Menuju konten utama

Gaji Tinggi Bisa "Membayar" Sikap Bos Minim Empati. Apa Iya?

Kebutuhan ekonomi membuat banyak orang mencoba bertahan di pekerjaan yang memuakkan, bahkan cenderung merendahkan diri. Tapi sampai kapan?

Gaji Tinggi Bisa
Header Diajeng Benefit Gaji. foto/Istockphoto

tirto.id - AR, 42 tahun, punya tiga anak lelaki cerdas, karier cemerlang di perusahaan multinasional ternama, dan makin sempurna dengan adanya dukungan penuh dari sang suami. Kehidupan yang diimpikan banyak perempuan.

Namun tak ada yang tahu pergulatan apa yang sesungguhnya ia alami dan apa yang harus ia “korbankan” untuk bisa mencapai posisi tersebut.

Ia merintis karier dari nol di perusahaan yang sama selama kurang-lebih 15 tahun, tapi perjalanan kariernya sebagai senior manager yang belum genap 5 tahun dirasa begitu menguras fisik dan psikologisnya.

“Banyak yang bilang, gaji dan benefit gede mah maklum ajalah kalau kantor bikin stres. Tapi, buat saya, rasanya tidak ada yang bisa membeli kesehatan dan juga harga diri saya sebagai seorang manusia,” cerita AR.

Kala itu, ia bertanggung jawab membuat laporan langsung ke atasan wilayah regional Asia-Pasifik yang berasal dari Taiwan.

“Entah apakah kultur kerja kita (orang Indonesia) beda dengan mereka atau gimana, tapi atasan saya waktu itu hampir bisa dibilang tidak menoleransi apa pun jika berhubungan dengan pekerjaan,” sambungnya.

Salah satu pengalaman yang membuat AR merasa harga dirinya tercabik adalah saat ia mendadak mengajukan cuti satu hari karena pamannya (kakak kandung dari ibu AR) berpulang.

“Memang uwak saya meninggal jelang business review, dan yang cukup bikin saya kaget adalah respons atasan ketika saya mengajukan cuti: ‘Saya turut berduka atas kepergian pamanmu. Tapi, apakah kamu tetap harus cuti? Bukannya seharusnya sudah ada anggota keluarganya yang mengurus?’,” kenang AR sembari tertawa miris.

Tidak berhenti di situ, tekanan dari atasan masih berlanjut saat AR sudah kembali bekerja.

“Pagi-pagi, saat saya call 1 on 1 progress meeting sama dia, awalnya semua baik-baik saja dan dia mengapresiasi kerja saya, sampai tiba saat call akan selesai dia menceletuk, ‘Semuanya sudah oke, tapi ingat ya ada beberapa bagian krusial yang masih harus kamu lengkapi. Jangan lupa dilengkapi, jangan sampai karena pamanmu meninggal kemarin, kamu jadi menelantarkan pekerjaan. Ingat, kantor sudah membayar kamu buat kerja’,” tutur AR.

Saat itulah, pergolakan batin terjadi. Ia merasa seolah telah menggadaikan harga dirinya demi sederet benefit dan gaji yang ia terima.

“Waduh, itu rasanya nggak karuan. Benar-benar, setelah mematikan call sama atasan, saat itu juga saya nangis. Kalau nggak mikirin kerjaan dan business review yang sudah di depan mata, rasanya pengen banget ajuin resign.

Akhirnya, saya mencoba mencari segudang alasan untuk terus berpikir positif dan profesional supaya bisa kembali berpikir jernih.”

Psikolog Anisa Cahya Ningrum yang juga konsultan di salah satu restoran ternama mengatakan bahwa tak hanya gaji dan benefit tinggi dari perusahaan, cara atasan bersikap dan berperilaku juga berpengaruh besar terhadap kinerja karyawan.

“Sikap atasan yang baik dapat mendorong karyawan untuk mematuhi instruksi atasan dan akhirnya dapat membuat karyawan bekerja lebih baik sehingga membuat karyawan akan lebih produktif,” terang Anisa.

Dalam skala kecil, kepemimpinan yang buruk dapat menimbulkan burnout bagi karyawan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa burnout atau stres di tempat kerja pun saat ini sudah menjadi fenomena global yang harus diberi perhatian serius.

Sikap buruk atasan tak hanya akan memengaruhi kinerja satu atau dua orang karyawan tetapi juga dapat menimbulkan efek domino terhadap kinerja organisasi.

Terkait dengan tekanan dan stres di kantor yang dapat disebabkan oleh sikap atasan, Anisa mengatakan ada bidang pekerjaan tertentu yang akan lebih terdampak dengan kepemimpinan buruk atasan.

Header Diajeng Benefit Gaji

Header Diajeng Benefit Gaji. foto/ISotckphtoo

“Kasus yang pernah saya temukan adalah mereka yang bekerja di industri kreatif. Orang-orang yang bekerja di industri kreatif sangat sensitif dengan proses dan hasil kreatif mereka. Nah, ketika mereka merasa bahwa atasan mereka tidak mengapresiasi keduanya dan ditambah atasan yang cenderung tidak bisa berempati terhadap perjalanan yang mereka lalui, biasanya mereka tidak akan segan untuk mencari kesempatan berkembang di tempat lain,” tuturnya.

Apalagi tidak semua karyawan merasa bahwa sikap empati yang ditunjukkan atasan tulus.

Survei di Amerika Serikat terhadap 1000 responden menunjukkan 52% pekerja merasa kalau sikap empati dari perusahaan ataupun atasan mereka itu palsu.

Perasaan itu tidak sepenuhnya salah. Dalam kasus AR, misal, atasannya memang menyampaikan belasungkawa saat ia dilanda kedukaan, tetapi celetukannya menggugurkan empati di awal.

Menunjukkan sikap empati memang tidak mudah bagi sebagian orang. Namun, jika sudah dipercaya untuk menempati posisi tertentu dalam organisasi, penting bagi atasan untuk belajar berempati terhadap rekan kerja.

“Untuk menunjukkan empati yang tulus, sebaiknya seorang pimpinan siap untuk menjadi pendengar yang baik, luangkan waktu serta tunjukkan gesture yang juga baik saat berkomunikasi dengan karyawan. Jangan lupa untuk berikan validasi terhadap perasaan karyawan tanpa harus men-judge, apalagi sampai menyakiti mereka,” jelas Anisa.

Seorang atasan harus bisa memilih diksi yang tepat dalam merespons karyawan. Respons empati yang tepat pun tidak berhenti pada respons verbal, tetapi juga perilaku.

Sinergi antara perkataan dan perilaku atasan akan dengan sendirinya mencerminkan apakah empati yang ditunjukkan benar-benar tulus atau sekadar pemanis.

Header Diajeng Benefit Gaji

Header Diajeng Benefit Gaji. foto/Istockphoto

Laporan terbaru dari Ernst & Young (EY) mengungkap bahwa atasan yang memiliki sikap kepemimpinan baik dapat meningkatkan produktivitas karyawan, bahkan menekan angka turnover pekerja dalam suatu perusahaan. Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa 58% karyawan meninggalkan perusahaan karena merasa tidak dihargai oleh atasan.

“Peristiwa berpulangnya uwak masih belum bisa memukul saya mundur dari perusahaan hingga suatu hari saya benar-benar tidak bisa meninggalkan kantor ketika anak kedua saya panas tinggi di rumah,” ujar AR, merasa perannya sebagai ibu tercoreng.

Ia hanya bisa menghubungi anaknya melalui panggilan video sambil berjanji untuk segera pulang setelah membereskan urusan kantor.

“Hancur hati saya saat mendengar ucapan anak saya, ‘Aku nggak mau minum susu lagi. Umi nggak usah beli susu jadi Umi nanti nggak usah ke kantor lagi ya, kan aku udah nggak minum susu.’ Keesokan harinya, saya memutuskan resign,” tutup AR yang kini beralih profesi jadi pengusaha kuliner.

Apalah arti jabatan, gaji, dan benefit tinggi bila tidak ada lagi kesejahteraan dalam bekerja. Setuju?

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Syarahsmanda Sugiartoputri

tirto.id - Diajeng
Penulis: Syarahsmanda Sugiartoputri
Editor: Yemima Lintang