tirto.id - Barbados, negeri asal penyanyi Rihanna yang terletak di kawasan Kepulauan Karibia, membuat sejarah. Pada 30 November lalu mereka mengangkat kepala negara atau presiden baru, Sandra Mason (72). Ia menggantikan Ratu Kerajaan Inggris, Elizabeth II, yang telah memegang jabatan tersebut selama 55 tahun.
Dengan demikian Barbados resmi menjadi republik setelah sekian lama menganut sistem monarki konstitusional parlementer. Artinya pula peran simbolis atau seremonial, misalnya penunjukan duta besar dan diplomat, tak perlu lagi dijalankan atas nama Ratu. Untuk empat tahun ke depan fungsi itu akan dijalankan oleh Presiden Mason, yang terpilih melalui pemilu oleh anggota DPR. Sementara pemerintahan dijalankan oleh kabinet Perdana Menteri Mia Mottley.
Barbados merdeka dari cengkeraman kolonialisme Inggris sejak 1966. Kendati demikian, hubungan mereka tidak serta-merta berakhir sebab Barbados memilih bergabung dengan persemakmuran Inggris atau Commonwealth dan menyatakan setia kepada monarki Inggris dengan mengangkat Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara (apabila Indonesia melakukan hal yang sama, maka hari ini kita punya Raja Willem-Alexander dari Belanda sebagai “wajah” bangsa Indonesia, sementara kabinet Joko Widodo menggerakkan roda pemerintahan).
Sebanyak 15 anggota Commonwealth seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan tetangga Barbados, Jamaika, masih mengakui Ratu Inggris sebagai kepala negara. Lainnya, misal India dan Singapura, sudah lebih dulu jadi republik berdaulat yang memutuskan tidak mengikat sumpah setia dengan Kerajaan. Selain mereka, ada juga monarki independen seperti Malaysia dan Brunei.
Meskipun sudah memutus asosiasinya dengan monarki Inggris, Barbados masih mempertahankan keanggotaan Commonwealth, perhimpunan politik yang diikuti secara sukarela oleh mayoritas negara bekas koloni Inggris. Artinya, Barbados tetap berkomitmen menjalin kerja sama baik dengan Inggris Raya dan negara-negara Commonwealth lain di bidang ekonomi, perdagangan, pembangunan sosial, sampai perlindungan lingkungan.
Masyarakat Budak Pertama Buatan Inggris
Pencopotan Elizabeth II merupakan langkah terakhir Barbados untuk betul-betul lepas dari pengaruh kolonialisme Inggris selama nyaris empat abad. Transisi menjadi republik juga diharapkan bisa memantik diskusi publik tentang warisan kelam penjajahan Inggris di kawasan Karibia, termasuk mengakselerasi tuntutan komunitas setempat terkait ganti rugi atau reparasi atas praktik perbudakan.
Orang Inggris pertama berlabuh di Barbados pada 1625 dan resmi mendirikan koloni dua tahun kemudian. Melansir tulisan Robert C. Batie dalam bunga rampai Caribbean Slavery in the Atlantic World (2000), awalnya Inggris mengembangkan tembakau, kapas, dan jahe. Sekitar dua dekade kemudian, ketika harga daun tembakau mulai jatuh, tanaman tebu digalakkan dan terbukti cepat jadi primadona. Sepanjang 1655, Barbados berhasil mengirimkan 7.787 ton gula ke Inggris. Pada abad ke-17, mereka telah dipandang sebagai koloni paling menguntungkan di seluruh dunia.
Namun, siapakah yang bisa dieksploitasi di perkebunan tebu, komoditas tani yang pengolahannya kompleks dan menguras tenaga? Tidak lain adalah para budak.
Kala itu saudagar Inggris sudah punya akses ke sentra jual beli budak di pesisir barat Afrika. Disokong oleh permintaan tinggi akan pekerja di Barbados, mereka mengirimkan kapal berisi orang-orang dari Angola, Guinea-Bissau, dan Tanjung Verde. Sebagian pernah bekerja untuk perkebunan di teritori jajahan Portugis sehingga dianggap imun dari virus penyebab demam kuning yang sempat membunuh ribuan orang di perkebunan Barbados selama wabah pada 1647.
Semenjak itulah Inggris membangun sistem ekonomi tebu berbasis masyarakat budak di Barbados—kelak menjadi model bagi sistem perbudakan di seluruh Karibia dan Amerika Utara. Dari jutaan orang Afrika yang diboyong menyeberangi Samudra Atlantik ke kawasan Amerika, diperkirakan 500 ribu orang diangkut oleh kapal-kapal Inggris ke Barbados.
Orang kulit hitam dieksploitasi habis-habisan sehingga rentan terserang penyakit. Menurut studi terhadap kerangka-kerangka budak yang dikubur di selatan pulau, Newton Slave Burial Ground, banyak yang meninggal dunia karena infeksi penyakit akibat tuberkulosis, tetanus, disentri, dan kusta, sementara usia harapan hidup hanya berkisar 18 tahun. Kematian mereka pada intinya disebabkan oleh kehidupan penuh tekanan atau “stres ekstrem”.
Seiring waktu, populasi budak kulit hitam di Barbados bertambah dan sebagian dari mereka mulai menuntut emansipasi. Aksi protes terbesar meletus pada 1816, dipimpin oleh budak bernama Bussa dan diikuti sekitar 400 orang. Dalam waktu singkat, Bussa dan separuh lebih pengikutnya dieksekusi oleh pasukan kolonial (pada 1998 atau sekitar 180 tahun kemudian, Parlemen Barbados mengangkat Bussa sebagai satu dari sepuluh pahlawan nasional).
Meskipun praktik perbudakan sudah dihapuskan pada 1834, orang-orang kulit hitam di Barbados masih hidup nelangsa dan tertindas di bawah kuasa kulit putih. Situasi ekonomi yang susah di kalangan para pekerja kulit hitam kelak menyulut aksi protes pada 1876 dan 1937.
Seiring protes pecah pada 1937, gerakan untuk mengadvokasi kesejahteraan buruh semakin kuat. Tahun itu pula Partai Buruh Barbados didirikan oleh Grantley Adams--yang kerap dipanggil Bapak Demokrasi. Perjuangan mereka membuahkan hak pilih universal pada 1951, ketika semua orang dewasa, apa pun latar belakang etnis dan sosio-ekonominya, bisa memberikan suara saat pemilu. Sebelum itu, hanya pemilik properti dan orang kaya yang diberi ruang.
Saat gelombang dekolonisasi menyapu dunia pada abad ke-20, tahun 1966 Barbados lepas dari Inggris. Meskipun sudah merdeka, mereka masih mengangkat Ratu Inggris sebagai kepala negara. Seiring itu, kebijakan-kebijakan era kolonial tetap meninggalkan jejak, seperti Hukum Kontrak yang melarang pembelian lahan di kalangan mantan budak dan keturunannya. Dampak dari kebijakan itu masih terasa sampai 1970, ketika 77 persen tanah di Barbados dikuasai oleh 10 persen pemilik lahan terkaya.
Lahir Kembali
Kini, setelah lebih dari setengah abad sejak merdeka, Ratu Inggris tak lagi menjadi simbol pengayom bagi 300 ribu orang di pulau yang tak sampai seluas Jakarta itu. Logika bahwa rakyat Barbados harus diwakili oleh monarki Inggris memang sudah tidak relevan mengingat Inggris tak lagi berkuasa atas Barbados, di samping Ratu Elizabeth II dan anak-cucunya memang tidak pernah hidup berdampingan dengan masyarakat yang sehari-hari menghirup udara di sana.
Dilansir dari TheGuardian, sejarawan asal Barbados Hilary Beckler menganggap representasi negaranya oleh monarki Inggris sudah menggerus martabat mereka sebagai warga negara, seiring “pejabat publik harus bersumpah setia pada penguasa yang bukan bagian dari realitas mereka.”
Transisi Barbados jadi republik dipandang mengandung makna simbolis yang kuat. Menurut Nathan Tidridge dari Institute for the Study of the Crown, Kanada, perubahan ini merupakan “momen penting dalam pembangunan identitas negara.” Sementara Anthony Bogues dari Center for the Study of Slavery and Justice di Brown University menyorot bagaimana Perdana Menteri Mottley punya pandangan visioner untuk memasang unsur-unsur “ke-Karibia-an” dengan terlebih dahulu menghapus simbol-simbol monarki Inggris.
Berdasarkan pengamatan mantan diplomat Barbados di London, Guy Hewitt, keputusan untuk mencopot Ratu Elizabeth II berkaitan dengan persepsi masyarakat Barbados yang berubah terhadap Inggris Raya dan monarkinya sejak kasus Windrush menyeruak pada 2018. Kala itu orang-orang keturunan Karibia yang sudah lama menetap di Inggris harus kehilangan pekerjaan, ditahan otoritas, dan terancam dideportasi (beberapa bahkan sudah dideportasi) karena dianggap imigran ilegal. Mereka adalah anak-anak dari generasi Windrush, yang ikut orang tuanya bermigrasi ke Inggris atas undangan pemerintah untuk mengisi kekosongan tenaga kerja setelah Perang Dunia II berakhir sampai 1971.
Kasus Windrush, menurut Hewitt, adalah bentuk xenofobia pemerintah Inggris dan mencerminkan bentuk “pelestarian rasisme institusional.”
Gelombang Black Lives Matter tahun lalu juga dipandang ikut mengobarkan semangat Barbados untuk bertransisi jadi republik. Pengumuman pemerintah Barbados untuk mencopot Ratu Inggris terjadi pada September 2020, seiring demonstrasi BLM berlangsung di penjuru dunia. Lalu, dua bulan kemudian, pemerintah memindahkan patung admiral Inggris Lord Horatio Nelson, tokoh pendukung perbudakan, dari alun-alun kota ke museum.
Ambisi Barbados untuk lepas dari bayang-bayang Inggris sebenarnya dapat dilacak lebih jauh sampai puluhan tahun lalu. Melansir New York Times, pada dekade 1970-an sudah ada komisi khusus untuk membahas transisi menuju republik, namun ide tersebut ditinggalkan karena kurang mendapat dukungan publik. Pembahasannya kembali ramai pada akhir dekade 1990-an. Tahun 2005, parlemen sempat merancang undang-undang untuk menyelenggarakan referendum terkait hal itu.
Pada akhirnya, transisi menuju republik tidak dilakukan melalui referendum, tahapan yang biasanya dilalui suatu negara sebelum berubah jadi republik. Perdana Menteri Mottley diduga sudah punya mandat untuk melakukannya tanpa referendum. Dukungan publik pun jauh lebih luas. Berdasarkan hasil survei, 60 persen responden menghendaki Barbados jadi republik dan hanya 10 persen yang merasa nyaman dengan status quo.
Bukan berarti responden yang disebut terakhir lebih memihak ke Inggris. Sebagian hanya menganggap waktunya saja yang tidak tepat. Marcia Weekes dari organisasi yang menuntut reparasi kepada pemerintah Inggris atas perbudakan era kolonial, misalnya, mengatakan ada warga yang tidak antusias dengan selebrasi republik baru karena lebih dipusingkan dengan perkara hajat hidup. “Di sini sulit untuk beli makan, barang-barang dasar,” ucap Weekes.
“Apakah ini waktunya tepat? Buat apa terburu-buru? Kenapa harus dilakukan selama pandemi Covid-19? Tidak bisakah kita mengurus keperluan dasar terlebih dahulu? Beberapa dari kami bahkan tidak punya air mengalir,” katanya.
Terlepas dari kritik yang muncul dari dalam negeri, transisi republik Barbados diperkirakan sedikit banyak akan menginspirasi langkah serupa, terutama di pulau tetangga, Jamaika. Mirip dengan Barbados, Jamaika jadi koloni Inggris sejak abad ke-17 dan baru merdeka pada 1962. Selama setengah abad, transisi republik di Jamaika sudah kerap dibahas namun belum jua terwujud.
Sebelum Barbados, segelintir bekas koloni Inggris di Karibia sudah lebih dulu jadi republik independen. Guyana merdeka pada 1966 dan jadi republik pada 1970. Menyusul setelahnya adalah Trinidad dan Tobago pada 1976. Dominika mengikuti jejak tersebut dua tahun kemudian. Transisi menjadi republik ini terjadi seiring aktivisme Black Power mencuat di Amerika Serikat pada dekade 1970-an.
Setelah jadi republik, bukan berarti Barbados punya agenda fundamental, misal mengubah haluan politik atau kebijakan ekonomi.
Meskipun kelak negara-negara eks-koloni mencampakkan monarki, mereka diperkirakan akan terus mempertahankan relasi kuat dengan Inggris, ujar Philip Murphy, penulis buku The Empire's New Clothes: The Myth of the Commonwealth (2018). Sebabnya, negara-negara yang sudah pernah mengangkat Ratu sebagai kepala negara cenderung punya identifikasi kultural yang lebih dalam dengan Inggris. Di samping itu, relasi dengan monarki Inggris dipandang sudah menawarkan semacam stabilitas, terutama bagi negara-negara kecil.
Editor: Rio Apinino