tirto.id - Menolak muncul di televisi-televisi yang mengundangnya berdebat dengan para rival, tentu saja Agus Yudhoyono tidak akan absen dalam debat yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta. Jumat malam itu (13/1), Agus dan Sylviana pertama kali tampil dalam debat terbuka. Memakai kaus berkerah dengan emblem-emblem kampanye, Agus dan Sylviana tampil seragam.
Tema debat malam itu adalah pembangunan sosial ekonomi untuk Jakarta, meliputi: sosial ekonomi, transportasi, lingkungan, pendidikan, dan keamanan. Dipandu Ira Koesno, eks penyiar berita televisi, Agus membuka uraiannya dengan pernyataan:
“Selain yang sudah baik, potret Jakarta hari ini, ketimpangan meningkat, daya beli sebagian masyarakat menurun, di samping kualitas hidup masyarakat menurun akibat banjir, macet, sampah yang tidak bisa terselesaikan dengan baik. Dan yang paling menyedihkan adalah, di sana-sini, warga Jakarta banyak yang takut terhadap pemerintahnya sendiri.”
Ketimpangan dan Daya Beli di Jakarta
Meski tak menyebut angka, pernyataan Agus bisa diperiksa data-datanya. Misalkan, ketimpangan alias kesenjangan sosial yang katanya meningkat dapat dirujuk pada indeks Gini atau rasio Gini. Rasio Gini indikator mengukur ketidakmerataan distribusi penduduk. Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila rasio Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna. Semakin besar angkanya, maka semakin besar ketimpangannya.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta, ketimpangan justru menurun dari 0,431 pada Maret 2015 menjadi 0,411 pada Maret 2016. Tidak seperti yang Agus katakan.
Daya beli masyarakat juga bisa diukur dari nilai inflasi. Bila dibandingkan Desember tahun lalu yang nilai inflasinya mencapai 0,72 persen, daya beli warga Jakarta cenderung meningkat pada 2016 karena nilai inflasi hanya 0,27 persen pada Desember 2016.
Kualitas hidup masyarakat Jakarta yang menurun menurut Agus juga tak sesuai dengan data BPS. Kualitas hidup masyarakat yang bisa diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menunjukkan kenaikan angka dari tahun 2012. Secara berurut dari 2012 hingga 2014, IPM Jakarta adalah 77,53 persen, 78,08 persen, dan 78,39 persen. Angka ini juga naik jadi 78,99 persen per Maret 2015.
Pengawasan Bantuan Langsung di Jakarta
Berdasarkan kekeliruan data itu, Agus membuat 10 program kerja unggulan. “Yang pertama adalah memberikan bantuan langsung sementara kepada keluarga miskin dan kurang mampu, Rp 5 juta per keluarga miskin per tahun. Ini untuk membantu kehidupan keluarga sehari-hari. Yang kedua adalah pemberdayaan komunitas RT/RW. Satu RW Rp 1 miliar per tahun, untuk memberdayakan komunitas yang ada di masyarakat kita.
“Yang kedua adalah mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan bantuan langsung dana bergulir, bantuan modal usaha. Rp 50 juta per satu unit usaha untuk mengurangi pengangguran. Kami ingin juga meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan guru. Yang keempat adalah meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Yang kelima adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan stabilisasi [stabilitas] harga.
“Yang keenam, kita ingin membangun tanpa menggusur. Meningkatkan program-program perumahan rakyat dan infrastruktur di Jakarta. Ketujuh, menjadikan Jakarta sebagai “Smart, Creative, and Green City”. Pintar, kreatif, dan juga ramah lingkungan. Yang kedelapan kita ingin meningkatkan rasa aman, kerukunan antarwarga Jakarta.
“Yang kesembilan menegakan hukum dan keadilan bagi semua. Justice for all. Jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah. Yang kesepuluh atau yang terakhir, meningkatkan kualitas pemerintahan dan birokrasi.”
Dari 10 program itu, dua di antaranya adalah yang paling sering diutarakan Agus-Sylvi, yakni program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sementara, dan bantuan modal usaha. Dua program ini muncul, diakui mereka, sebagai program kerja yang lahir setelah proses blusukan yang mereka jalani selama tiga bulan terakhir.
Saat ditanya Djarot Saiful Hidayat, calon wakil gubernur nomor 2, tentang bagaimana cara mengelola dana Rp 1 miliar untuk RW agar kepala RW tidak masuk penjara, baik Agus maupun Sylvi tak langsung menjawab.
Pertanyaan itu baru dijawab pada segmen kelima.
Agus malah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban retorik, “Bagaimana pertanyaannya kalau mereka berhasil?”
“Kami bergerilya selama tiga bulan, semua (masyarakat) mengatakan: ‘Kami sulit modalnya, Pak. Kami tidak diperhatikan’. Kami berkeliling juga, semua komunitas RT/RW mengatakan: ‘Kami tidak diperankan sebagaimana mestinya. Kami ingin berinisiatif. Kami tahu lingkungan kami. Kami puluhan tahun tinggal di sini’. Dan itulah mengapa kami ingin berdayakan RT/RW karena kami yakin, bersama rakyat, Jakarta akan maju,” ungkap Agus.
Ia hanya menjawab kenapa gagasan itu muncul, tapi tak menjawab inti dari pertanyaan Djarot tentang bagaimana bantuan itu tak malah jadi simalakama bagi RW yang dibantu, bahkan hingga debat selesai.
Pertanyaan Djarot punya dasar. Bagi Djarot, program ini mirip program dana bergulir yang sempat disetop karena berpotensi menjadi celah terjadinya korupsi.
September 2015 lalu, Unit Pengelola Dana Bergulir Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kelurahan (UPDB PEMK) Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta Perdagangan (KUMKMP) DKI Jakarta menemukan 34 Koperasi Jasa Keuangan Kelurahan di DKI Jakarta yang diduga melakukan penyalahgunaan. Teridentifikasi Rp28,795 miliar dana bergulir alami kemacetan, dan total Rp7,489 miliar yang diduga disalahgunakan. Tiga orang pengurus KJK dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena mengorupsi uang ini pada bulan itu.
Soal APBD di Jakarta
Untuk program bantuan langsung tunai sementara, Agus bersikeras kalau rencananya bukan program muluk-muluk. “Biaya atau anggarannya pun sangat terukur. Rp400 ribu sebulan. Rp5 juta setahun. Dikali 128 ribu (jumlah kepala keluarga). (Sama dengan) Rp650 miliar. Tidak ada apa-apanya dengan Rp70 triliun APBD kita. Tidak ada program bagi-bagi uang,” ungkap Agus.
Tapi mungkin Agus silap. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah alias APBD DKI Jakarta tahun lalu adalah Rp 67.168.141.786.232. Selisih sekitar Rp 3 triliun antara data yang disampaikan Agus dengan data APBD tahun lalu bukanlah uang yang sedikit.
Terlebih lagi, tiga dari program unggulannya adalah bagi-bagi uang APBD. Pengawasan ketat adalah kewajiban mutlak yang mau tak mau akan jadi perhatian warga Jakarta.
Penggusuran dan Data Kemiskinan
Dalam debat itu, Agus juga menggambarkan pemerintahannya nanti akan membangun infrastruktur dan menata Jakarta tanpa menggunakan penggusuran. “Kami meyakini banyak cara lain untuk bisa menata Jakarta, mempercantik kotanya tetapi dengan tidak melukai hati warganya. Ini penting. Ini komitmen. Dan ini adalah paradigma yang akan kami bangun dalam membangun Jakarta ke depan,” ungkap Agus.
Tapi, bagaimana pembangunan yang dimaksud? Agus tak menguraikannya lebih rinci. Begitu juga Sylvi yang hanya fokus menggambarkan penderitaan-penderitaan masyarakat korban penggusuran yang pernah ditemuinya.
Bagi Agus penggusuran ini jadi sumber meningkatnya kemiskinan di Jakarta. “Terbukti penggusuran hanya akan meningkatkan kemiskian, urban poverty meningkat secara tajam. Mereka kehilangan segalanya. They lost everything. Kehilangan tempat tinggalnya, kehilangan mata pencariannya. Yang tadinya dia bekerja, mencari nafkah di sebuah habitat, berinteraksi dengan tetangga dengan warga tiba-tiba tercabut puluhan kilometer. Tanpa diperhitungkan bagaimana nasib selanjutnya, anak-anak mereka bagaimana.”
Hal yang disampaikan Agus sesuai dengan data terakhir BPS. Jumlah penduduk miskin bertambah dari 3,61 persen pada 2015 menjadi 3,75 persen pada 2016.
Program kerja Agus lainnya cenderung tak bisa diukur jika mereka tidak terpilih dulu dan menjalankannya. Seperti penegakan hukum yang adil, meningkatkan rasa aman warga Jakarta, dan kualitas pemerintahan dan birokrasi.
Dalam debat pertama ini, AHY-Sylvi adalah pasangan dengan janji tawaran fulus paling banyak. Sebuah strategi yang tidak terlalu ditonjolkan oleh dua pasangan lainnya. Mereka satu-satunya pasangan yang kembali mengangkat gagasan BLT yang dulunya juga menjadi program unggulan Presiden SBY kala kampanye.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS