tirto.id - Agus Harimurti Yudhoyono tahu dan tidak perlu menunggu terlalu lama.
Jika di debat perdana ia terlihat menghafal dan gemuk beretorika, di debat kedua ia agak memperbaiki argumen dengan data, dan di kedua debat itu ia doyan menyelipkan frasa bahasa Inggris, di debat ketiga, diberi kesempatan pertama oleh moderator Alfito Deannova, putra pertama Yudhoyono itu langsung meluncurkan kalimat lewat angka yang menggambarkan betapa kondisi Jakarta dalam bahaya.
“Berbicara soal kualitas kehidupan,” kata Agus usai mengucapkan salam dan menebar rasa cinta terhadap warga Jakarta, “saya harus tunjukkan potret buram Jakarta hari ini.”
“Pertama, gizi buruk anak, di peringkat lima terburuk se-Indonesia, bahkan di bawah Papua Barat yang APBD-nya hanya sepersepuluh Jakarta.
Kedua, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia, kasus pelecehan seksual meningkat. Setiap 2,5 jam ada satu perempuan yang mengalami kekerasan.
Ketiga, Jakarta adalah kota yang sangat tidak ramah terhadap penyandang disabilitas dan tentunya terhadap transportasi publik, pendidikan, dan juga pekerjaan.
Keempat, per hari ini ada 500 ribu penyalahgunaan narkoba, tertinggi di Indonesia.”
Klaim Agus sekali pukul. Dan khalayak tahu siapa yang ia tembak: “Itulah rapor buruk gubernur DKI Jakarta hari ini.”
Lantas, kalimat berikutnya ia menyampaikan solusi atas keempat poin tersebut, dengan fitur menjanjikan untuk masa depan Jakarta. Dan, yang lebih penting lagi, ia memakai bahasa Jawa untuk menutup kalimat pembuka itu:
“Kita ingin meyakinkan bahwa Jakarta milik kita semua, dibangun secara bersama-sama, tidak ada satu orang pun yang tertinggal. Semua harus di-uwongke, harus diorangkan. Terima kasih.”
Percaya diri, memesona, tegas, dan—ini yang ingin ia tonjolkan seperti bapaknya yang jadi mentornya—bertutur santun.
Mari kita menguji poin demi poin yang dibeberkan pasangan nomor urut pertama ini.
Apakah klaim Agus akurat bahwa gizi buruk anak di Jakarta terburuk kelima di Indonesia dan di bawah Papua Barat?
Tim riset Tirto agak lama menguji poin ini dalam laman periksa data mengingat Agus tampaknya ingin membangun gambaran yang sangat timpang antara Jakarta dan sebuah provinsi yang jaraknya hampir 5.000 kilometer dari ibu kota Indonesia.
Berdasaran data dari Ditjen Kesehatan Masyarakat dari Kementerian Kesehatan, kasus gizi buruk di Jakarta mencapai angka 2.282 kasus, sedangkan Papua Barat hanya 479 kasus terlapor. Jakarta cuma lebih baik dari Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, dan Papua. APBD DKI Jakarta pada 2016 sebesar Rp67,17 triliun, sedangkan Papua Barat hanya Rp7,02 triliun.
Gambaran di atas seakan mengukuhkan klaim Agus. Namun, kita menghadapi problem lain, yakni apa yang disebut Berbohong dengan Statistik. Pertama, jumlah penduduk Jakarta dan Papua Barat, provinsi yang baru terbentuk pada 2001 dengan ibu kota Manokwari, sangat jomplang. Jakarta memiliki 10.177.900 penduduk, sementara populasi Papua Barat hanya 871.510 jiwa. Jumlah Puskemas—pelayanan kesehatan terdekat berbasis masyarakat—di Jakarta ada 340, sementara Papua Barat ada 151.
Bila Agus ingin menggunakan perbandingan yang proporsional, akan lebih tepat membandingkan provinsi dengan jumlah penduduk mendekati Jakarta. Di Pulau Jawa yang paling mendekati Jakarta adalah Provinsi Banten (mendekati 12 juta jiwa), dengan 1.051 kasus gizi buruk dan 233 Puskesmas.
Sebaliknya, jika ingin tetap membandingkan Jakarta dan Papua Barat, akan lebih proporsional bila kita memakai pendekatan rasio antara kasus dan populasi. Jika ini yang dipakai, maka kasus gizi buruk di Jakarta mencapai 0,024% dari populasi, sedangkan di Papua Barat 0.063%. Sama-sama di bawah 1 persen.
Solusi lewat PKK untuk Kurangi Angka Kekerasan
Poin kedua soal angka kekerasan terhadap perempuan. Agus menyebut setiap 2,5 jam ada satu perempuan yang mengalami kekerasan. Benarkah demikian?
Bila mengacu data dari Polda Metro Jaya serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, kekerasan perempuan di Jakarta pada 2014 ada 1.484 kasus sementara pada 2015 turun menjadi 1.346 kasus. Sementara, jika merujuk dokumentasi perkara Pengadilan Agama dan lembaga mitra Komnas Perempuan yang mencatat 321.752 kasus sepanjang 2016, maka ada 36,6 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan per jam dan angka ini berlaku di seluruh Indonesia.
Data lain dari Komnas Perempuan yang tersedia di publik mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Jakarta selama 2016 ada 3.320 kasus. Data sebelumnya, Komnas Perempuan mencatat selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari di seluruh Indonesia (bukan di Jakarta saja).
Penyebutan angka kekerasan per jam juga perlu diperiksa dan belum tentu menggambarkan keadaan di lapangan, kecuali ada dokumentasi mendetail dan terpercaya berdasarkan laporan harian. Ia juga perlu diuji, misalnya, di mana saja tempat-tempat kekerasan ini berlangsung: Apakah di sebuah daerah yang dianggap rawan, di dalam rumah tangga, di ruang publik apa; serta profil sosial apa yang menjelaskan kekerasan tersebut terjadi?
Nyaris, tidak hanya pada pasangan Agus-Sylvi, dalam debat terakhir juga tak banyak elaborasi kepada publik (yang menonton debat) soal apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan.
Orang mungkin mengenali soal kekerasan fisik, tetapi pengertian kekerasan terhadap perempuan tidak diukur dari faktor ini semata. Melainkan setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Apa yang ditawarkan oleh pasangan nomor urut 1 untuk mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan di ibu kota Jakarta?
Agus, dalam pernyataannya di segmen pertama, akan “mengoptimalkan dan memberdayakan pusat pemberdayaan perempuan dan anak.” Ia juga bilang, “... akan mengembangkan bimbingan dan konseling di 340 Puksesmas di Jakarta.”
Sylviana Murni, di semen ketiga, menambahkan bahwa bentuk pemberdayaan itu dengan menggerakkan kaum ibu di Pembinaan Kesejahteraan Keluarga alias PKK, sebuah organisasi yang masih tersisa dari era Orde Baru di tingkat kelurahan yang melibatkan para ibu dalam—istilah di masa itu—“proses pembangunan di Indonesia.” Dan bagaimana bentuk pemberdayaan di PKK ini?
Sylvi punya solusi mujarab: pokoknya bergerak saja, jangan dibatasi, dan—demikian katanya, “Kalau kota yang aman untuk perempuan dan anak, pasti aman untuk semua.” Dengan cara apa? “Honornya perlu ditingkatkan, karena (PKK) dari hati... Perempuan luar biasa, karena di-empower.” Tentu saja maksudnya: perempuan, bila diberdayakan, adalah kaum yang luar biasa.
Agus dan Sylvi Menyerang Ahok
Di kesempatan lain, lagi-lagi dengan menyerang petahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Sylvi menyebut bahwa integritas Ahok dipertanyakan dalam upaya menurunkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebab, ia menuduh, Ahok telah melakukan kekerasan verbal.
Yang dimaksud Sylvi ialah kejadian Ahok pernah membentak dan bilang “maling” kepada seorang ibu penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang melaporkan kartu itu tidak bisa digesek tunai. KJP adalah program pendidikan minimal sampai tingkat SMA bagi anak dari keluarga miskin, yang sumber pendanaannya ditanggung penuh dari APBD Jakarta. Kartu ini tidak bisa dicairkan tunai oleh orangtua karena Pemprov Jakarta khawatir bisa disalahgunakan untuk kepentingan non-pendidikan. Kejadian Ahok marah-marah ini beredar di media sosial.
Sylvi, dengan menyebut bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 2015 ke 2016 berdasarkan data Komnas Perempuan (klaim Sylvia benar), bertanya retoris kepada Ahok: Bagaimana bisa seorang gubernur (mau) menurunkan tingkat kekerasan perempuan padahal pelaku kekerasan verbal?
Setelah Ahok menjawab bahwa kejadian itu terus-menerus dipakai lawannya untuk memojokkan dia, Agus merespons bahwa kejadian “kekerasan verbal” itu bukanlah hoax.
“Yang jelas itu semua sudah diketahui publik. Viral di mana-mana. Bapak mempertontonkan kekerasan verbal ... lisan kepada kaum perempuan yang harusnya dihormati,” ujar Agus. “Bapak tidak ingat bahwa kekerasan verbal seringkali lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Apalagi ketika dipamerkan ke depan publik. Bayangkan kalau itu terjadi kepada keluarga bapak. Bayangkan … kepada keluarga dekat kita. Bagaimana kemudian memiliki integritas untuk mengatakan kita akan melindungi wanita, perempuan, anak-anak?”
Pada tema lain soal akses kaum difabel terhadap ruang publik, Agus mengklaim Jakarta sebagai kota yang “sangat tidak ramah” terhadap penyandang disabilitas. “Dan tentunya terhadap transportasi publik, pendidikan, dan juga pekerjaan.”
Bagaimana realisasinya?
Ahok sudah membangun trotoar yang ramah penyandang disabilitas. Ahok menunjukkan foto-foto hasil pekerjaannya. Misalkan pembangunan trotoar kurva S yang ramah kaum disabilitas. Kurva seperti ini, yang konsepnya dibawa dari Jepang, cukup untuk dilewati penyandang disabilitas, dan menghalangi motor untuk naik di trotoar. Ia juga mengatakan bahwa di Dewan Transportasi Kota Jakarta ada perwakilan yang merupakan penyandang disabilitas.
“Kami juga sudah membeli banyak bus yang shock breaker-nya miring, supaya kursi roda turunnya rata,” tambah Ahok.
Klaim Agus bahwa Jakarta tidak ramah terhadap penyandang disabilitas dalam hal pekerjaan juga terbantahkan. Pemda Jakarta Selatan, misalnya, telah menyalurkan sebanyak 492 tenaga kerja penyandang disabilitas pada periode Januari hingga Agustus 2015. Langkah ini diapresiasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan memberi penghargaan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan, yang dinilai berprestasi memenuhi hak penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan layak.
Dan apa solusi yang ditawarkan Agus-Silvi untuk membuat kota ramah difabel? “Kita hanya butuh goodwill,” kata Agus.
Ia juga menjanjikan ingin menambah jumlah sekolah inklusi hingga 800-an. Saat ini, berdasarkan data dinas pendidikan DKI Jakarta, jumlah sekolah inklusi hingga tahun 2015 ada 371 buah.
Janji Berantas Narkoba di Jakarta
Pasangan Agus dan Sylvi, ketika membahas korban narkoba, mengatakan “ada 500 ribu orang” yang menyalahgunakan narkoba di Jakarta.
“Bahkan yang terkena dampak narkoba ini bisa mencapai 2 juta atau 20 persen,” kata Sylvi. “Dan Jakarta sudah menjadi (kota) darurat narkoba.”
Itu angka yang tinggi sekali. Berdasarkan data yang tersedia dari hitung-hitungan Badan Narkotika Nasional untuk wilayah Jakarta, dengan mengukur jumlah penyalahgunaan narkoba, prevalensi, dan populasi penduduk (umur 10–59 tahun), hasil yang didapat: pada 2008 ada 286.494 pemakai narkoba (dengan prevalensi 4,10% dari 7 juta jiwa); 2011, ada 561.221 (7,01% dari 8 juta jiwa); dan 2014, ada 364.174 (4,74% dari 7,7 juta jiwa).
Lalu apa solusi yang diajukan pasangan ini untuk mengatasi narkoba? Sylvi bilang, peran keluarga sangat penting. “Bagaimana internal environment—(maksudnya lingkungan keluarga), kitab pendidikan agama, itu penting,” katanya.
Solusi lain: lewat dana bergulir! Caranya, dengan menyalurkan bantuan “pemberdayaan” kepada masyarakat berupa Rp1 miliar untuk RW. Dengan begitu, kata Sylvi, PKK bisa bergerak untuk mengambil tindakan (bahasa Sylvi adalah action) dari keluarga yang terkena narkoba.
Agus kemudian menegaskan lagi bahwa “peran keluarga menjadi sangat penting” untuk melakukan rehabilitasi pengguna narkoba. “Tidak hanya dipulihkan,” katanya, “tetapi juga diberdayakan kembali. ... sehingga mereka memiliki self-confident, dan pada akhirnya mereka bisa bermanfaat untuk masyarakatnya.”
“Saya punya background militer,” kata Agus, “Jadi saya akan tegas sekali lagi untuk memberantas narkoba dari Jakarta. Jangan main-main. Bagi bandar dan pengedar, tidak ada kata ampun.”
Untuk lebih meyakinkan lagi, Agus kembali ke dalam kebiasaan dua debat sebelumnya—dengan memakai bahasa Inggris: “... dan kita ingin meyakinkan reward dan punishment bisa benar-benar ditegakkan, ataupun law enforcement terhadap (pengedar) narkoba.”
Cara lain: ia akan memasang CCTV di ruang publik Jakarta, yang jadi tempat bermain anak-anak, supaya bisa mengawasi “predator-predator” kekerasan maupun yang menjual narkoba kepada anak-anak.
“Gerilya” Agus di Masa Kampanye
Agus sedikitnya dua kali memakai kata “gerilya” untuk menggambarkan hari-harinya di masa kampanye sejak akhir Oktober tahun lalu.
“Selama saya bergerilya di lapangan” atau “kami bergerilya menemui ratusan ribu masyarakat” adalah kalimat pembuka Agus saat bertemu dengan warga Jakarta.
Gerilya, kita tahu dari kamus besar bahasa Indonesia, diambil dari nomenklatur militer yang menjelaskan cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba); atau definisi lain: perang secara kecil-kecilan dan tidak terbuka.
Tentu saja Agus tidak sedang berperang fisik. Tetapi, demikian klaim berikutnya, dia “bertemu dengan puluhan ribu RT/RW setiap saat di manapun” warga Jakarta berada. Dari pertemuan ini, kata Agus, warga Jakarta “mendambakan” program dia terutama program dana bergulir.
Sebelumnya, di debat pertama, kami membahas bahwa program dana bergulir ini justru dievaluasi karena rentan praktik korupsi. Pada September 2015, teridentifikasi bahwa Rp28,795 miliar dana bergulir mengalami macet di 34 Koperasi Jasa Keuangan Kelurahan (KJK) di Jakarta, dan total Rp7,489 miliar diduga disalahgunakan. Tiga pengurus KJK dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena mengorupsi uang tersebut.
Soal gerilya Agus bertemu dengan puluhan RT dan RW, mari kita hitung: ada 109 hari selama masa kampanye (26 oktober 2016 – 11 Februari 2017). Sementara Jakarta memiliki 44 Kecamatan, 267 Kelurahan, 2.705 RW, dan 30.195 RT. Bila dihitung rata-rata, maka Agus harus bertemu dengan 277 RT/RW setiap hari. Dan apakah ini mungkin?
Kita tahu, pada 8 Februari lalu, Agus menemui simpatisan yang tergabung dalam Lembaga Kreatif Masyarakat Rakyat Tangguh Republik Wibawa. Dalam acara yang diselenggarakan di Sentul, Jawa Barat, Agus mengklaim ada 10.000 orang yang hadir. Agus menemui mereka dalam satu acara, bukan menemui langsung di daerah mereka masing-masing.
Agus di sesi terakhir mengatakan bahwa “terlalu banyak data yang menunjukkan kegagalan pemerintah Jakarta saat ini.” Kami khawatir bahwa Agus sendiri gagal menghadirkan data yang menunjukkan kegagalan pemerintah Jakarta saat ini.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam