Menuju konten utama

KontraS Desak Usut Polisi yang Diduga Siksa Anak pada 22 Mei

Hasil pemeriksaan KPAI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah ada anak-anak yang diduga kuat mengalami kekerasan oleh polisi saat kerusuhan 21-22 Mei 2019.

KontraS Desak Usut Polisi yang Diduga Siksa Anak pada 22 Mei
Massa aksi berhasil menjebol barikade dan kembali dipukul mundur oleh polisi. Bentrokan terjadi antara massa aksi dan polisi di depan gedung Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat (22/5/19). tirto/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee meminta kepolisian bisa segera tegas mengusut pelanggaran hukum yang dilakukan anggotanya yang bertugas saat mengamankan kerusuhan 21-22 Mei lalu.

"Pastikan bahwa proses hukum yang diutamakan, bukan mekanisme internal (etik/disiplin) polisi," tegas Rivan kepada reporter Tirto pada Selasa (23/7/2019).

Rivan kembali menegaskan bahwa penyiksaan yang dilakukan pihak kepolisian bukanlah delik aduan.

"Polisi harus segera melakukan penyelidikan mengingat ini bukan delik aduan. Propam Polda harus memanggil anggota atau satuan yang bertugas di wilayah Tanah Abang harus diperiksa untuk menemukan bukti kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh anggotanya," ujarnya.

"Persoalan diversi bukan berarti meniadakan peristiwa kekerasan yang terjadi," lanjutnya.

Selain itu, Rivan juga menyampaikan bahwa penting untuk memerhatikan pemulihan anak-anak korban kekerasan tersebut.

"Polisi harus jamin pelayanan yang maksimal terhadap anak dan membuka ruang bagi NGO atau lembaga negara untuk mendampingi kasus kekerasan tersebut," ujarnya.

Pernyataan Rivan tersebut menanggapi laporan Tirto terkait dugaan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap sejumlah anak selepas peristiwa 21-22 Mei lalu.

Kolaborasi Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id mencocokkan pengakuan anak-anak itu dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dua lembaga ini melakukan pemeriksaan kesehatan dan wawancara riwayat kesehatan atau anamnesis terhadap 41 anak di Panti Handayani pada 14 Juni 2019.

Hasilnya, anak-anak ini diduga kuat mengalami kekerasan oleh polisi. Ada enam anak menderita nyeri di dada, punggung, dan kepala; dua anak disundut bara rokok; satu anak mengalami pendarahan di hidung; dan satu anak kepalanya dipukul staples besar.

Ketua Satgas Perlindungan Anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia Eva Devita Harmoniati, seorang dokter spesialis anak, menjelaskan nyaris seluruh anak-anak ini terkena pukulan benda tumpul. Dari kepala, punggung, perut, dada, hingga kaki.

Dugaan terkuat, ujar Eva, luka itu diakibatkan hantaman "sepatu, tongkat polisi, dan ujung laras senapan.”

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto