahmi yang saat ini berada di luar negeri.

Baca juga artikel terkait BAKAMLA atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari