Menuju konten utama

Drama Monarki Yordania, Season 1: Anak Ningrat Kecam Pejabat Korup

Yordania, satu dari sedikit negara stabil di Timur Tengah, belakangan goyang. Ada apa?

Drama Monarki Yordania, Season 1: Anak Ningrat Kecam Pejabat Korup
Raja Yordania Abdullah II memberikan pidato saat pelantikan sesi non-biasa Parlemen ke-19, di Amman Yordania. Yousef Allan / The Royal Hashemite Court via AP

tirto.id - Yordania, monarki bekas protektorat Inggris di kawasan Arab, baru saja diguncang drama keluarga. Pangeran Hamzah, adik tiri Raja Abdullah II yang sekarang berkuasa, mengaku dijadikan tahanan rumah, seperti disampaikannya dalam video penuh drama yang dikirimkan kepada media Inggris BBC pada Sabtu (03/04).

Melalui video tersebut, Hamzah menuding pemerintah telah membiarkan negara jatuh dalam “korupsi, nepotisme dan tata pemerintahan yang buruk”. Tanpa sekalipun menyinggung nama dalam lingkaran monarki, ia menyorot kecenderungan pemerintahan Yordania yang otoriter. Yordania, menurut Hamzah, “sudah ada titik di mana tak seorang pun bisa bicara atau berpendapat tanpa dirundung, ditangkap, dilecehkan, dan diancam”.

Militer Yordania menegaskan, Hamzah tidak ditahan, melainkan sekadar diminta menghentikan tindak-tanduknya yang dikhawatirkan berdampak pada “keamanan dan stabilitas” di dalam negeri.

Terlepas dari itu, sejumlah figur di sekeliling Hamzah ditangkapi, mulai dari manajer kantor dan istana, staf keamanan, sampai mantan pejabat Bassem Awadallah dan anggota keluarga kerajaan Sharif Hassan Ben Zaid, yang dua-duanya disinyalir punya relasi bisnis kuat dengan Arab Saudi. Sementara itu, seperti diungkapkan dalam video, Hamzah bersikukuh bahwa dirinya tidak terlibat baik dalam konspirasi maupun bekerja sama dengan kelompok sokongan pihak asing.

Kisruh ini hanya berlangsung sebentar. Tiga hari kemudian, Hamzah dikabarkan sudah menandatangani surat pernyataan untuk setia pada monarki. Tertulis dalam lembar tersebut, “Saya akan tetap berkomitmen pada konstitusi Kerajaan Hasyimiyah Yordania, dan saya akan selalu membantu serta mendukung Yang Mulia Raja dan putra mahkotanya.”

Sepintas, gesekan kakak-beradik dalam pusaran kekuasaan monarki terlihat lumrah. Namun demikian, kejadian ini tergolong langka dalam tradisi monarki Yordania.

Sebelum Abdullah II bertahta, Yordania dipimpin oleh ayahnya, Hussein I. Sebelum wafat pada tahun 1999, Hussein I mencoret adiknya, Pangeran Hassan, dari garis suksesi penerus kerajaan. Tanpa menimbulkan kebisingan di publik, Hassan ikhlas menerima putusan tersebut. Tahta kekuasaan lantas diturunkan kepada Abdullah II, putra dari istri kedua sang raja.

Pada awal pemerintahannya, Abdullah II bersedia mengangkat adik laki-lakinya—anak dari istri keempat ayahnya—Hamzah, sebagai putra mahkota. Akan tetapi, tahun 2004, status putra mahkota tersebut dicabut dan dialihkan kepada putra kandung sang raja. Konstitusi tahun 1952 mengatur tahta kekuasaan harus diteruskan kepada putra sulung raja, meskipun raja tetap punya pilihan untuk menunjuk adik laki-lakinya sebagai penerus.

Terlepas betul atau tidaknya niatan Hamzah untuk mengambil alih kekuasaan dari abangnya, gonjang-ganjing dugaan kudeta yang berujung pada kasus penahanan terhadap pejabat pemerintahan atau anggota kerajaan bukan hal yang lazim ditemui dalam satu abad riwayat monarki Yordania.

Empat dekade silam, pernah terjadi kasus percobaan kudeta. Hanya saja, insiden ini tidak melibatkan figur-figur di lingkaran dalam monarki. Melansir laporanNew York Times pada 26 November 1972, otoritas Yordania menangkap petinggi militer bernama Rafeh Hindawi, dan seorang bankir, Said Dajani. Mereka dikabarkan mendapat sokongan dari pemerintah Libya untuk membunuh Raja Hussein I serta adiknya, putra mahkota Hassan, dalam rangka mengakhiri suksesi monarki keluarga Hasyimiyah.

Insiden ini terjadi pada awal-awal berkecamuknya perang sipil di Libya. Kala itu, relasi diplomatik Yordania-Libya tengah memburuk. Muammar Khadafi, yang baru saja menancapkan kekuasaannya di Libya, dikabarkan suka mengompo-ngompori militer Yordania agar menggulingkan Hussein I dan memproklamasikan republik. Menurut intelinjen Yordania, kalau saja kudeta berhasil dilakukan, negara gabungan Palestina-Yordania bakal didirikan. Gerilyawan Palestina pun dapat dipastikan akan membangun markasnya di dalam wilayah Yordania.

Negara Kecil yang Stabil?

Yordania, negara kecil dengan populasi sekitar 10 juta jiwa ini acapkali dipandang solid dan damai, sampai dielu-elukan sebagai “oasis stabilitas” di kawasan Timur Tengah yang kerap mengalami pergolakan politik.

Sejak merdeka dari Inggris pada 1946, monarki Yordania mampu mempertahankan kedaulatannya walaupun sehari-hari dibuat pusing oleh hingar-bingar negara tetangga, mulai dari konflik Israel-Palestina, krisis di Suriah dan Irak, hingga berbagai ancaman terorisme dari grup ekstremis Al Qaeda dan Islamic State. Tatkala gelombang Arab Spring menyeruak satu dekade silam, serangkaian protes berskala kecil di Yordania juga tidak menimbulkan pengaruh berarti pada kestabilan monarki.

Di mata Amerika Serikat, Yordania adalah sekutu penting untuk menjalankan berbagai program kontra-terorisme, terutama menghadapi Islamic State. Selain itu, Israel, yang sudah menjalin pakta perdamaian dengan Yordania sejak 1994, menganggap Yordania mitra strategis untuk menjaga kepentingan nasionalnya. Keduanya berbagi garis perbatasan yang cukup panjang, sehingga Yordania bisa diposisikan sebagai area penyangga atau dinding untuk melindungi Israel dari serangan Iran. Tak mengherankan, begitu kabar tak menyedapkan tentang Yordania ini mengudara, Israel dan AS cepat-cepat menunjukkan dukungan terhadap kepemimpinan Abdullah II. Suara senada disampaikan pula di antaranya oleh perwakilan Uni Eropa, Arab Saudi, Lebanon, Kuwait, Qatar, dan Palestina.

Di balik citra tangguh dan ramainya dukungan internasional terhadap Yordania, monarki sebenarnya dihadapkan pada serangkaian masalah internal yang cukup kompleks. Salah satunya terkait dampak krisis Suriah, yang mendorong masuknya gelombang pengungsi sejak 2013. Sampai hari ini, Yordania sudah menerima sedikitnya dari 1,3 juta orang Suriah. Lebih dari 600 ribu di antaranya terdaftar sebagai pengungsi.

Menurut laporan dari France24, otoritas Yordania mengesahkan undang-undang untuk membuka lapangan kerja di sektor pertanian, infrastruktur, perhotelan dan industri bagi orang Suriah pada 2017. Kebijakan ini lahir dari negosiasi panjang antara Yordania dengan negara-negara Barat sebagai usaha untuk menahan laju imigran dari Timur Tengah ke Eropa.

Namun demikian, selama pandemi Covid-19, angka kemiskinan diperkirakan mengalami kenaikan, baik di kalangan warga Yordania dan pengungsi asal Suriah. Melansir grafik dari Bank Dunia, angka pengangguran melonjak jadi 18,5 persen pada tahun 2020, tertinggi dalam enam tahun terakhir. Selain itu, krisis air di dalam negeri semakin mengkhawatirkan, seiring meningkatnya jumlah populasi yang harus dihidupi di sana. Yordania tidak seperti negara-negara teluk kaya minyak dan gas alam di sekitarnya, yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih dengan memilih opsi mahal teknologi penyulingan air laut.

Ketergantungan Yordania terhadap donor asing sangatlah tinggi, terutama untuk membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi para pengungsi dan warga lokal yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Setiap tahun Yordania menerima bantuan asing lebih dari USD 1 miliar, sementara mereka masih dililit utang publik sebesar USD 45 miliar, atau setara dengan 101,8 persen dari Produk Domestik Bruto.

Analis Labib Kamhawi menyampaikan kepada VOA, bahwa nyaris 80 persen pendapatan Yordania berasal dari pajak. Akan tetapi, gara-gara lockdown, roda perekonomian terhenti dan rakyat kesulitan membayar pajak, sementara bantuan dari asing juga berkurang.

Masalah kronis lain di dalam negeri juga berkaitan dengan maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat. Tahun 2019, pemerintah mengesahkan undang-undang untuk melarang pejabat negara terlibat dalam kontrak bisnis ketika menjabat di pemerintahan. Selama ini, mega proyek seperti pembangunan jalan dan jembatan, bisnis impor-ekspor sampai waralaba internasional, kerap dijalani oleh elite politik atau mereka yang punya kedekatan dengan penguasa, demikian amatan anggota parlemen dari Aqaba, Ghazi al-Hawamleh, dikutip dari Al Jazeera.

Tiga tahun terakhir, rakyat yang gerah dengan kemacetan ekonomi dan korupsi sudah mulai turun ke jalanan untuk protes. Pada Juni 2018, tercatat sekiranya 3.000 demonstran berkumpul di Amman untuk memprotes reformasi keuangan yang berujung pada rencana kenaikan pajak penghasilan dan harga bahan pangan. Demonstrasi untuk menentang kebijakan pajak dan korupsi juga terjadi pada Desember, diikuti oleh sedikitnya 400 orang dan dimotori oleh kaum muda. Protes-protes ini tidak ditujukan secara langsung kepada pihak monarki, melainkan Perdana Menteri, yang sewaktu-waktu bisa ditunjuk dan dicopot oleh Abdullah II.

Kedekatan Hamzah dan Pengkritik Pemerintah

Di tengah situasi carut-marut inilah, mantan putra mahkota Yordania sekaligus adik tiri sang raja, Hamzah, diketahui menjalin kedekatan dengan keturunan suku-suku tradisional Yordania di kawasan Tepi Timur yang menjadi basis pendukung raja selama ini. Namun, sekian tahun belakangan, mereka vokal menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Yordania karena merasa diabaikan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi dan pembangunan.

Suku-suku dari Tepi Timur yang kecewa dengan pemerintahan ini kelak tergabung dalam jaringan aktivis “Herak”, semacam gerakan pro-demokrasi yang gerah dengan praktik politik korup di pucuk pemerintahan Yordania. Gerakan Herak bisa ditemui di kalangan suku-suku di Tepi Timur dan di seberang timur Sungai Yordania. Meskipun selama ini mereka menjadi basis terkuat pendukung monarki, sokongan tersebut mulai meredup terutama semenjak Arab Spring.

Maret kemarin, serombongan demonstran turun ke jalan untuk memprotes aturan jam malam dan menyatakan kecewaannya atas sejumlah kasus kematian Covid-19 karena kelalaian pihak rumah sakit. Orang-orang suku tradisional yang tergabung dalam gerakan Herak diketahui ikut berdemonstrasi.

Seiring dengan munculnya ketidakpuasan dari kelompok suku tradisional ini, Hamzah ikut menyuarakan kegelisahannya. Pada 2018 silam, ia mengutarakan teguran kepada pemerintah karena tata kelola yang buruk di sektor publik dan kegagalan melawan korupsi. Masih pada 2018, Hamzah terlihat semakin dekat dengan tokoh-tokoh kaum adat, nampak dari salah satu unggahannya di Twitter yang dilampiri kalimat “Oh negaraku”.

Ia menyambut dengan terbuka berbagai undangan pertemuan dari para petinggi suku, langkah yang dipandang sebagai usaha Hamzah untuk membangun citra sebagai tokoh pengayom yang dekat dengan rakyat. Hamzah populer di kalangan suku Bedouin, salah satu kelompok yang paling keras mengkritik monarki di bawah kekuasaan Abdullah II. Mereka tampak nyaman bergaul dengan Hamzah karena dipandang lebih paham budaya dan bahasa Arab. Karakter tersebut agak berbeda dari Abdullah II, yang tumbuh dewasa berbahasa Inggris dan mengenyam pendidikan sejak muda di Inggris dan Amerika Serikat.

Kedekatan Hamzah dengan suara-suara kritis di Yordania inilah yang disinyalir membahayakan stabilitas di dalam negeri. Seperti disampaikan anggota parlemen Yordania, Omar Al-Ayasra, kepada Middle East Eye, kabar penangkapan sejumlah tokoh di sekitar Hamzah berkaitan dengan klaim-klaim bahwa dirinya “sudah menjadi sumber ketidaknyamanan bagi sistem politik yang ada, dengan hadirnya kekuatan-kekuatan sosial dan sejumlah demonstran yang bersimpati dengannya”. Maka dari itu, pihak berwenang bergegas mengambil langkah tegas untuk meredam gejolak yang dikhawatirkan muncul.

Pandangan senada juga diterima oleh Reuters dari seorang mantan elite politik AS yang familiar dengan situasi Yordania. Menurut sumber ini, plot yang diusung oleh segelintir pihak di Yordania punya kredibilitas dan cakupan basis pendukung yang luas, meskipun tidak akan terjadi dalam waktu dekat dan wujudnya bukan “kudeta fisik”. Sejumlah pihak yang ditangkap memang diduga merencanakan aksi protes yang terlihat seperti “pemberontakan rakyat dengan massa di jalanan” dengan dukungan tokoh dari berbagai suku.

Pada akhirnya, otoritas Yordania sukses meredam pergerakan Hamzah. Perseteruan keluarga berakhir damai dengan pakta kesetiaan Hamzah terhadap monarki. Di balik itu semua, kritik yang sempat disuarakan oleh Hamzah menjadi pengingat bahwa elite politik Yordania tidak bisa menutup mata dari berbagai tantangan domestik yang semakin berat. Alih-alih membungkam suara-suara kritis, otoritas Yordania disarankan mencari jalan keluar dari keterpurukan ekonomi dan menguatkan aksi pemberantasan korupsi di lingkaran penguasa.

Baca juga artikel terkait FEODALISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf