tirto.id - Muslihatun tak kunjung istirahat ketika jam tepat menunjukkan pukul 12 siang. Ia masih sibuk menyiangi rumput yang menempel di batang tanaman padinya. Langkah demi langkah kaki ia seret secara perlahan dengan pandangan mata yang terjurus ke bawah agar tak ada secuilpun rumput yang terlewat.
Ia tak peduli dengan suara bising sepeda motor dan mobil di jalan. Ia bahkan tak peduli dengan badannya yang harus terus membungkuk di kala usianya sudah menginjak angka 65 tahun. Ia hanya peduli pada rumput yang bila tak dibabat akan merintangi pertumbuhan tanaman padinya.
Muslihatun cukup beruntung. Siang itu awan menggumpal di atas langit sehingga panas matahari tak menghunjam tubuhnya dan air keringat yang mengucur di pelipisnya seketika disapu oleh hembusan angin. Barangkali karena itulah, ia terus menyiangi rumput tanpa menggubris waktu yang terus menanjak.
“Saya berada di sawah itu sejak pukul 7 pagi, diantar dengan sepeda motor oleh anak saya yang nomor terakhir. Kalau pulang juga nunggu dijemput olehnya,” kata Muslihatun ketika diwawancarai oleh kontributor Tirto pada Minggu (8/12/2024).
Sawah Sedikit, Petani Hanya Profesi Sampingan
Muslihatun adalah salah satu warga Surabaya yang masih menjadi petani. Ia menggarap sawah yang terletak di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya. Sawah itu dulunya digarap oleh orang tuanya. Namun, semenjak orang tuanya meninggal, ia yang kemudian mengambil alih hak garap itu. Hanya sekarang ia menggarap sawah itu sendiri karena suaminya juga sudah meninggal.
“Saya tak begitu ingat tahun berapa suami saya meninggal. Saya hanya ingat dia meninggal ketika anak saya yang terakhir masih TK,” ujarnya.
Namun, menjadi petani di kota metropolitan macam Surabaya bukan suatu privilege. Bagaimanapun, ia tak memiliki hak milik atas sawah yang ia garap. Sebab, seluruh sawah yang ada di Kecamatan Pakel sudah dibeli oleh pengembang Ciputra Group. Ia tak ingat tahun berapa orang tuanya menjual sawahnya kepada pengembang besar tersebut. Yang ia ingat harga jual satu meter tanah pada saat itu hanya 5.000 rupiah.
“Sekarang hanya tersisa satu petak sawah yang saya kerjakan. Saya tak paham berapa luasnya. Sebab, sawah yang lain sudah diuruk untuk dijadikan perumahan sama Citraland (Ciputra Group),” kata dia.
Dengan sisa satu petak itu, hasil yang ia peroleh ketika panen tak banyak. Hasil itu harus ia bagi juga bersama anak bontotnya yang masih tinggal seatap dengannya. Ia pun dapat merasakan hasil jerih payahnya sekali dalam setahun karena sawah yang ia garap berjenis tadah hujan.
“Panen tahun kemarin itu tepat menjelang bulan Ramadan dan cuma dapat 15 kg. Makanya sudah habis saat hari raya tiba,” ucapnya dengan senyum ketir.
Karena itulah, ia menganggap petani sebagai pekerjaan sampingan untuk menambah pundi-pundi kebutuhan pokok. Pekerjaan utamanya adalah menjadi tukang sapu di Perumahan Bukit Palma yang dimiliki oleh Ciputra Group.
Ia bekerja dari pagi hingga siang di sana dengan upah sebesar Rp40 ribu per hari. Minggu adalah hari ketika ia libur bekerja. Namun, alih-alih menganggap hari itu sebagai waktu untuk merayakan kebebasannya, ia justru menganggapnya sebagai waktu urgen untuk melihat kondisi sawahnya.
“Nelongso yo wes tua nyambut gawe koyok ngene (nelangsa ya sudah tua bekerja seperti ini),” kata dia bercerita.
Dengan kondisi di atas, ia mengaku tak pernah secuilpun memperoleh bantuan dari Pemkot Surabaya. Namun, ia tak terlalu menuntutnya karena bagaimanapun ia sudah tak punya hak milik atas sawah yang ia garap.
“Iya mungkin karena sawah yang saya garap ini bukan milik saya lagi, jadi kenapa kok bantuan enggak pernah ada,” kata dia.
Kondisi serupa juga dialami oleh Roni, petani lain di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal. Ia mengaku tak pernah memperoleh bantuan dari Pemkot Surabaya. Walau, ceritanya, beberapa kali ada orang yang mengaku dari Pemkot Surabaya mengunjunginya dan berjanji akan memberikan bantuan. Namun, hingga kini bantuan itu tak pernah sampai di tangannya.
“Dulu pas saya menanam jagung, ada orang memotret saya beberapa kali. Saya tanya tujuannya buat apa. Ia jawab sebagai bukti nanti dikasih bantuan bibit jagung. Ia ngaku orang Pemkot Surabaya. Ia bilang kalau nggak percaya nanti kalau saya ke sini lagi silakan ditagih. Namun, orangnya nggak pernah ke sini lagi,” Kata Roni ketika ditemui kontributor Tirto pada Minggu (8/12/2024).
Sama seperti Muslihatun, Roni menganggap petani sebagai profesi sampingan dan bukan pekerjaan utama. Sebab, sawah yang ia garap bukan lagi miliknya dan hasil panen yang ia peroleh tak bisa dikatakan banyak. Pada 2023, misalnya, ia mengaku hanya memperoleh 6 karung gabah ketika panen.
“Hampir semua sawah di sini sudah dibeli oleh Citraland (Ciputra Group). Saya sendiri menggarap cuma 2 petak saja. Citraland memperbolehkan saya untuk menggarap sawah yang telah ia beli. Hanya saja, kalau seumpama nanti sudah diuruk untuk dijadikan perumahan, iya jangan gelo (kecewa),” ungkapnya menerangkan.
Karena itu, selain menjadi petani, ia sehari-hari bekerja sebagai pembuat gabus balok. Upah yang ia peroleh dengan profesi tersebut ialah Rp100 ribu per dua hari. Ia cukup beruntung karena sudah tak lagi menanggung biaya kehidupan anak-anaknya.
“Saya tinggal di sebuah kos-kosan bersama istri saya. Anak saya ada empat dan sudah berkeluarga. Sering saya katakan sama mereka kalau ada waktu luang coba bapak ini dijenguk. Bapak ini nggak minta apa-apa, tapi kalau dijenguk sama anak sendiri itu rasanya senang sekali,” ceritanya.
Di usianya yang kini sudah menapak angka 60 tahun, ia tetap menjadi petani bukan hanya demi asap dapur terus mengepul, melainkan juga mengisi waktu luang sehabis bekerja. Ia merasa tak nyaman ketika langsung kembali ke kos-kosannya.
“Kalau di kos itu rasanya sumpek (sesak). Mending ke sawah enak,” kata dia.
Pentingnya Mendorong Kesejahteraan Petani
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) mencatat bahwa jumlah luasan lahan pertanian di Surabaya hanya 1.151 hektar pada 2024. Angka itu melorot 18 hektar dari 1.169 hektar pada 2023.
Penurunan itu diakibatkan oleh alih fungsi lahan yang gencar dilakukan oleh developer. Sebabnya, dari 1.151 hektar lahan pertanian tersebut, sebanyak 90 persen dikuasai oleh developer dan hanya 10 persen dikuasai oleh perorangan.
Melihat kondisi tersebut, Pemkot Surabaya beberapa kali melakukan inisiasi untuk mendongkrak lahan pertanian di tengah keterbatasan lahan. Pada Oktober lalu, misalnya, Pemkot Surabaya bersama Kementrian Pertanian mengintegrasikan rumah pompa air dengan lahan tanam padi di daerah Surabaya Barat.
Dengan program tersebut, Pemkot Surabaya berharap lahan dapat memperoleh akses air yang lebih banyak, sehingga frekuensi tanam yang selama ini hanya sekali dalam setahun dapat menjadi dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. Selain menjaga ketahanan pangan, program tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
“Ini menjadi upaya peningkatan infrastruktur irigasi untuk memberikan manfaat besar bagi warga Surabaya. Khususnya, di bidang ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani,” kata Pejabat Sementara (Pjs) Wali Kota Surabaya, Restu Novi Vidiani, sebagaimana dikutip Antara.
Hanya saja, program tersebut masih diimplementasikan di tiga tempat yakni, Kelurahan Kedurus di Kecamatan Karangpilang, Kelurahan Jeruk di Kecamatan Lakarsantri, dan Kelurahan Pakal di Kecamatan Pakal.
Padahal, masih ada beberapa kelurahan di kawasan Surabaya Selatan dan Surabaya Barat yang memiliki lahan pertanian dan juga digarap oleh petani. Salah satunya adalah Kelurahan Babat Jerawat sebagaimana diceritakan di atas. Karena itu, program tersebut bisa dibilang belum cukup merata dalam mensejahterakan petani.
Anggota Departemen Advokasi Aliansi Petani Indonesia wilayah Jawa Timur, M. Izzudin, mengatakan, program tersebut saja tak cukup dalam mensejahterakan petani walau memang dapat menjadi opsi yang mungkin.
Menurut dia, perlu bagi Pemkot Surabaya untuk membuat kanal-kanal irigasi untuk menunjang produktivitas pertanian. Dalam hal ini, kanal-kanal irigasi tersebut dapat mengubah sawah yang sebelumnya tadah hujan menjadi sawah dengan teknis irigasi. Sehingga, frekuensi tanam pun berubah secara permanen menjadi 2-3 kali per tahun.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketika sawah sudah berubah dengan teknis irigasi penting untuk kemudian dijaga dan tidak boleh dialihfungsikan.
“Jadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau khususnya, lahan pertanian idealnya perlu didukung dan tidak boleh dialihfungsikan. Sehingga, kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemkot Surabaya tentunya harus menyesuaikan dengan hal tersebut,” kata Izzudin ketika dihubungi kontributor Tirto melalui aplikasi perpesanan, Kamis (19/12/2024).
Ia pun menyorot pentingnya konsistensi Pemkot Surabaya dalam mendukung kesejahteraan petani. Dengan lain kata, akan sungguh ironis apabila Pemkot Surabaya di satu sisi berupaya menunjang produktivitas pertanian melalui pengembangan teknologi dan sarana-prasarana, namun di sisi lain justru menggerus lahan pertanian.
Dalam hal ini, ia mencotohkan kasus Waduk Sepat yang dialihfungsikan untuk dijadikan perumahan pada 2021. Saat itu, Pemkot Surabaya justru menjadi aktor dalam kasus tersebut. Padahal, secara agraris, Waduk Sepat memiliki fungsi irigasi bagi petani yang ada di Kelurahan Lidah Kulon.
Ia mengatakan, ketika Pemkot Surabaya tetap menjaga lahan pertanian, maka masalah ekologis yang ada di Surabaya sedikit-banyak dapat teratasi. Seperti banjir, misalnya, dapat terkurangi atau bahkan mungkin tercegah dengan adanya lahan pertanian sebagai daerah resapan air.
“Ada nilai plus tersendiri ketika lahan pertanian tetap dijaga. Masalah banjir yang umum terjadi di kota metropolitan macam Surabaya, misalnya, setidaknya dapat tercegah. Karena itulah, arah kebijakan Pemkot Surabaya dalam hal menjaga lahan pertanian perlu dilandasi aspek ekologis yakni, sebagai upaya menjaga RTH,” kata Izzudin.
Ia menambahkan bahwa upaya itu juga harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas petani dan pertanian dari hulu ke hilir. Artinya, petani tak hanya perlu didampingi, melainkan juga disediakan lahan-lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk bertani.
Dalam konteks tersebut, Pemkot Surabaya sebenarnya berjanji akan menargetkan perluasan areal lahan pertanian hingga 520 hektar. Namun, belum ada kejelasan lebih jauh lahan seperti apa yang nantinya akan dipakai. Kendati demikian, menjadi penting bagaimana target itu benar-benar terealisasikan.
Menurut Izzudin, setelah semua upaya tersebut sudah dilakukan, hal yang tak boleh dilupakan tentunya adalah pengaturan harga bagi produk petani. Dengan lain, kata dia, Pemkot Surabaya harus menetapkan dan menjaga keseimbangan harga yang dapat menguntungkan dan bukan malah merugikan petani. Harapannya, petani dapat menjadikan pekerjaanya sebagai pekerjaan prioritas dan tak perlu lagi harus menyambi pekerjaan lain di sektor non-pertanian.
“Kalau melihat bagaimana petani juga bekerja di sektor formal maupun informal, itu akan sebenarnya menunjukkan bahwa sektor pertanian sebenarnya enggak menjanjikan. Ini perlu menjadi perhatian khusus bagi Pemkot Surabaya untuk mendorong kesejahteraan petani dari hulu ke hilir, dari peningkatan kapasitas petani hingga pengaturan harga produk petani. Sehingga, petani dapat fokus di sektor pertanian dan tak perlu lagi bekerja di sektor non-pertanian,” kata dia.
Tanpa melakukan itu semua, lahan pertanian perlahan-lahan akan tergerus dan regenerasi petani akan mandek. Bila terjadi demikian, petani Surabaya tak akan pernah lagi terlihat dalam pelupuk mata.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Abdul Aziz