tirto.id - Dugaan upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian mengemuka seiring proses pemilihan calon pimpinan lembaga anti-rasuah ini. Sejarah masih mengingat kasus cicak vs buaya yang sempat menghebohkan pada 2009 silam dan rentetan hal lainnya, termasuk sejumlah aksi teror, yang diduga sebagai usaha untuk menggembosi KPK.
Pada Rabu (28/8/2019) lalu, seorang warga bernama Agung Zulianto telah melaporkan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, ke Polda Metro Jaya. Febri dipolisikan dengan sangkaan telah menyiarkan berita bohong.
Febri tak sendiri, ada dua tokoh lain yang juga dipolisikan oleh pelapor dan sangkaan yang sama, yaitu Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLHBI) Asfinawati serta Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.
Asfinawati menduga pelaporan ini ada kaitannya dengan proses pengawalan seleksi calon pimpinan KPK.
“Yang menarik adalah, kita bisa mendalami pelapor ini memiliki hubungan kepada siapa sehingga kita bisa tahu kepentingan siapa yang sebetulnya sedang terganggu dan coba dibawa oleh pelapor ini,” ucapnya di Jakarta, Kamis (29/8/2019), dikutip dari Antara.
Ketua Umum YLBHI ini lantas teringat dengan kasus cicak vs buaya yang menjadi sorotan pada 2009 silam. “Laporan-laporan seperti ini bukan hal yang baru dan bukan yang pertama kali,” kata Asfinawati.
“Kalau kita ingat, kira-kira 10 tahun lalu ada cicak vs buaya jilid I, ada cicak vs buaya jilid II, cicak vs buaya jilid III," tambahnya.
Kepala Divisi Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, punya pendapat serupa. Pelaporan itu diduga bagian dari upaya membungkam pengkritik panitia seleksi (pansel) dan calon pimpinan yang diduga bermasalah.
YLBHI dan ICW memang tergabung dalam Koalisi Kawal Capim KPK kerap kali kritis terhadap pansel.
“Laporan pidana tersebut merupakan serangan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengamankan pansel dan beberapa calon pimpinan KPK dari kritik masyarakat sipil," tutur Isnur dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.id, Kamis (29/8/2019).
Bermula Cicak vs Buaya
Kasus cicak vs buaya pada 2009 menjadi salah satu dugaan pelemahan KPK yang paling menyita perhatian. Istilah ini bermula dari wawancara Majalah Tempo dengan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri kala itu, Susno Duadji.
Laporan Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009 itu menampilkan judul yang dikutip dari kata-kata Susno Duadji, yakni “Cicak kok mau melawan buaya”, yang segera viral melalui jejaring sosial media. Kata ”cicak” diasosiasikan sebagai KPK, sedangkan “buaya” adalah kepolisian.
Susno Duadji, yang kemudian mengundurkan dari jabatannya sebagai Kabareskrim Polri pada 5 November 2009, diduga terlibat sejumlah kasus yang lantas dibongkar KPK, termasuk melalui mekanisme penyadapan.
Dua perkara utama yang menyeret keterlibatan Susno Duadji adalah kasus korupsi pengamanan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL) milik Anggodo Widjojo.
Nama Susno Duadji juga diduga terlibat dalam beberapa kasus lain, termasuk bailout Bank Century, kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret mantan Ketua KPK Antasari Azhar, hingga persoalan mafia pajak Gayus Tambunan.
Tak lama setelah itu, dua pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dituding telah menyalahgunakan wewenang. Beruntung, upaya kriminalisasi itu tidak berhasil setelah rekaman berdurasi 4,5 jam yang berisi permintaan bantuan Anggodo ke kejaksaan terungkap.
Serangan Legislasi Hingga Teror
Tulisan Labib Mutaqin dan Muhammad Edy Susanto bertajuk “Mengkaji Serangan Balik Koruptor Terhadap KPK dan Strategi Menghadapinya” dalam Jurnal Integritas (Juni 2018) menguak cara-cara upaya pelemahan KPK setelah kasus cicak vs buaya pada 2009 itu.
Pertama adalah uji materi UU KPK yang diajukan oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ujung upaya ini, sebut Labib dan Edy, adalah untuk memperlemah KPK agar tidak bisa lagi menyelidiki penyelewengan di lembaga-lembaga yang sebelum penerapan UU itu tidak pernah tersentuh hukum penegakan pemberantasan korupsi.
Kedua, revisi UU KPK juga telah diajukan berkali-kali. Upaya revisi itu diduga bertujuan untuk mendelegitimasi eksistensi dan lingkup kewenangan KPK.
Ketiga, hak angket DPR. Hak angket ini muncul tak lama setelah KPK mengusut kasus e-KTP yang menyeret nama Ketua DPR-RI kala itu, Setya Novanto.
Tak hanya melalui serangan legislasi, upaya pelemahan KPK bahkan dilancarkan melalui teror nyata, seperti yang dialami penyidik KPK, Novel Baswedan, pada 11 April 2017 silam.
Novel disiram air keras oleh dua orang tak dikenal usai menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Akibatnya, sebelah mata Novel mengalami kerusakan yang cukup parah.
Teror ini menimpa Novel di tengah penyelidikan kasus e-KTP yang sedang dilakukan KPK yang kemudian berhasil menjebloskan Setya Novanto ke bui. Dan hingga kini, siapa pelaku dan aktor intelektual yang mengincar Novel belum terungkap.
Sebelumnya, pada 2015, sejumlah penyidik dan pegawai KPK termasuk wakil ketua Bambang Widjojanto menerima ancaman pembunuhan. Kala itu, KPK sedang mendalami dugaan korupsi yang menyeret nama Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan.
"Kami tidak mau menuduh siapa-siapa, tapi fakta-fakta terorizing itu memang sedang kita teliti lebih lanjut dan ini harus ditangani secara baik, hati-hati, supaya kasusnya bisa selesai," jelas Bambang Widjojanto saat itu, dikutip dari Liputan6.
Sampai sekarang, upaya pelemahan KPK tampaknya masih berlanjut, termasuk dalam proses seleksi pemilihan calon pimpinan lembaga anti-korupsi itu.
Senin (2/9/2019) kemarin, sekitar seribu pegawai KPK telah menandatangani petisi untuk menolak nama-nama calon pimpinan yang dianggap bermasalah dan dikhawatirkan justru bakal menghambat pemberantasan korupsi.
"Petisi Pegawai KPK ini kami sampaikan karena kami masih menyakini bahwa Presiden Joko Widodo [Jokowi] tidak akan mungkin berdiam diri menyaksikan upaya pelemahan KPK," tandas Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo.
Editor: Iswara N Raditya