tirto.id - “Tidak ada kehidupan untuk saat ini. Aku kehilangan jiwaku dan menjadi sangat mati rasa. Di masa lalu, beban berat di hati tidak aku rasakan. Yang kurasakan sebelumnya hanyalah fisik yang lelah.”
Beban berat tersebut Nicole rasakan sejak mulai bekerja di salah satu perusahaan internet terbesar di Cina tahun lalu. Upah yang didapatkan memang dapat mencukupi kebutuhan hidup, tetapi dengan kompensasi bekerja ekstra panjang. Kepada Vice Asia ia menjelaskan bekerja 12 jam atau lebih selama enam hari dalam sepekan. Sebagai salah satu eksekutif perusahaan, ia juga harus siaga 24 jam seandainya ada masalah darurat yang harus segera diselesaikan.
Jam kerja yang panjang membuatnya sering menyantap makan pagi hingga malam di kantor. Gitar yang kerap dia mainkan sehabis pulang kerja juga kini hanya jadi pajangan. Terhitung sudah empat kali perempuan kelahiran 1992 ini mendatangi ruang gawat darurat di jam sibuk karena tak kuasa mengikuti ritme kerja. Ia mengatakan situasi ini membuatnya merasa “jatuh”.
Apa yang dialami Nicole dikenal dengan “sistem jam kerja 996”. Maksudnya, seseorang memulai kerja pukul 9 pagi dan selesai pukul 9 malam selama 6 hari.
South China Morning Post melaporkan perusahaan swasta di Cina, terutama yang bergerak di bidang teknologi, lazim mengadopsi praktik 996. Di perusahaan rintisan atau startup, 996 diterapkan dengan harapan kerja keras para pekerja berbuah kesuksesan. Sementara di perusahaan teknologi besar, itu dipandang sebagai bentuk komitmen dan dedikasi pekerja di seluruh level.
Kelaziman ini tercermin pula lewat riset dari Bloomberg yang menemukan sebanyak 24,7% dari 2.268 responden lembur setiap hari, sedangkan 45,5% lembur dua atau tiga hari sepekan. Kira-kira dua dari tiga pekerja di Cina, menurut penelitian yang diselenggarakan pada April 2019 lewat situs Weibo itu, tidak memperoleh libur dua hari di akhir pekan secara teratur.
Yashuo Chen dan Chungjiang Yang dari Yantai Nanshan University serta Pengbo Li dari Beijing International Studies University mengatakan kebanyakan pekerja Cina--baik kerah biru, administrator, manajer, dan profesional--bekerja dengan durasi panjang dan intens. Selain kesehatan, aspek sosial pekerja pun terdampak praktik kerja ini. Penelitian “Examining the Effects of Overtime Work on Subjective Social Status and Social Inclusion in the Chinese Context” yang mereka buat menyebutkan jam kerja panjang berhubungan dengan tingkat inklusi sosial yang rendah.
Istilah “996” dipopulerkan Jack Ma, orang kaya raya pendiri perusahaan teknologi Alibaba dua tahun lalu. Jam kerja panjang menurutnya merupakan kunci perusahaan teknologi Cina agar bisa menyaingi raksasa digital di Silicon Valley, Amerika Serikat. “Jika kita menemukan apa yang kita suka,” katanya, “996 bukanlah masalah.” Sebaliknya jika memang pada dasarnya tidak suka, “setiap menit adalah siksaan.” Dengan kata lain menurutnya tak ada masalah dengan praktik yang membuat orang seperti Nicole “kehilangan jiwa dan mati rasa.”
Sebetulnya praktik ini telah lama disorot dan dikritisi, namun semakin mendapatkan perhatian setelah pada akhir bulan lalu Mahkamah Agung dan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial Cina menyatakan 10 kasus tentang kerja 12 jam sehari selama 6 hari dalam sepekan melanggar hukum.
Menurut South China Morning Post, praktik 996 sebenarnya legal menurut undang-undang ketenagakerjaan Cina. Pekerja diperbolehkan lembur tiga jam sehari dengan jeda istirahat selama satu jam, sehingga total jam kerja 12 jam dalam satu hari. Namun, patut dicatat bahwa perusahaan juga harus mematuhi batas maksimal kerja lembur, yaitu 36 jam sebulan.
Praktik 996 juga diprotes sebab tak hanya memicu kelelahan fisik dan mental, tapi juga hingga menyebabkan kematian. Salah satunya dialami Li yang meninggal pada akhir 2018 lalu. Pengadilan yang mengatakan Li meninggal sebab terlalu banyak bekerja. Ia bekerja 300 jam atau lebih tiap bulan dan tidak diberikan libur lebih dari tiga hari di bulan biasa. Ada pula dua karyawan e-commerce Pinduoduo yang meninggal awal tahun ini. Korban pertama pingsan sebelum meninggal; korban kedua bunuh diri karena tak kuat dengan beban yang diberikan.
Fenomena Kerja Ekstra Panjang di Cina
Kemunculan 996 tak terlepas dari berkembangnya bisnis berbasis internet di Cina sejak awal 2000-an, menurut Li Xiaotian di jurnal akses terbuka The Made in China Journal. Kandidat doktor di Departemen Sosiologi University of Hongkong itu mengatakan perusahaan rintisan yang mendapat sokongan modal ventura berada di bawah tekanan untuk menunjukkan hasil dan ini merangsang tumbuhnya kerja dengan durasi panjang.
Beberapa berhasil dengan cara itu. Misalnya Baidu, Alibaba, dan Tencent (BAT) yang pada pertengahan 2010-an telah menjadi tiga perusahaan besar baru di Cina. Namun sebagian besar lain gagal.
Keberhasilan segelintir perusahaan ini menjadi magnet para pekerja. Mereka menganggap perusahaan yang besar mampu memberikan gaji, lingkungan kerja yang layak, dan jenjang karier yang jelas. Jadilah, menurut Li Xiaotian, para karyawan “rela” bekerja 996 atau “secara fleksibel” sebab dengan itu dianggap dapat memperbesar perusahaan dan pada akhirnya menyejahterakan para karyawan.
Tetapi pekerja segera dibuat kecewa. Li Xiaotian mengatakan kekecewaan itu terakumulasi sejak 2018, ketika gelombang PHK massal terjadi di industri internet. Ia berpendapat gerakan anti-996 lahir dalam konteks ketika ketidakpuasan karyawan perusahaan teknologi dan internet meningkat akibat kerja lembur, pertumbuhan gaji dan tunjangan yang stagnan, serta menurunnya kesehatan karena tuntutan pekerjaan. Li Xiaotian menyebut PHK massal dan gerakan anti-996 sebagai sinyal pupusnya “big firm dream” para pekerja.
Menurut Statista, terdapat 750,6 juta pekerja di Cina pada 2020. Sebanyak 47,7% bekerja di sektor jasa sedangkan sisanya di bidang industri (sebesar 28,7%) dan agrikultur (sebanyak 23,6%).
LSM China Labour Bulletin menyebutkan satu pertiga dari total pekerja atau setara 286 juta adalah migran dari desa (rural migrant). Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Cina merupakan negara yang mengalami migrasi internal paling luas saat ini. Migrasi tersebut memiliki dua ciri yang saling terkait dengan struktur sosial dan ekonomi makro. Pertama, sebagian besar migran meninggalkan lahan pertanian untuk pergi ke perkotaan dan/atau bekerja di bidang non-pertanian. Kedua, arus tenaga kerja tersebut berasal dari pedalaman ke daerah pesisir dan/atau wilayah tengah serta barat ke timur.
Kebanyakan migran dari desa bekerja sebagai pekerja kerah biru seperti buruh pabrik, buruh harian, pedagang kaki lima, pegawai restoran, dan kurir antar. Menurut akademisi Jenny Chan dari Hong Kong Polytechnic University, kerja ekstra panjang jadi masalah bagi migran dari desa, pengangguran, dan lulusan baru universitas yang bekerja sebagai pekerja dispatch, yaitu mereka yang dipekerjakan agen lalu dikirim ke berbagai tempat yang membutuhkan SDM. Pada 2011, menurut survei pemerintah Cina, terdapat 37 juta pekerja dispatch di perusahaan di seluruh negeri.
Meski lebih banyak yang menjadi pekerja kerah biru, ada pula migran dari desa yang bekerja di industri perangkat lunak dan teknologi informasi di ibu kota, menurut KrAsia berdasarkan data dari Biro Statistik Kota Beijing. Dilaporkan pula jumlahnya meningkat dari tahun lalu. Data itu juga menyebutkan mereka memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya sebab mampu meraih gelar sarjana serta pascasarjana. Akan tetapi, meski termasuk tenaga kerja terampil, mereka mesti menjalankan praktik 996 yang melelahkan fisik dan mental.
Kemalangan demi kemalangan akhirnya menuai reaksi dan perlawanan dari para pekerja. Pada 2019, sekelompok pemrogram merilis kampanye “996.ICU” di situs coding Github. Mereka mendaftarhitamkan perusahaan yang menerapkan jam kerja panjang dari penggunaan open-source kode mereka. Protes langsung juga kerap terjadi. LSM China Labour Bulletin mencatat terjadi 131 protes dari kurir antar makanan, yang juga memiliki jam kerja panjang, antara 2016 hingga 2021.
Perlawanan dari para pekerja itu sendiri dan kemenangan kecil di depan hukum nampaknya bakal membuat perusahaan tak lagi melanggengkan atau setidak-tidaknya memikirkan ulang sistem kerja 996 ini.
Editor: Rio Apinino