Menuju konten utama

Kisah Robby Tjahjadi Menyelundupkan Mobil Mewah ke Indonesia

Pengujung 1960-an dan awal 1970-an, Robby Tjahjadi menyelundupkan ratusan mobil mewah yang merugikan negara sebesar Rp 716 Juta.

Kisah Robby Tjahjadi Menyelundupkan Mobil Mewah ke Indonesia
Ilustrasi Robby Tjahjadi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada tahun 1960-an, Sie Tjie It atau Robby Tjahjadi telah mengantongi ijazah dari SMA Xaverius, Surakarta. Warsa 1964, anak pedagang kain mori di Pasar Klewer, Solo ini mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu, usianya sekitar 21 tahun.

Tahun 1969, atau lima tahun sejak merantau ke Jakarta, ia telah menjadi penyalur mobil mewah hasil selundupan. Kepolisian Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Hoegeng Imam Santoso, segera mengendus aksi melanggar hukum ini.

Hingga tahun 1972, Robby masih menjalankan aksinya. Kasusnya mulai ramai dibicarakan dan mendapat perhatian luas dari masyarakat setelah Ali Said, salah seorang pejabat penting di Bea Cukai melakukan hal yang sama. Ali menyelundupkan sekitar 1.500 mobil mewah.

Meski mobil mewah yang diselundupkan Ali Said lebih banyak, namun nama Robby Tjahjadi lebih terkenal sebagai penyedia mobil mewah lewat jalur haram.

Ya, ketika gaya hidup mewah melanda para pejabat Indonesia dan penggede lainnya, Robby menyediakan apa yang mereka butuhkan. Ia menjadi solusi bagi keinginan akan mobil mewah lewat jalur culas.

Ratusan mobil yang ia selundupkan bahkan membuat Kapolri Hoegeng Imam Santoso tercengang. Sejumlah jenama mobil mewah selundupan itu di antaranya Alfa Romeo, Fiat, Quick, BMW, Marcedes Benz, Ford, Continental, Roll Royce, dan lian-lain.

Dibeking Aparat & Hadiah untuk Idris Sardi

Dalam autobigrafinya yang berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan (1993), mantan Kapolri itu menyebutkan bahwa dari bisnis itu Robby hanya kebagian 10 persen. Sisanya menjadi bancakan komplotannya dan para pejabat serta aparat. Total kerugian negara sebesar Rp 716 Juta.

Hoegeng menambahkan, modus operandi yang dipakai adalah dengan cara memalsukan atau memanfaatkan paspor diplomatik. Robby tahu bahwa pemegang paspor tersebut boleh membawa mobil bekas dari luar negeri dengan pajak impor yang tidak tinggi.

“Kerjasama dengan orang bea cukai tertentu memungkinkannya memasukan mobil-mobil baru,” tulis Hoegeng.

Komplotan Robby terdiri dari Iriawan Chandra alias Roy (adik ipar Robby), Aw Tjun Liang, dan Agus Warsono. Di luar itu, mereka juga melibatkan puluhan pejabat tinggi negara di kalangan Bea Cukai Tanjung Priok, polisi, dan militer.

Menurut Hoegeng, Robby tidak akan bisa menyelundupkan mobil tanpa permainan para birokrat. Kecakapan Robby memanfaatkan kebobrokan mental para birokrat kemudian menimbulkan desas-desus. Konon, ia mulanya seorang PNS yang jujur dengan kesejahteraan yang memprihatinkan. Ia pun banting setir menjadi penyelundup mobil mewah. Pengalamannya menjadi amtenar membuatnya memahami perilaku busuk aparat negara.

Di mata Hoegeng, Robby adalah pemuda flamboyan, lincah, dan kreatif. Ia suka bersantai di rumah hiburan malam dan menjalin relasi dengan kaum elite. Ia juga disebutkan pernah menghadiahkan mobil mewah kepada pemain biola legendaris, Idris Sardi, sebagai honor atas ilustrasi musik dalam film yang diproduksi oleh Robby.

Film itu berjudul Tiada Jalan Lain, yang dirilis pada tahun 1972 dan diproduksi oleh PT Tunggal Djaya Film dan Spoon Brothers Film Co Hongkong. Film ini disutradarai oleh Hasmanan dan dibintangi oleh Teng Kuang Yung serta Debby Cynthia Dewi.

Tiada Jalan Lainbercerita tentang seorang pemuda bernama Roy Supit yang ditolak lamarannya oleh keluarga Helen, kekasihnya, karena tidak kaya. Roy kemudian mencuri banyak uang dan kabur bersama Helen. Mobil-mobil mewah turut dipamerkan dalam film ini.

Atas perbuatannya menyelundupkna mobil-mobil mewah, Robby dan komplotannya ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM). Dan barangkali karena melibatkan tentara, mereka pun sempat diperiksa oleh Polisi Militer.

Infografik Robby Tjahjadi

Infografik Robby Tjahjadi. tirto.id/Sabit

Dari Tekstil hingga SDSB

Robby divonis hukuman 10 tahun penjara. Namun menurut Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th edition(2015), ia hanya menjalaninya selama 2,5 tahun. Setelah itu, ia menggeluti bisnis tekstil seperti yang dilakukan oleh keluarganya. Sementara Hoegeng, menurut sejumlah catatan, diberhentikan sebagai Kapolri tak lama setelah kasus tersebut terbongkar.

Lima belas tahun kemudian, Robby menjadi pengusaha sukses di bidang tekstil. Ia mendirikan PT Kanindotex di Semarang. Bersama Johannes Kotjo, Robby sempat berebut perusahaan tersebut.

Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), Robby akhirnya menjadi pimpinan tertinggi di PT Kanindotex. Sementara Johannes Kotjo berbisnis dengan salah satu anak daripada Soeharto.

Di perusahaan tekstil tersebut, Robby kembali dekat dengan seorang elite, tepatnya dengan mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Jenderal Purnawirawan TNI Soemitro yang menjadi komisaris PT Kanindotex.

Di Indonesia, menjadikan pensiunan jenderal atau pejabat publik lainnya sebagai komisaris perusahaan merupakan sesuatu yang lumrah. Alasannya jelas, yaitu sebagai jaminan keamanan atau beking.

Memasuki tahun 1980-an, Robby pernah mendapat kepercayaan dari Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial untuk mengurus undian yang bernama Porkas, yang kemudian dikenal dengan sebutan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).

Di medan judi itu, ada pula nama lain yang pernah bekerja sama dengan Robby dalam film Tiada Jalan Lain, yakni R. Sumampouw. Ia juga satu almamater dari SMA Xaverius.

Menurut Tempo, pada tahun 1993 Robby berbisnis dengan Probosutedjo, adik daripada Soeharto. Perusahaan mereka bernama PT Thamrin Graha Persada yang membangun City Tower di Jalan Husni Thamrin, Jakarta. Lalu setahun setelah itu, Robby tersandung kasus kredit macet di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 900 Milyar.

Baca juga artikel terkait PENYELUNDUPAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh