Menuju konten utama

Anarko Bandung: Punggung Dipentung, tapi "Tahun Depan Ikut Lagi"

Massa "baju hitam-hitam" saat May Day di Kota Bandung diamankan, dipukul, dipentung, ditelanjangi, dan digunduli.

Anarko Bandung: Punggung Dipentung, tapi
Penggundulan massal peserta aksi Mayday di Bandung oleh Aparat. FOTO/Husein Abdul Salam

tirto.id - Nanda—bukan nama sebenarnya—menyandarkan tubuhnya ke pintu kanan salah satu truk polisi yang tengah diparkir di halaman Mapolresta Bandung, Jalan Merdeka, Kota Bandung. Sambil berdiri, laki-laki berumur tujuh belas tahun itu berusaha melihat pantulan kepalanya di cermin spion.

Ia perhatikan betul model rambutnya yang baru sambil mengusapnya beberapa kali. Nanda habis digunduli dan itu tak terjadi atas kemauannya. Dia adalah satu dari 619 peserta yang dibawa aparat kepolisian dengan dugaan membikin rusuh peringatan Hari Buruh atau May Day di Kota Bandung, Rabu (1/5).

Saat sedang khusyuk membersihkan sisa-sisa rambut yang jatuh di bagian pundak jumper hitamnya, suara cekikikan tentara mengalihkan perhatian Nanda. Dia menoleh ke kanan, melihat sejumlah tentara berbaret coklat yang duduk santai sambil menanya-nanyai orang-orang yang diciduk aparat seperti Nanda. Kekawan satu aksinya itu berbaju—entah itu kaus, jaket, atau jumper—hitam dan rambutnya sudah digunduli.

Saat Nanda melihat mereka, satu per satu laki-laki yang diciduk dan dikumpulkan aparat hari itu menunggu giliran digunduli di halaman aspal Mapolresta Bandung. Mereka duduk, membentuk barisan yang tidak terlalu rapi. Dua meter di hadapan baris terdepan mereka terdapat teras berlantai marmer. Di situlah lokasi penggundulan massal terjadi.

Sebelum melangkah ke area penggundulan, mereka disuruh melepas baju dan celana. Mereka menuju dan meninggalkan area itu dengan hanya mengenakan celana dalam. Sebab di halaman Mapolrestabes Bandung tidak ada benda-benda yang menghalangi pandangan mata, mereka dapat dilihat semua orang, termasuk oleh kekawannya, aparat, termasuk yang berlainan jenis kelaminnya. Tidak sedikit dari mereka berlari malu-malu sambil menutupi area kemaluan.

Yang perempuan duduk di barisan terpisah. Mereka berjumlah empat belas orang dan diinterogasi para polwan. Meski tidak digunduli, situasi di sini juga mencekam. Beberapa tentara—semua laki-laki—mendekat. Satu tentara berpangkat letnan dua geleng-geleng kepala sambil mengatakan, "Cantik-cantik kok ikut begini."

Sementara itu, salah satu polwan menenteng sebotol Intisari, anggur merah kemasan murah, yang masih tersegel. Dia menghampiri beberapa perempuan yang duduk di depan dan meminta yang membawa minuman itu untuk mengaku. Polwan itu kerap menggertak, "Ayo, mau dibuka, diminum bareng sama saya, ayo!"

Ketika matahari tenggelam, para polwan membawa perempuan-perempuan yang semuanya berbaju hitam itu masuk ke dalam Mapolrestabes Bandung. Sekitar pukul 18.00, semua laki-laki yang terciduk diangkut ke Mako Brimob Polda Jawa Barat, Jalan Cikeruh, Jatinangor, Sumedang menggunakan truk dan bus aparat kepolisian dan militer.

Mereka disebut kelompok "baju hitam-hitam" oleh pihak kepolisian dan sejumlah media. Kapolresta Bandung Kombes Pol Irman Sugema menyebut mereka orang-orang yang bukan buruh namun ingin menyusup ke May Day. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyebut mereka digerakkan oleh ideologi Anarko-Sindikalis.

Ini bukan May Day pertama kelompok tersebut. Kapan kali pertama mereka melancarkan aksi pada May Day di Kota Bandung tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, dalam lima tahun terakhir, mereka selalu hadir dalam setiap aksi May Day di sana dengan tidak mencampurkan massanya ke dalam barisan serikat buruh.

Pakaian hitam-hitam jelas membedakan mereka dari massa buruh. Serikat buruh yang melancarkan aksi di Kota Bandung sebagian besar mengenakan baju merah atau biru.

Sudah berbaju hitam-hitam, mereka juga memakai penutup wajah, mengibarkan panji merah-hitam khas Anarko-Sindikalis, dan mengusung spanduk berisi tuntutan-tuntutan. Tidak sedikit yang mengenakan kaus hitam bersimbol Antifascist Action (Antifa) atau circle-A. Hampir di setiap aksi May Day, kelompok ini meninggalkan jejak coretan cat pilok.

“Saya Kena Punggung. Sakit”

Kepada Tirto, Irman mengatakan Mako Brimob dipilih karena memiliki ruang beratap yang lebih luas untuk lokasi pemeriksaan lebih lanjut. "Ini akan kami bawa ke aula yang lebih representatif. Di sini kan kalau ini hujan bagaimana. Pemeriksaan kan juga harus manusiawi," sebut Irman.

Benarkah pemeriksaan berlangsung manusiawi?

Asep (21)—bukan nama sebenarnya—disuruh jalan jongkok dan guling-guling di halaman aspal begitu tiba di Mapolrestabes Bandung. Sesampainya di Mako Brimob, dia dipentung menggunakan tongkat polisi begitu turun dari truk.

"Saya kena punggung. Sakit. Yang turun dipukul. Ada yang jatuh juga saat turun truk. Ada yang sempat pingsan,” ujar Asep kepada Tirto.

Setelah itu, Asep dan massa aksi lain diminta lari ke Gelanggang Olah Raga (GOR) yang ada di markas itu. Di dalam GOR, aparat membagi mereka menjadi dua. Mereka yang telah tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan yang belum.

Asep termasuk yang sudah tercatat sehingga sewaktu di Mako Brimob Asep hanya dipotret dan dimintai sidik jari. Setelah itu, kegiatannya hanya menunggu kekawannya yang dimintai keterangan untuk BAP hingga dia dipulangkan aparat pada pukul setengah lima pagi.

Sepanjang malam, Asep tidak tidur. "Jangankan tidur, nyender tembok aja disiram air," ujarnya.

“Baju Hitam-hitam” yang Cair

Bila dilihat dari luar saja, wajar bila laporan-laporan yang masuk ke Tito menyimpulkan kelompok ini digerakkan oleh ideologi anarko-sindikalis. Meski demikian, tidak bisa dijamin bahwa semua orang dalam kelompok tersebut berpaham anarkisme atau sindikalisme.

Penelusuran saya menunjukkan mereka terdiri atas pelbagai macam jenis orang. Aparat kepolisian mengatakan bahwa mereka massa non-buruh. Namun, keterangan yang saya himpun dari berbagai orang yang masuk dalam barisan massa ini menunjukkan bahwa dalam kelompok mereka ada para guru yang tidak diperbolehkan berserikat, pekerja yang dilarang atau di tempat kerjanya tidak ada serikat, pekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat, buruh lepas, pelajar SMP, SMA, serta mahasiswa, hingga aliansi suporter klub sepakbola.

Hampir semua orang yang saya wawancarai mengatakan memperoleh informasi mengenai kegiatan aksi May Day itu lewat media sosial. Ada yang karena diajak teman. Ada pula yang secara tidak sengaja ditarik orang tidak dikenal masuk ke barisan kelompok ini.

Nanda, misalnya, yang merupakan pelajar SMA. Dia mengatakan ikut ke kelompok "baju hitam-hitam" itu sebab ingin bersolidaritas kepada buruh. Dia sering ikut aksi advokasi korban penggusuran akibat proyek Rumah Deret Tamansari.

Ini juga bukan May Day pertamanya. Tahun lalu, dia juga turut serta dalam barisan ini, tapi tidak sampai selesai. "Tahun depan saya ikut May Day lagi," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Asep juga punya alasan serupa Nanda. Mahasiswa salah satu universitas swasta di Bandung itu tahun lalu juga ikut May Day bersama barisan “baju hitam-hitam” ini. “Itu berangkat dari rasa solidaritas saya kepada kaum buruh,” katanya.

Sementara itu, Cici (20) dan Ratih (19)—nama samaran—ialah dua perempuan pekerja pabrik. Mereka bertempat tinggal di Garut, sekitar 20 kilometer arah timur Kota Bandung.

Bermodal informasi dari beberapa akun di media sosial Instagram, Cici datang ke Bandung bersama Ratih menggunakan kereta. Mereka ikut pakai dresscode yang dikabarkan akun tersebut (baju hitam atau merah) dan menuju titik kumpul: Taman Cikapayang.

Keduanya baru enam bulan bekerja dan itu adalah pekerjaan pertama mereka setelah lulus SMA. Cici ingin tahu apa yang diperjuangkan dalam May Day. Di Garut juga ada peringatan serupa, tetapi dia dapat saran dari seorang temannya agar sebaiknya ikut May Day di Kota Bandung.

"Hari menjelang May Day, saya sempat nanya ke teman saya May Day itu kaya gimana. Teman saya bilang kalau mau ikut yang di Bandung saja. Di Garut bahaya, katanya," ujar Cici kepada Tirto.

Sayangnya, tujuan Cici kandas. Di sekitar Monumen Perjuangan, Cici ditangkap tentara, lalu dinterogasi, lantaran dituding mencorat-coret mobil yang diparkir di sekitar situ menggunakan cat pilok.

"Saya enggak merasa salah. Barang bukti juga enggak ada kan. Saya disangka mencoret mobil orang. Saya persilakan mereka menggeledah saya, tapi memang bukan saya dan enggak ada barang buktinya," ujar Cici.

Sambil duduk di halaman Mapolrestabes Bandung, Cici mengatakan tetap tidak tahu apa yang diperjuangkan May Day. Ketika ditanya apa tahun depan ikut aksi May Day lagi, Cici menjawab, "Enggak mau. Takut. Dinaikkin [ke truk oleh] tentara kaya tadi."

Pun, tidak semua orang yang diamankan polisi hari itu benar-benar ingin ikut aksi bersama massa “baju hitam-hitam”.

Edo, Eko, dan Eno—semuanya berumur 14 tahun dan ini bukan nama sebenarnya—bersama tiga temannya mengatakan sedang berkunjung saja ke Taman Cikapayang. “Mumpung libur, mau lihat orang main skate,” kata Edo.

Namun, keenamnya tidak menjauh ketika massa “baju hitam-hitam” berkumpul di tempat yang sama. Ketika massa bergegas melancarkan aksi, enam orang yang berasal dari Baleendah, Kabupaten Bandung itu diseret oleh orang tidak dikenal. Mereka masuk barisan dan tidak bisa keluar hingga akhirnya diamankan aparat kepolisian di sekitar Monumen Perjuangan.

Edo mengatakan tidak tahu-menahu soal May Day. Dia hanya ingin bermain di Taman Cikapayang. “Tapi malah kaya gini,” ujarnya sambil mengusap-usap kepalanya yang sudah gundul.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan polisi tidak berhak melakukan penghukuman. Polisi bertugas menyelidik dan menyidik. Menurut Asfinawati, siapa yang memerintahkan tindakan pemukulan dan penggundulan itu mesti diusut. Dia melihat tindakan aparat terencana dan sistematis.

"Penghukuman diputuskan pengadilan. Bukan hakim yang menjalankan hukuman itu, tetapi lembaga lain," ujar Asfinawati.

Memang 293 dari 619 massa “baju hitam-hitam” ini berumur 18 tahun. Namun, catat Asfinawati, bukan berarti mereka mendapat penghukuman sebelum ada keputusan pengadilan.

Tidak usah anak saja, [tindakan polisi] sudah salah. Kalau anak, [tindakan itu] lebih salah lagi. Anak yang berhadapan dengan hukum, misal karena melakukan pembunuhan, saja harus melalui sistem peradilan pidana anak yang berbeda sekali dengan sistem peradilan pidana biasanya," ujar Asfinawati.

Infografik Black Bloc taktik bukan organisasi

undefined

Tidak Mau Menyusup

Asep tidak sepakat bila massa “baju hitam-hitam” dibilang ingin menyusup ke massa buruh.

“Tidak pernah ada instruksi di lapangan supaya kami menyusup ke massa buruh. Kami ikut May Day itu buat memperjuangkan hak buruh juga,” kata Asep.

Laki-laki yang mengatakan pernah membaca buku-buku bertema anarkisme ini mengatakan aparat seharusnya jangan melihat mereka sebatas sebagai perusuh saja. Dia tidak menampik bahwa sebagian orang dalam massanya mencorat-coret. Salah satu bekas coretan ini ada di tembok SLB.C Plus, Jalan Dipati Ukur, dekat Monumen Perjuangan Bandung. Menurutnya, tulisan-tulisan yang dipilok itu mengungkapkan isu-isu di masyarakat.

"Ada 'Usir Setan Tanah' yang terkait dengan agraria. 'Buruh Bukan Budak' yang terkait dengan buruh outsourcing. Artinya, ada kampanye-kampanyenya yang ingin kami angkat lewat tulisan pilok di dinding kota. Media massa saat ini kurang menyoroti hal itu. Kami mencoba memberi tahu kepada rakyat melalui corat-coret itu," kata Asep.

Asep tahu sejak awal bahwa akan ada aksi mencorat-coret menggunakan cat pilok. Namun, tidak pernah ada instruksi untuk mencorat-coret fasilitas umum. Adalah suatu hal yang aneh bila massa mencorat-coret dinding SLB C Plus.

“Orang yang vandal itu tahu mana yang harus di-vandal mana yang enggak," kata Asep.

Saat dihubungi Tirto, Asep tengah berada di tempat persembunyian. Dia mengatakan apa yang menimpanya membuatnya sedikit trauma. Meski demikian, “Insya Allah May Day tahun depan ikut. Ini ujian bagi militansi kita,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani