tirto.id - Anggota Komisi III DPR ramai-ramai menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini mereka lakukan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK, di ruang rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019).
Awalnya, anggota Komisi III mengapresiasi kinerja Pansel Capim KPK yang sudah menyeleksi ratusan orang hingga akhirnya menyisakan 10 calon. Ini seperti dikatakan Anwar Rachman dari Fraksi PKB.
"Kami dari PKB mengapresiasi kinerja pansel, pansel ini adalah putra-putri terbaik bangsa, Insya Allah karena putra terbaik ini memilih calon pimpinan KPK terbaik juga," kata Anwar.
Pujian juga datang dari anggota Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto yang menilai kerja yang dilakukan pansel tidaklah mudah. "Saya yakin pansel ini orang-orang pilihan, pansel ini senior kami di akademisi, senior kami juga di dalam kerja kebangsaan seperti ini," tutur Didik.
Puja-puji ini seakan mengabaikan banyaknya sorotan publik terhadap latar belakang sembilan pansel capim KPK termasuk 10 nama yang telah mereka loloskan. Dalam catatan Tirto, kinerja pansel banyak dipertanyakan publik karena seleksi yang dijalankan dianggap tidak transparan dan masih menyisakan calon yang bermasalah.
Pimpinan KPK Sekarang Dianggap Anarko
Usai memuji kerja Pansel KPK, satu persatu anggota dewan meminta pansel meyakinkan mereka bahwa 10 capim punya konsistensi dalam sikap dan ucapan. Para wakil rakyat ini mengklaim tak mau lagi dikecewakan lima dari 10 capim yang nantinya lolos dalam fit and proper test.
Soal perasaan kecewa ini, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafi’i adalah yang pertama mengutarakannya. Dalam rapat ini, Syafi’i menyindir sikap pimpinan KPK saat ini yang kerap berbeda pernyataan di depan Komisi III dan di depan masyarakat.
Ia memberi contoh soal revisi UU KPK yang malah dianggap KPK sebagai pelemahan. "Lain saat berada di Komisi III, lain pula saat berada di ruang publik, bahkan ikut maki-maki ketika akan ada perubahan Undang-Undang KPK," ujar Syafii.
Keluhan Syafi’i ditimpali Masinton Pasaribu, anggota Komisi III dari Fraksi PDIP. Ia menyebut, tak mau lagi memilih pimpinan yang tak mengerti hubungan antarpenyelenggara negara.
Lelaki yang juga menjadi salah satu pengusul revisi UU KPK ini juga berkata, tak mau KPK berjalan sendiri dan tak mau mendengarkan masukan-masukan dari presiden dan DPR yang telah memilihnya.
"Tidak boleh ada satu institusi negara di republik ini yang bekerja menggunakan dasar undang-undangnya [dibuat] negara, dibiayai negara kemudian menantang keputusan politik negara," ucap lelaki yang pernah dilaporkan sebagai pemukul stafnya bernama Dita Aditia ini.
Bagi Masinton, pimpinan KPK saat ini sudah bertindak inkonstitusional karena kerap menolak keputusan yang diambil pemerintah seperti soal Pansus Hak Angket terhadap KPK.
"Ini cara berpikir teman-teman KPK ini sudah anarko. Kami tidak ingin pimpinan KPK seperti ini," imbuhnya.
Kritik tak sedap juga dilontarkan Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR. Politikus Partai Gerindra ini malah menyebut pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang "berengsek" karena terus menyerang DPR.
"Seolah-olah ini [DPR] pada berengsek. Ini, kan, omong kosong. Mereka itu juga apa bedanya dengan DPR? Berengsek itu," kata Desmond.
Dianggap Tak Paham UU KPK
Dalih anarko dan segala kritik tajam yang dilontarkan para anggota dewan terhormat itu dinilai pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsyari, sebagai hal yang tak tepat.
Menurut Feri, keinginan mereka justru berkebalikan dengan kepada Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal itu berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun."
"KPK itu adalah lembaga yang mestinya merdeka dari lembaga politik seperti DPR," ucap Feri kepada reporter Tirto, Senin (9/9/2019).
Senada, Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menyebut keinginan Komisi III DPR menjadikan pimpinan KPK manut terhadap keinginan mereka justru berpotensi melanggar Pasal 3 UU KPK seperti disebutkan Feri di atas.
Guna mengatasi ini, kata Agus, DPR seolah menawarkan solusi dengan revisi. Namun, revisi yang ada justru menjadikan KPK terbonsai.
"Jadi kalau mereka [Pimpinan KPK] manut, artinya mereka justru melanggar UU. Makanya itu yang mungkin menjadi penyebab DPR begitu getol melakukan revisi terhadap UU KPK," ucap Agus.
Sementara itu, Wawan Suyatmiko, peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) berpendapat anggota Komisi III tak paham Undang-undang KPK. Ketidakpahaman yang lebih nyata, sebut Wawan, tampak dalam rencana revisi UU KPK: menginginkan KPK memiliki Dewan Pengawas dan dukungan SDM dari satu atau dua lembaga.
"[Ini] Bentuk ketidakpahaman prinsip-prinsip lembaga independen yang telah diatur dalam ratifikasi kovenan internasional tentang badan antikorupsi, terutama Pasal 6 Ayat 2 UNCAC (PDF)," kata Wawan kepada reporter Tirto.
Wawan balik mempertanyakan, mengapa Komisi III malah mengapresiasi hasil kerja Pansel Capim KPK yang jelas-jelas masih menyisakan masalah. Baginya, kritik terhadap KPK yang dilontarkan Komisi III menjadi tak beralasan.
"DPR seharusnya mengomentari hasil kinerja Pansel dan menanyakan alasan kenapa memilih 10 capim. Dari 10 capim tersebut masih menyisakan ada beberapa nama yang bermasalah secara rekam jejak dan komitmennya dalam pemberantasan korupsi," kata Wawan menegaskan.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih