tirto.id - Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut ada penggunaan kewenangan secara berlebihan oleh kepolisian dalam penangkapan jurnalis Dandhy Laksono dan musikus Ananda Badudu pada Kamis (26/9/2019) malam dan Jumat (27/9/2019) subuh.
"Walau itu kewenangan kepolisian tapi itu istilahnya bisa excessive use of force. Penggunaan kewenangan secara berlebihan. Itu bisa jadi preseden yang buruk bagi penegakan hukum di Indonesia," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat dihubungi pada Jumat (27/9/2019).
Ananda Badudu ditangkap kepolisian pada Jumat (27/9/2019) pukul 04.28 WIB di kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Saat itu Ananda masih terlelap tapi tiba-tiba ada empat orang anggota kepolisian menggedor rumahnya dan menyampaikan surat penangkapan.
Sementara Dandhy Laksono ditangkap pada Kamis (26/9/2019) pukul 23.45 WIB. Dandhy baru pulang 15 menit sebelumnya, kemudian rumahnya didatangi empat anggota kepolisian. Selanjutnya Dandhy dibawa ke Polda Metro Jaya atas tuduhan melanggar UU ITE.
Anam menilai mestinya keduanya dipanggil secara wajar, tidak dengan penangkapan. Sebab, keduanya masih berstatus saksi dan tidak punya catatan kasus di kepolisian.
"Masa Dandhy enggak punya latar belakang sebagai residivis dan tidak punya latar belakang menggunakan senjata, tidak punya latar belakang dia aktor kekerasan diperlakukan seperti itu?" kata Anam.
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara berharap kepolisian tidak mengkriminalisasi pejuang hak asasi manusia. Menurutnya apa yang dilakukan Dandhy dan Ananda adalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang tak seharusnya dipidana.
"Kami meminta kepada aparat kepolisian untuk tidak mudah mengkriminalisasikan para pembela HAM atau individu lain yang sedang suarakan kritik," kata Beka di Komnas HAM.
Dandhy Laksono resmi ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada Jumat (27/9/2019) dini hari hingga pukul 04.00 WIB.
Ia dikenai Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Kuasa hukum Dandhy, Alghifari Aqsa menyebut cuitan yang dipermasalahkan kepolisian ialah cuitan soal Papua pada tanggal 23 September 2019 lalu.
"Ada peristiwa di Jayapura dan Wamena. Dan pasal yang dikenakan adalah pasal ujaran kebencian. Dan ini pasal yang tidak relevan. Apa yang dilakukan Bung Dandhy adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat apa yang terjadi di Papua," kata Alghiffari setelah pemeriksaan di Reskrimum Polda Metro Jaya, Jumat subuh.
Di sisi lain Ananda Badudu dilepaskan kepolisian pukul 10.00 WIB. Tak seperti Dandhy, mantan jurnalis Tempo itu tidak ditersangkakan.
"Saya salah satu orang yang beruntung punya privilege untuk bisa segera dibebaskan. Tapi di dalam saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan; diproses dengan cara-cara tidak etis. Mereka butuh pertolongan lebih dari saya," kata bekas personel duo Banda Neira ini di lokasi.
Sebelumnya Ananda diperiksa sebagai saksi penggalangan dana atas demonstrasi 23 September dan 24 September lalu di depan Gedung DPR/MPR.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Irwan Syambudi