Menuju konten utama

Kota Batu, Surga Bunga di Jawa Timur

Jika Anda ke Kota Batu, datanglah ke Desa Gunungsari, sentra perkebunan bunga.

Kota Batu, Surga Bunga di Jawa Timur
Ilustrasi Kebun Mawar. Foto/iStock

tirto.id - Jika Anda melewati jalan raya bukit berbunga yang akan mengantarkan ke daerah Cangar, Batu, tepatnya kawasan Gunung Arjuno, Anda dapat melihat jejeran kios tanaman hias di sepanjang trotoar jalan. Geliat Kota Batu sebagai kota pariwisata memang turut diwarnai keberadaan para petani bunga dan tanaman hias lainnya yang tumbuh subur di dataran tinggi ini.

Bahkan, jika Anda memasuki gang-gang di kiri kanan, Anda akan dengan mudah menemukan banyak pekarangan rumah penuh aneka tanaman hias yang bisa dibeli. Hamparan perkebunan bunga tersaji apik, aktivitas perdagangan tampak selalu bergairah, dan bongkar pasang muatan tanaman hias di truk-truk pun lazim ditemui. Namun, di bulan puasa, pasar bunga menjadi sepi.

“[Hari] Minggu saja hanya dapat 4 orang pembeli,” ungkap Susi, salah satu pemilik kios.

Di hari selain bulan puasa, kios Susi ramai dikunjungi para pembeli. Ia mengaku bisa didatangi lebih dari 50 pembeli setiap harinya. Mereka berbelanja berbagai jenis bunga, tanaman taman, sampai bibit buah seperti jeruk dan apel. Harga tanaman yang dijualnya bervariasi, tergantung jenis, bentuk, dan ukurannya.

Ada jenis tanaman taman yang dijual dengan harga Rp1.500 rupiah. “Tetapi kan orang biasanya membeli 100 buah buat taman. Atau kadang sampai sekian ribu, saya ambilkan dari kebun saya,” Susi menjelaskan.

Berbeda dengan kios tanaman hias milik ibu Susi yang memanjang dan terdiri dari 4 kavling, kios tanaman hias milik Wandi, pedagang bunga lain, hanya terdiri dari satu kavling saja. Ditanya soal jumlah kisaran pembeli yang datang ke kiosnya di hari biasa, Wandi hanya menyebut angkanya bisa mencapai Rp100 ribu rupiah.

Seperti Susi, Wandi juga menjual berbagai macam tanaman. “Ini sekarang enggak lengkap [koleksi tanamannya], kalau sudah lengkap berjejer bisa lebih dari 200 macam,” ungkapnya. Harganya mulai dari lima ribu rupiah sampai 10 ribu rupiah.

Rata-rata pedagang tanaman hias di Batu ini tak cuma mengandalkan satu usaha untuk menopang kebutuhan keluarganya. Susi juga bekerja sebagai pemandu wisata petik apel. Tiket wisata petik apel seharga Rp25 ribu bisa didapatkan di kios Susi dan ia akan mendampingi wisatawan selama proses memetik dan memakan apel sepuasnya di kebun.

Pekerjaan sampingan Wandi berbeda. Ia mengelola vila yang berlokasi di belakang kios tanaman hiasnya. Karena vila itu merupakan bangunan lawas yang didirikan pada 1977an, Wandi mengaku vila tersebut sudah mulai jarang dilirik para pelancong yang lebih memilih vila-vila baru dengan konsep bangunan minimalis. Vila-vila baru yang umumnya terdiri dua kamar itu harga sewanya jauh lebih murah, sehingga lebih banyak dipilih wisatawan.

Surga Produksi Bunga Mawar

Ada banyak ragam jenis tanaman hias yang menjadi ciri khas wilayah yang telah memisahkan diri dari Kabupaten Malang ini, misalnya mawar, krisan, anturium, dan anggrek. Dari semua tanaman itu, mawar menjadi tanaman produksi nomor satu di Kota Batu ini.

Data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Badan Pusat Statistik juga menunjukkan pada 2015 produksi bunga mawar mencapai 95.698.371 juta potong, disusul bunga krisan sebesar 32.976.893 potong. Selanjutnya ada anggrek dengan 1.426.664 potong dan anturium sebanyak 545.688 potong. Produksi bunga mawar meroket dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 29.654.690 potong pada 2014 dan 84.006.810 di tahun 2013.

Di desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, banyak hamparan perkebunan bunga mawar berwarna merah, putih, pink hingga oranye. Desa ini memang terkenal sebagai pusat penghasil bunga mawar yang telah lama memasok kebutuhan pasar bunga nasional.

Maka, di desa ini mayoritas warganya berprofesi sebagai petani bunga. Ada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bunga Mawar Gunungsari yang menaungi dan mengembangkan pertanian bunga. Organisasi ini diketuai oleh Sayadi, pria paruh baya yang membagi banyak cerita kepada saya tentang pertanian bunga mawar.

Menurut Sayadi, kawasan ini sejak 1975 memang mulai dipakai untuk budidaya bunga mawar. Mulanya, petani bunga hanya tiga orang saja yang masih terkait hubungan keluarga. Mereka merintis usaha menanam bunga untuk merespons kebutuhan pasar dekorasi pengantin yang membutuhkan bunga.

Usaha ini terus berkembang, meski pada 1980-1985an warga yang terjun menjadi petani bunga hanya 5-7 orang saja. Pada dekade 1990an, mulai banyak peminat usaha ini. Jumlahnya terus bertambah pada dekade 2000-an sampai sekarang, yang jumlahnya mencapai sekitar 200-225 petani bunga di kecamatan Bumiaji.

Sayadi sendiri memiliki 2,5 hektar lahan produksi bunga mawar yang bisa terus dipanen setiap harinya. Dengan pengiriman bunga ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogya, Bali hingga luar pulau Jawa, Sayadi mengaku omsetnya mencapai Rp200-250 juta per bulan.

“Itu belum [pendapatan] bersih. Dari penjualannya saja sekitar segitu," terang Sayadi.

Ada 4 tingkat kualitas produk bunga Mawar di kebun Sayadi yang mampu dihasilkan. Kualitas nomor satu adalah bunga dan tangkai yang besar serta bersih. Pada level kedua, umumnya ukuran bunga agak kecil. Kualitas ketiga lebih kecil lagi, sedangkan kualitas nomor empat adalah bunga yang sudah mekar dan hendak diproses menjadi kebutuhan tabur bunga.

Soal pengairan, para petani bunga menggantungkan kebutuhannya pada sumber mata air yang ada di daerah tersebut. Pipa-pipa dari sumber mata air baik dialirkan hingga ke wilayah perkebunan. Dalam mencukupi kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari, warga setempat memakai HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) yang dikelola secara swadaya. Tentu tarif yang dipatok jauh lebih murah daripada air yang dikelola PDAM.

Infografik Mawar Batu

Kendala dan hambatan terbesar dalam membudidayakan bunga mawar menurutnya adalah faktor cuaca. Jika hujan turun tidak kunjung berhenti hingga malam, dapat dipastikan bunga mawar akan rusak dan gagal panen karena mendapat terlalu banyak air tapi kurang paparan sinar matahari.

Namun, bukan hanya faktor cuaca saja yang selama ini menjadi hambatan. Ada bulan-bulan tertentu saat permintaan bunga menurun, sedangkan panen bunga terus berlangsung. ”Bunga banyak kebuang atau untuk tabur, dijual murah ke makam,” terangnya.

Untuk menyiasati musim permintaan bunga yang turun, Gapoktan tengah mengupayakan solusi dengan menyuling bunga menjadi minyak. Hingga kini, uji coba yang sudah dilakukan belum berhasil karena minyak yang dihasilkan masih sedikit. Langkah uji coba yang akan ditempuh adalah menanam bunga dengan kadar minyak yang lebih banyak.

Gapoktan melalui programnya pernah membuka perkebunan bunga mawar untuk umum melalui wisata petik bunga. Program ini pernah berjalan mulai 2012 lalu, tapi hanya berjalan secara profesional selama dua tahun saja. Menurut Sayadi, karena kepala desa berganti, program Gapoktan ini kemudian kurang mendapat dukungan maksimal.

Meski sudah tak dibuka untuk umum secara profesional, sampai saat ini para pengunjung yang ingin berwisata di kebun bunga mawar masih diperbolehkan memasuki area perkebunan bunga untuk melihat aktivitas petani, memilih bunga, merangkai, dan membelinya untuk dibawa pulang. Jika pengunjung hanya berkunjung, tak ada pungutan biaya.

Selain di desa Gunungsari, desa-desa tetangga lain seperti, Punten, Sidomulyo, dan Tugurejo juga memiliki hamparan perkebunan tanaman hias yang dapat dikunjungi dan dinikmati.

Tapi, “pusatnya di Gunungsari,” ucap Sayadi. “Di desa-desa lain itu petaninya juga orang sini, yang menanam di desa lain.”

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani