Menuju konten utama

Kontroversi Eksekusi Mati Trio Kerusuhan Poso

Terjadi pro dan kontra atas hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang dituding sebagai pelaku pembantaian di Poso tahun 2000 silam.

Kontroversi Eksekusi Mati Trio Kerusuhan Poso
Terpidana mati (dari kiri) Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terkait kasus pembunuhan penganiyaan dan perusakan tiga desa di Poso, Sulawesi Tengah. FOTO/Getty Images

tirto.id - "Saya diberitahu polisi bahwa ayah saya sudah ditembak mati," kata Robert Tibo, Jumat pagi 22 September 2006 itu. Robert adalah putra Fabianus Tibo, salah satu terpidana mati yang dieksekusi dini hari sebelumnya.

Bersama Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu juga harus berhadapan dengan regu tembak. Ketiganya divonis mati setelah pengadilan menyatakan bersalah dalam kasus kerusuhan Poso di Sulawesi Tengah yang terjadi pada pertengahan tahun 2000 dan menewaskan sedikitnya 200 orang.

Segala daya dan upaya hukum telah ditempuh oleh ketiga pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini agar lolos dari maut. Tibo, Dominggus, dan Marinus membantah semua tuduhan karena memang tidak merasa melakukan apa yang ditudingkan terkait tragedi Poso yang beraroma SARA itu.

Pembelaan Menjelang Ajal

Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva sama-sama berasal dari Pulau Flores. Tibo lahir di Ende, sedangkan Dominggus adalah putra asli Maumere. Sementara Marinus Riwu kelahiran ibukota Provinsi NTT, Kupang. Ketiga orang ini adalah rakyat biasa yang sehari-hari bekerja sekuatnya demi menyambung hidup.

Tibo adalah seorang petani yang merantau ke Sulawesi Tengah di usia remaja pada era 1960-an. Pria kelahiran 1945 ini lalu menikahi perempuan setempat dan dikaruniai tiga orang anak. Tibo juga bekerja sebagai perajin rotan selain bertani. Hebatnya, semua pekerjaan itu dilakukan dengan keahlian khusus. Jari-jari Tibo tidak lengkap. Tangan kanannya tidak memiliki ibu jari.

Cerita Dominggus lain lagi. Ia lahir tepat ketika bangsa Indonesia memperingati hari proklamasi kemerdekaan pada 1967. Selulus STM selang 20 tahun kemudian, ia meninggalkan kampung halaman menuju Sulawesi Tengah karena banyak transmigran dari Flores di sana. Lelaki yang belum menikah hingga dieksekusi mati ini bekerja sebagai sopir angkot.

Marinus datang ke Sulawesi Tengah di tahun yang sama dengan Dominggus. Dengan modal dan kemampuan seadanya karena tak sempat lulus sekolah dasar, Marinus yang lahir pada 1957 membawa istri beserta anak-anaknya mengadu nasib di tanah rantau, dan kemudian menghidupi keluarganya dengan bertani.

Waktu berlalu hingga kemudian ketiga orang ini diseret ke pengadilan karena dituduh telah melakukan aksi pembunuhan, penganiayaan, serta perusakan di tiga desa dalam tragedi yang terjadi di Poso itu.

Tibo ditangkap pada akhir Juli 2000 di Morowali, Sulawesi Tengah. Lima hari berselang, Dominggus dan Marinus menyerahkan diri. Persidangan pun mulai digelar pada awal tahun 2001. Sejak hari pertama sidang di Pengadilan Negeri Palu, ketiganya selalu menyangkal seluruh tudingan yang dituduhkan jaksa penuntut umum.

Menurut pengakuan ketiga terdakwa, mereka datang ke Poso pada 22 April 2000 untuk membantu mengevakuasi puluhan siswa, guru, suster, dan pastor sekolah St. Theresia yang tengah dikepung massa. Jarak antara Poso dengan kampung mereka di Beteleme, Morowali, sendiri cukup jauh, sekitar 250 kilometer.

Sejumlah saksi pun didatangkan ke pengadilan dalam sidang kedua, dan seluruhnya membenarkan pembelaan Tibo dan kedua rekannya (Detik, 21 September 2006). Namun, pengadilan tetap memutuskan ketiga terdakwa bersalah dan menjatuhkan vonis mati terhadap Tibo, Dominggus, dan Marinus. Eksekusi akan dilakukan pada 12 Agustus 2006.

Infografik Eksekusi Mati Terdakwa kasus Poso

Pro & Kontra Vonis Mati

Pro dan kontra segera menyeruak atas putusan pengadilan itu. Puluhan ribu masyarakat Kristiani terutama yang berasal dari NTT, Maluku, serta beberapa daerah di Sulawesi, juga lembaga hak asasi manusia, mendesak agar vonis mati terhadap Tibo dan kawan-kawan ditangguhkan, bahkan dibatalkan. Seruan serupa hadir pula dari sejumlah elemen kemanusiaan dari luar negeri.

Permintaan penangguhan eksekusi mati terhadap Tibo cs. juga datang dari 5 tokoh agama terkemuka, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Julius Kardinal Darmaatmadja, Pendeta Andreas A. Yewangoe, Bhikku Dharmawimala, dan Ws. Budi S. Tanuwibowo. Mereka memohon Presiden SBY untuk bertindak dengan mempertimbangkan alasan kemanusiaan serta demi menghindari dampak lanjutan.

Pemimpin Vatikan, Paus Benediktus XVI, bahkan mengirimkan surat khusus kepada Presiden SBY tertanggal 11 Agustus 2006 yang meminta supaya vonis mati itu ditinjau kembali. Beberapa jam kemudian, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk menunda eksekusi mati yang sudah nyaris dilakukan dini harinya. Namun, pada akhirnya eksekusi tetap dijalankan selang 42 hari setelah surat dari Vatikan itu.

Presiden SBY sendiri sebelumnya telah menolak grasi yang diajukan Tibo dan kawan-kawan pada 10 November 2005. Upaya hukum lainnya, yakni kasasi dan peninjauan kembali, juga tidak dikabulkan (Antara, 2006).

Banyak yang menentang dijatuhkannya vonis mati untuk Tibo, Dominggus, dan Marianus. Namun, tidak sedikit pula yang mendukung, bahkan meminta pemerintah mempercepat pelaksanaan hukuman tembak yang sempat tertunda itu. Pihak yang pro ini meyakini bahwa ketiga terpidana memang layak diberi hukuman setimpal. Mereka menganggap, kesalahan mereka bertiga memang layak dibalas dengan hukuman mati.

Tidak lama setelah Pengadilan Negeri Palu menetapkan vonis mati, yang kemudian dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, ratusan pemuda dan mahasiswa muslim dari berbagai elemen menggelar aksi unjuk rasa yang menuntut supaya eksekusi terhadap ketiga terpidana segera dilakukan demi ketaatan terhadap putusan hukum (Koran Tempo, 6 April 2006).

Awal September 2006 atau beberapa hari sebelum jadwal eksekusi, sekitar 4.000 warga muslim Poso mendesak kepada pihak yang berwenang untuk mempercepat pelaksanaan hukuman mati tersebut. Aksi protes ini sempat mengkhawatirkan dan membuat sekolah-sekolah, pasar-pasar, toko-toko, dan pusat-pusat bisnis lainnya tutup pada hari itu.

Dan setelah eksekusi mati dilakukan, giliran kubu seberang yang bergolak, seperti yang terjadi di Atambua, NTT. Ribuan massa merusak Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Atambua. Rumah Dinas Kepala Kejari Atambua, Saut Simanjuntak, juga tidak luput dari sasaran amuk massa (Detik, 22 September 2006).

Di tengah hiruk-pikuk pro dan kontra atas persoalan pelik yang sebenarnya masih menyisakan kontroversi ini, anak lelaki Tibo, Robert, tampaknya sudah pasrah. Baginya, percuma melancarkan protes atau apapun untuk menyelamatkan nyawa ayahnya karena memang sudah tidak ada gunanya lagi.

“Pemerintah tidak pernah mendengar bapak saya ketika dia masih hidup,” ucap Robert lirih, beberapa jam setelah Tibo dan dua rekannya ditembak mati. Namun bagi para pendukung hukuman mati, pemerintah (tepatnya pengadilan) tentu dianggap telah mengambil keputusan yang adil dan setimpal.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS