tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu, mengatakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode sekarang punya cara pikir "anarko."
"Ini cara berpikir teman-teman KPK sudah anarko. Anarko itu [orang yang] anti-sistem. Anarkis itu perbuatannya," ujar Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Dia lantas berharap di masa depan tidak ada lagi pimpinan KPK yang seperti itu.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK (Pansel Capim KPK). Pansel sudah menyetor 10 nama Capim KPK ke Presiden. 10 nama ini akan segera diuji kelayakan dan kepatutannya oleh DPR.
Masinton berkata demikian karena menurutnya pimpinan KPK saat ini tak mengerti hubungan antarpenyelenggara negara.
Ia menganggap KPK "berjalan sendiri" dan tak mau mendengarkan masukan-masukan dari Presiden dan DPR yang telah memilihnya. Padahal, katanya, "tidak boleh ada institusi di republik ini yang bekerja menggunakan UU [yang dibuat] negara, dibiayai negara, kemudian menantang keputusan politik negara."
Dan pimpinan KPK periode sekarang menunjukkan semua yang ia keluhkan: kerap menolak keputusan yang diambil oleh pemerintah, menolak adanya Pansus Hak Angket terhadap KPK dan rekomendasinya, dan menolak revisi UU KPK.
"Bisa dibayangkan kalau semua institusi negara pelaksana UU menantang keputusan negara, menantang rencana maupun keputusan politik negara, baik DPR maupun Presiden. Nah jangan sampai kesusupan yang seperti ini," pungkasnya.
Masinton adalah satu dari enam politikus yang mendukung rencana revisi UU KPK, yang, bagi sebagian orang, hanya kedok yang tujuan utamanya adalah melemahkan KPK.
Setidaknya ada sembilan implikasi negatif jika revisi terkabul, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo.
Ia dapat mengancam independensi KPK; membatasi penyadapan; sarat kepentingan politis lewat pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih DPR; dan membatasi sumber Penyelidik dan Penyidik.
Selain itu, penuntutan perkara korupsi harus berdasarkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung; perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; memangkas kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan; menghilangkan kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan; dan memangkas kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN.
"Pembahasan Revisi UU KPK yang secara diam-diam ... menunjukkan DPR dan pemerintah tidak mau berkonsultasi dengan masyarakat yang diwakilinya," kesimpulan Agus.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino