tirto.id - Presiden keempat kita, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, punya selera humor yang bagus. Salah satu guyonannya yang paling populer begini: Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Pertama patung polisi, kedua polisi tidur, dan terakhir polisi Hoegeng. Jika Gus Dur masih hidup saat ini, barangkali dia akan membuat satu kategori baru: Polisi lucu. Dan salah satu nominasi yang tidak bakal lewat tentu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.
Firli menjabat Ketua KPK pada akhir 2019 meski sejak awal mencalonkan diri telah menuai kritik dari publik. Firli punya masalah dugaan pelanggaran etik saat menjabat Direktur Penyidikan KPK. Pada Mei 2018 dia bertemu dengan Gubernur NTB kala itu, Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang, padahal KPK sedang menyelidiki dugaan pelanggaran korupsi dalam kasus kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont periode 2009-2016.
KPK menyatakan Firli terbukti melanggar kode etik, tapi toh DPR kompak memilihnya dan Presiden Joko Widodo melantiknya.
Firli kembali melakukan pelanggaran etik saat telah menjabat. Dia menggunakan helikopter dari Palembang ke Baturaja dan sebaliknya pada Sabtu 20 Juni 2020 dan dari Palembang ke Jakarta pada Minggu 21 Juni 2020. Hukumannya adalah teguran tertulis II, yaitu perbuatan bermewah-mewahan itu tak boleh diulangi lagi.
Selain Firli, beberapa personel yang berasal dari Polri juga pernah membuat ulah di lembaga antirasuah. Ada dua penyidik bernama Roland Ronaldy dan Harun yang merusak barang bukti dalam kasus suap impor daging sapi pengusaha Basuki Hariman berupa ‘buku merah’. Diduga dalam buku itu ada nama mantan Kapolri yang kini merupakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Kasus ini menguap begitu saja seiring dikembalikannya Harun dan Roland ke institusi asal.
Kemudian yang terbaru adalah penyidik Stepanus Robin Pattuju, berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP), lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 2009. Ia memeras Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial sebesar Rp1,5 miliar dengan iming-iming kasus jual beli jabatan tak diteruskan. Stepanus kini sudah ditahan.
Kasus ini diduga melibatkan Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar, Azis Syamsuddin.
Melawan Polisi Korup
Penyidik dari kepolisian sesungguhnya dapat menguatkan pemberantasan korupsi mengingat lembaga itu telah berdiri jauh lebih dulu dari KPK dengan perangkat yang juga lebih siap. Tapi, seperti ditunjukkan lewat beberapa contoh di atas dan belajar dari Hong Kong yang giat memberantas korupsi, bisa jadi malah merugikan.
Dibandingkan Indonesia yang berada di peringkat ke-102 berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 dengan skor 37, Hong Kong jauh di awang-awang. Negara dengan penduduk yang jumlahnya satu per 36 penduduk Indonesia itu ada di peringkat ke-11 dengan skor 77.
Keberhasilan Hong Kong menekan angka korupsi tentu tidak melalui jalan yang mudah. Situasi Hong Kong saat ini tidak berangkat dari ruang hampa. Ia muncul dari sejarah perlawanan, termasuk perlawanan terhadap polisi yang korup.
Independent Commission Against Corruption (ICAC), KPK-nya Hong Kong, dibentuk pada 15 Februari 1974 oleh Gubernur Hong Kong Murray MacLehose. Latar belakang pendiriannya tentu kegerahan pada korupsi yang mengakar di Hong Kong sepanjang 1960-1970an.
Publik, yang gerah dengan praktik kotor para pejabat, merespons antusias pendirian lembaga antikorupsi ini. Pada Oktober 1974 atau hanya sekitar delapan bulan setelah dibentuk, aduan dugaan korupsi meningkat 300 persen.
Korupsi ketika itu mengakar jauh sampai benar-benar mengganggu kehidupan sehari-hari warga, misalnya saja untuk memasang telepon atau sekadar minta tolong pemadam kebakaran. Semua harus menyediakan uang sogok atau mereka menyebutnya dengan 'tea money'.
Uang jasa ini bahkan dapat menomorduakan kemanusiaan. Untuk mendapat ambulans bagi orang sekarat, misalnya, tetap harus ada uang bagi petugas.
Hong Kong di bawah kekuasaan Inggris kala itu benar-benar kacau.
Lalu di mana polisi? Mereka ikut menjadi bagian dari budaya yang merusak tersebut. Para penyelenggara judi atau penjual narkoba bisa tak tersentuh hukum asal memberikan segepok duit. Sopir taksi bahkan bisa aman dari tilang sepanjang tahun jika membeli label khusus dari polisi.
Kekesalan publik mencapai puncak karena dua temuan. Pertama kaburnya detektif Lui Lok pada 1973 ke Taiwan bersama istri dan delapan anak. Julukannya Inspektur 500 Juta Dolar–merujuk kepada harta kekayaannya. Kini ia masih diburu ICAC.
Satu lagi adalah temuan kekayaan Kepala Polisi Hong Kong Peter Fitzroy Godber yang mencapai 4,4 juta dolar Hong Kong atau sekitar 5 juta dolar AS saat ini–hampir setara enam kali lipat dari gajinya sebagai polisi selama lebih dari 20 tahun. Uangnya tersebar di berbagai negara, selain di Hong Kong: Singapura, AS, Kanada, Australia, dan Inggris.
Godber sudah pensiun pada 1973 ketika kasus itu mencuat. Di tengah investigasi, kendati pemerintah yakin Godber tidak akan lolos dari peradilan, dia berhasil kabur ke Inggris via Singapura.
Mark Hampton dalam artikel berjudul British Legal Culture and Colonial Governance: The Attack on Corruption in Hong Kong, 1968–1974 (2012) menulis pelarian Godber berhasil diakhiri setahun kemudian. Dia diseret dari Inggris untuk diekstradisi ke Hong Kong. “Ketika ditangkap di Sussex, tepat setelah selesai jalan-jalan bersama istrinya, dia dilaporkan syok dan duduk dalam keadaan setengah sadar dan meminta minum,” catat Hampton.
Dengan barang bukti suap uang 25 ribu dolar, pada 1975, dia dihukum empat tahun penjara.
Lebih lanjut Hampton mengatakan kasus inilah yang meyakinkan MacLehose untuk “memisahkan lembaga antikorupsi dari kepolisian” agar bisa mengusut korupsi di tubuh kepolisian juga nantinya.
Anggota ICAC awalnya memang banyak yang berasal dari kepolisian. Tapi tetap saja, tidak sembarang polisi bisa masuk karena bagaimanapun target awal ICAC adalah “polisi berpangkat tinggi” yang bekerja sama dengan para pelaku kriminal.
Wajar jika kemudian aksi-aksi ICAC membuat gerah polisi. Salah satu reaksi signifikan dari polisi adalah menyerbu gedung pusat ICAC tiga tahun setelah dibentuk. 4.000 orang terlibat, dari mulai yang aktif bahkan pensiunan. Akibatnya lima anggota ICAC dipukuli, pintu-pintu gedung dirusak, dan plakat ICAC dihancurkan.
Di hari itu empat polisi sekelas inspektur dan 45 lagi dari berbagai pangkat sedang menjalani persidangan. Polisi memprotes cara-cara penangkapan ICAC karena menganggap mereka punya aturan sendiri dan melakukan adu domba. Kebanyakan dari polisi yang ditangkap memang berdasarkan keterangan dari pelaku sebelumnya yang sudah dibekuk.
Serangan ini menjadi pukulan telak bagi ICAC. MacLehose dan ICAC tak punya banyak pilihan. Jika mereka mengalah, maka yang dipertaruhkan adalah upaya pemberantasan korupsi yang nampak sudah ada di rel yang benar. Namun jika ICAC terus menjalankan investigasi tanpa pengawasan, maka akan ada perlawanan tanpa henti dari kepolisian.
Akhirnya ICAC dan polisi mencapai kesepakatan: Kejahatan sebelum 1977 akan diampuni kecuali yang tergolong 'keji', berdasarkan pertimbangan gubernur. Setelahnya ada 83 investigasi berjalan yang harus dibatalkan karena 'amnesti sebagian' tahun itu. Sebelumnya ICAC berhasil menginvestigasi 386 anggota polisi dan menuntut 126 di antaranya.
Namun pertikaian ini berhasil membawa Hong Kong ke arah yang lebih baik. Polisi akhirnya gentar dengan ICAC dan berpikir dua kali untuk melakukan pungutan liar. Setahun setelahnya perbaikan dilakukan oleh kepolisian, misalnya dengan merekrut orang-orang yang lebih profesional dan terdidik.
“Saya harus mengakui bahwa sejak itu polisi mulai melakukan reformasinya sendiri. Dan sekarang polisi dianggap sebagai salah satu yang paling efisien dan bersih di dunia,” kata Tony Kwok Man-wai, mantan Kepala Operasi ICAC yang mengabdi sejak 1996 sampai 2002.
Pada 1980-an, kepolisian Hong Kong mendapat julukan 'Asia’s finest' dari jurnalis Kevin Sinclair. Tidak ada yang menyangkal sematan tersebut–sebelum akhirnya bertindak brutal terhadap para demonstran pada 2019.
Steve Tsang, profesor Chinese Studies dari Universitas Nottingham dalam buku berjudul A Modern History of Hong Kong (2004) mendeskripsikan ICAC “salah satu hadiah perpisahan terbaik dari pemerintah kolonial Inggris.” (Hong Kong merupakan koloni Inggris sejak 1842 tapi sempat dikuasai Jepang selama Perang Dunia II, lalu diserahkan ke otoritas Cina pada 1 Juli 1997).
Bukan berarti ICAC sepenuhnya bersih; tetap ada yang diduga melakukan pelanggaran. Laporan yang terbit pada 2012 menyebutkan ada 19 aduan tentang 57 anggota ICAC yang diduga melakukan pengabaian tugas dan penyalahgunaan kekuasaan. Tapi tetap saja, kecacatan-kecacatan itu tidak membuat publik percaya lembaga antikorupsi harus 'direformasi' dan dipereteli independensinya.
Kembali ke Indonesia, sebenarnya hal serupa kita terjadi di sini. Panas dingin antara KPK dan Polri terjadi bukan hanya sekali, tapi sampai berjilid-jilid. Tapi ujung cerita antara Indonesia dan Hong Kong berbeda. Hong Kong jelas tidak mengutamakan anggota polisi atau pensiunan polisi jadi pemimpinnya, sementara Indonesia menaruh kepercayaan kepada polisi yang melanggar etik berkali-kali.
Dampaknya kepercayaan publik pada KPK menurun di tahun lalu, begitu pula tahun ini. KPK kini bersaing dengan Polri yang selama ini banyak tak dipercaya masyarakat.
Jika di Hong Kong ICAC berhasil 'men-cicak-kan' polisi, di Indonesia justru KPK yang 'di-buaya-kan' oleh Polri.
Editor: Rio Apinino