Menuju konten utama
Praperadilan Miryam Ditolak

KPK Nilai Hak Angket DPR Tak Lagi Relevan

KPK menilai hak angket DPR tak lagi relevan. Tak ada kekuatan politik yang mempengaruhi proses hukum.

KPK Nilai Hak Angket DPR Tak Lagi Relevan
Tersangka pemberi keterangan palsu dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012, Miryam S Haryani, Jakarta, Jumat (19/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

tirto.id - KPK menilai hak angket KPK tak lagi relevan setelah hakim menolak gugatan praperadilan Miryam. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, keputusan itu memperjelas bahwa DPR tak bisa meminta KPK membuka rekaman penyidikan terhadap Miryam.

"Semoga putusan praperadilan ini bisa memperjelas apa yang diminta komisi III dalam hak angket sehingga clear' bahwa bukti-bukti hanya bisa dibuka dalam proses penyidikan dan persidangan," kata Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa (23/5/2017).

KPK juga mengapresiasi keputusan hakim Asiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) yang pada hari ini menolak gugatan pra peradilan Miryam. Hakim menyatakan KPK sudah sesuai prosedur dalam menetapkan status tersangka kepada Miryam.

"Kami baca pertimbangkan hakim, salah satunya disebutkan bukti-bukti seperti BAP dan rekaman sidang adalah bukti yang diakui hakim sehingga penyidikan itu sudah memenuhi 2 alat bukti," tambah Febri.

KPK juga menilai bahwa dengan penolakan tersebut, makin menguatkan bukti-bukti yang dimiliki KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan e-KTP.

Menurut Febri, keputusan hakim itu sangat penting untuk kasus Miryam yang disangkakan memberikan keterangan tidak benar di pengadilan dan juga kasus e-KTP. Alasannya, kedua perkara itu saling berkaitan sebab Miryam merupakan salah satu saksi e-KTP. Selain itu, Miryam dalam sidang sebelumnya memberikan informasi terkait ada beberapa orang yang mendapatkan aliran dana e-KTP.

“Putusan ini cukup penting karena menegaskan bukti-bukti rekaman dalam penyidikan dan persidangan merupakan alat bukti yang hanya dibuka saat penyidikan dan persidangan," jelas Febri.

Sebagaimana diketahui, DPR pada rapat paripurna 28 April lalu memutuskan untuk mengajukan hak angket kepada KPK. Keputusan hak angket yang ditolak sebagian anggota DPR ini diawali oleh permintaan Komisi III DPR yang meminta KPK membuka rekaman penyidikan Miryam S Haryani terkait kasus korupsi e-KTP dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 19 April silam.

KPK menolak permintaan itu karena rekaman penyidikan tidak bisa dibuka kecuali di persidangan.

Selain itu, anggota Komisi III untuk mengajukan hak angket terhadap KPK adalah kesaksian penyidik kasus tersebut Novel Baswedan pada sidang korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017. Saat itu Novel mengatakan Mityam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH