tirto.id - Presiden Prabowo Subianto berencana memborong 1.000 ekor burung hantu, untuk mengatasi masalah hama tikus yang menjadi persoalan dan mengganggu panen para petani. Hal ini ia sampaikan saat mendengar curhatan petani dalam acara simbolis panen raya di Majalengka, Jawa Barat, pada Senin (7/4/2025).
Prabowo mengaku mendapat laporan soal hama tikus dari para petani saat kunjungannya tersebut. Mendengar isu tersebut, Prabowo lantas menyebut burung hantu dapat menjadi solusi.
"Saya dapat laporan hama tikus yang sangat pelik masalahnya. Yang paling bagus sekarang katanya adalah burung hantu. Waduh, ini harga burung hantu naik dong kalau sekarang," ucap Prabowo sembari berkelakar.
Prabowo kemudian sempat memulai interaksi dengan para petani yang duduk di sekitarnya. Ia menanyakan berapa banyak kebutuhan burung hantu untuk mengalami masalah hama tikus kepada para petani yang hadir dalam kesempatan itu. Ketua Umum Partai Gerindra itu mendapat informasi di tempat, untuk harga tiap ekor burung hantu itu bisa mencapai Rp150 ribu.
"Saya bantu untuk berapa burung hantu yang saudara perlu? Saya bantu. Benar, ya. Perlu tambahan berapa burung hantu? Seribu ekor? Seribu ekor kali Rp150.000, berarti Rp150 juta. Baik, saya bantu hari ini juga," ucap Prabowo.
Sembari bercanda, Prabowo mengatakan kalau nanti akan ada banyak burung hantu yang sudah beranak pinak dan berterbangan di Majalengka. Ia kemudian menyinggung adanya kemungkinan daerah lain meminta hal serupa.
Terlepas dari langkah sigap dan konkret yang coba Prabowo lakukan, tepatkah solusi penanganan hama tikus dengan burung hantu?
Burung Hantu Efektif Kendalikan Hama Tikus?
Sejumlah penelitian memang menyebut soal efektivitas burung hantu sebagai pengendali hama tikus di lahan pertanian. Namun, nyatanya tak semua burung hantu efektif untuk membasmi hama tikus di pertanian.
Dalam penelitian berjudul Pengembangan Burung Hantu (Tyto alba javanica Gmel) dalam Pengendalian Hama Tikus yang dipublikasikan oleh Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan, disebutkan bahwa burung hantu jenis Tyto alba javanica terbukti efektif dalam upaya pengendalian hama tikus di lahan pertanian.
Peneliti Ahli Madya yang juga Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudhistira Nugraha, juga sepakat. Dia mengatakan bahwa burung hantu jenis Tyto alba memang memiliki kemampuan memangsa tikus dalam jumlah signifikan di alam terbuka.
Sebagai informasi, Tyto alba merupakan spesies burung hantu yang dikenal adaptif terhadap iklim tropis dan tidak agresif terhadap manusia. Tyto alba menjadi pilihan utama dalam strategi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan.
Namun, Yudhistira menekankan bahwa predator alami tidak akan cukup efektif jika terjadi ledakan populasi tikus (outbreak). Oleh karena itu, strategi pengendalian harus bersifat komprehensif dengan menggabungkan metode mekanik seperti grobyokan, pengemposan sarang, serta sistem trap barrier sebagai tindakan preventif.
“Pendekatan terpadu ini menjadi kunci agar populasi tikus bisa ditekan dengan cepat sebelum stabil kembali dengan bantuan predator alami,” ujarnya, Kamis (10/4/2025), dikutip dari situs resmi BRIN.
Seturut penjelasan yang tertera dalam situs resmi BRIN, dalam kondisi populasi hama yang normal, kehadiran burung hantu Tyto alba mampu menjaga keseimbangan populasi tikus. Pendekatan ini juga tidak perlu memanfaatkan bahan kimia atau racun berbahaya, yang dapat mencemari lingkungan.
Meski begitu, dalam praktiknya, penggunaan burung hantu sebagai pengendali hama juga memerlukan pengelolaan yang cermat. Sebab, jika populasi Tyto alba tidak dikendalikan dan makanan utama mereka menipis, mereka bisa memangsa spesies lain seperti burung kecil, kelelawar, bahkan ternak kecil.
“Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu keseimbangan ekosistem lokal. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan dan pengaturan populasi secara berkelanjutan,” kata Yudhistira.
Dia lantas mengusulkan untuk mendukung konservasi dan efektivitas burung hantu, salah satu praktik terbaik yang dilakukan petani adalah menyediakan rumah burung hantu atau rubuha. Rubuha berupa kotak sarang di atas tiang setinggi empat hingga lima meter dapat diletakan di lahan pertanian.
Hal ini penting, karena Tyto alba tidak membangun sarang sendiri. Rubuha menjadi kunci keberhasilan program konservasi ini, sekaligus menjadi fasilitas penting bagi mereka untuk menetap dan berkembang biak.
Burung hantu yang menetap di rubuha, kemudian bisa ditangkarkan dan dilatih terlebih dahulu di kandang karantina. Dalam fase ini, mereka dikenalkan dengan tikus hidup sebagai pakan, kemudia baru mereka dilepas ke lingkungan pertanian secara bertahap.
Yudhistira juga menekankan keberhasilan strategi ini sangat ditentukan oleh sejumlah hal, di antaranya keterlibatan petani, edukasi yang memadai, dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
“Sinergi konservasi yang menyatu dengan strategi pengendalian hama terpadu adalah masa depan sistem pertanian modern yang aman dari hama tanpa merusak lingkungan,” tutup Yudhistira.
Perkuat Kelembagaan Petani Tak Kalah Penting
Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia, Qomarun Najmi, menilai pengembangan burung hantu saat ini memang menjadi cara yang paling efektif untuk pengendalian hama tikus.
“Burung hantu adalah sahabat petani yang membantu melindungi lahan pertanian dari serangan tikus. Keberadaan mereka mendukung pertanian ramah lingkungan dan ketahanan pangan tanpa penggunaan bahan kimia berbahaya,” ujar Qomar saat dihubungi Tirto, Jumat (11/4/2025).
Meski begitu, Qomar menyebut idealnya upaya yang dilakukan adalah ‘mengundang’ burung hantu ke lahan pertanian, bukan dengan cara membeli burung hantu dari luar kemudian dilepaskan begitu saja di tempat yang baru.
“Burung hantu ini punya ingatan fotografis yang kuat dan dia punya kawasan perburuan sendiri. Melepaskan dia di tempat yang baru tentu akan membutuhkan adaptasi lagi, dan bisa jadi malah ada yang menangkapi burung hantu itu untuk dijual lagi,” ujarnya.
Qomar mewakili Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan beberapa tips untuk ‘mengundang’ burung hantu secara alami ke lahan pertanian. Hal pertama yang harus dilakukan oleh petani adalah menciptakan ruang aman bagi burung hantu itu sendiri.
“Pastikan burung hantu tidak diburu atau terganggu. Selain itu, kawasan burung hantu harus bebas dari bahaya, seperti racun tikus (rodentisida),” terangnya.
Selanjutnya, ia mengimbau para petani untuk membuat tenggeran atau memasang tiang atau batang kayu tinggi berbentuk huruf ‘T’, sebagai tempat burung hantu bertengger. Letakkan tenggeran di lokasi strategis, yang sering dilewati tikus. Langkah terakhir, ia mengimbau petani untuk memasang membuat rumah atau sarang yang nyaman bagi burung hantu di lokasi pertanian.
Qomar menambahkan untuk mengatasi masalah serangan hama tikus yang terjadi di Majalengka dan sejumlah lahan pertanian di daerah lain, penting untuk penguatan kelembagaan tani. Sehingga para petani bisa melakukan perencanaan produksi, termasuk pengendalian hama secara bersama-sama.
“Penanaman secara serempak, penggunaan lahan untuk perangkap, dan menghindari racun karena bisa meracuni burung hantu juga,” ujarnya menjabarkan peran kelembagaan tani.
Terpisah, pakar pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, sepakat bahwa burung hantu merupakan metode penanganan hama tikus secara alami yang memiliki efektivitas yang lumayan baik. Meski begitu, ia menilai tidak mudah menjadikan metode ini sebagai salah satu langkah menangani tikus.
“Ekosistem kita sepertinya tidak terlalu ramah dengan burung hantu. Untuk bisa hidup dengan baik, burung hantu memerlukan ekosistem yang tepat. Layaknya burung, ia memerlukan semacam ‘rumah’. Bisa saja dibuatkan bekupon seperti burung dara, tapi burung hantu ini memerlukan tempat hidup seperti pepohonan,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (11/4/2025)
Soal ini, Khudori tak terlalu yakin sawah-sawah terutama yang berada di pulau Jawa masih ditumbuhi pepohonan yang memungkinkan menjadi tempat hidup burung hantu. Menurutnya, melepas burung hantu untuk mengusir hama tikus mungkin bisa jadi salah satu solusi, namun akan membutuhkan waktu untuk menciptakan ekosistem yang cocok.
“Selain itu, petani kita sudah terbiasa dengan penggunaan pemberantasan tikus secara fisik dan kimia. Mengubah ini tentu tidak mudah juga. Perlu juga dikembangkan cara-cara penanganan yang ramah alam lainnya. Tapi ini, perlu waktu. Petani perlu kembali disegarkan pengetahuannya, perlu digerakan gotong royongnya,” papar dia.
Sebagai pakar di bidang pertanian, Khudori menilai, salah satu faktor mengapa hama tikus bisa merajalela di banyak daerah, salah satunya karena tidak ada masa tanam padi yang terus-menerus dan tidak terputus.
“Sepanjang tahun, sawah ditanami padi. Tikus menemukan tempat dan makan sepanjang tahun. Perlu dibuat pola tanam tidak terus-menerus padi. Dalam setahun bisa diselingi tanaman horti atau tanaman kacang-kacangan,” terang dia.
Senada dengan Qomar, dia juga menekankan pentingnya pengelolaan bersama lahan. Perencanaan produksi tanaman yang serentak bisa mereduksi jumlah hama tikus.
“Untuk kedepannya, tanam harus serentak agar jika ada serangan tikus tidak terlalu berat. Karena yang diserang di luasan yang luas. Tanam yang tidak serentak membuat tikus terus mendapatkan makanan, tinggal pindah dari satu sawah ke sawah lain,” tutup Khudori.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto