tirto.id - Wang Zhaogang, 52 tahun, pindah ke kota untuk memperbaiki kehidupan. Ia ingin punya pekerjaan tetap dan pendapatan yang layak sehingga kelak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Namun, alih-alih mampu mewujudkan mimpinya, Wang justru hidup sengsara; berat badannya turun drastis hingga 15 kg, tak punya uang, dan paru-parunya terserang infeksi mematikan. Segala kenestapaan itu merupakan imbas dari buruknya perlakuan pemerintah kota terhadap pekerja seperti Wang.
“Kami diperlakukan bak serangga … bukan seperti manusia,” kata Wang kepada South China Morning Post. “Sudah kujual hidupku ke Shenzen. Jika aku tahu risiko kerjanya seperti ini, aku tak akan datang ke kota. Tak peduli seberapa miskinnya aku nanti.”
Wang datang ke Shenzen dari tempat asalnya di Sangzhi, Provinsi Hunan, pada 2004. Bersama ratusan pekerja lainnya, Wang tertarik dengan kampanye pembangunan Kota Shenzen yang menjanjikan lapangan pekerjaan dan upah menggiurkan.
Program pembangunan besar-besaran yang dilakukan Shenzen memang membuahkan hasil. Dari yang semula berstatus kota perikanan dengan pendapatan tak seberapa, Shenzen berubah jadi kota berpendapatan domestik senilai 338 juta dolar pada 2017. Tapi, nasib baik itu tak mampir di hidup para pekerja yang turut menyukseskan pembangunan. Banyak dari mereka yang hidup nelangsa dan bahkan tak jarang terancam sekarat.
Kota-Kota Lain Juga Sama
Pemandangan serupa juga terlihat di kota-kota besar lainnya di Cina daratan. Di Beijing, misalnya, belasan pekerja tewas dalam insiden kebakaran pada November 2017. Mengutip The Guardian, kebakaran terjadi di kawasan industri yang berlokasi di Beijing Selatan. Pekerja pendatang yang tewas mencapai 17 orang.
Pemerintah Beijing dihujani kritik tak lama setelah insiden tersebut. Poin dari kritikan rata-rata senada: menyesalkan sikap pemerintah yang mengabaikan nasib jutaan pekerja migran yang tersebar di restoran, perusahaan pengiriman barang, lokasi konstruksi, toko ritel, dan sejumlah pabrik kecil di Beijing.
Di Kota Guangdong, yang terkenal dengan sebutan “lantai pabrik dunia,” para pekerja migran juga menghadapi kenyataan yang sama. Mereka dibayar dengan upah rendah, diperlakukan secara tak manusiawi, dan anak-anak mereka tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Di Cina, migrasi pekerja dari desa ke kota-kota besar adalah hal yang lumrah. Mayoritas penduduk desa pindah ke kota karena lahan pertanian tak lagi dapat menyediakan pendapatan yang berkelanjutan. Migrasi pekerja melaju pesat seiring menggeliatnya pembangunan di Cina. Kedatangan pekerja migran di kota praktis membuka kesempatan bagi tenaga kerja yang murah.
Para pekerja migran—atau kerap disebut “imigran domestik”—boleh saja punya ekspektasi lebih. Akan tetapi, kenyataan berbicara sebaliknya. Di samping memperoleh upah rendah dan mendapatkan perlakuan semena-mena, masalah yang seringkali harus mereka hadapi ialah minimnya pemenuhan hak-hak kesehatan.
Penelitian Therese Hesketh dkk berjudul “Health Status and Access to Health Care of Migrant Workers in China” yang dipublikasikan Public Health Reports (2008) menyebutkan bahwa pekerja migran di kota-kota besar Cina tidak memperoleh layanan kesehatan secara maksimal. Rata-rata hanya 19 persen pekerja migran yang punya asuransi kesehatan. Angka itu lebih baik dibanding di Chengdu dan Shenyang yang pekerjanya sama sekali tidak memiliki asuransi kesehatan.
Situasi itu terjadi akibat beberapa faktor, mulai dari ruwetnya birokrasi, biaya asuransi yang mahal, sampai perlakuan diskriminatif rumah sakit terhadap para pekerja migran. Walhasil, kesehatan para pekerja migran, catat Hesketh dkk, “rentan memburuk dalam jangka waktu yang panjang”.
Tambah Parah karena Hukou
Ada sekitar 260 juta “imigran domestik” yang mendiami kota-kota besar di Cina—atau setara 20 persen populasi keseluruhan. Catatan Partai Komunis Cina memperlihatkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, demografi “imigran domestik” di Cina telah tumbuh sebanyak 30 kali.
Seiring berjalannya waktu, angka tersebut menjadi masalah bagi pemerintah Cina. Pasalnya, terlepas dari pembangunan yang kian menggeliat, gelombang pekerja migran menciptakan masalah-masalah baru seperti kepadatan penduduk hingga kesenjangan sosial.
Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan hukou—sistem registrasi dan pendataan bagi pendatang—untuk mengendalikan arus perpindahan penduduk di kota. Bagi pendatang yang ingin bekerja di kota, mereka harus punya hukou. Dengan hukou, para pendatang bisa mendapatkan hak yang sama seperti masyarakat kota pada umumnya: perawatan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan dasar untuk anak-anak, dan perumahan yang layak.
Namun, penerapan hukou tak semudah yang dibayangkan. Untuk sebagian besar pekerja migran dari pedesaan, hukou merupakan masalah besar; mereka harus membayar lebih untuk memperoleh layanan tersebut, yang sayangnya tidak otomatis mengubah hukou mereka menjadi “penduduk kota.” Tempat kerja para pendatang pun seringkali gagal memfasilitasi mereka untuk memperoleh hukou yang sesuai.
Masalah hukou ini rupanya punya akar historis sejak pemerintahan Cina dipegang oleh Mao Zedong. Dalam “China’s 20 Percent Problem” yang terbit di Foreign Affairs (2015), Damien Ma mencatat pada era 1950an, Partai Komunis Cina sedang berupaya untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Ketua PKC, Mao, lantas mengeluarkan sistem pendaftaran penduduk untuk mengendalikan pertumbuhan populasi.
Kebijakan ini secara umum ditafsirkan sebagai berikut: penduduk desa yang ingin masuk ke kota diatur secara ketat. Selain mencegah kota semakin sesak, kebijakan itu juga diterapkan agar pertanian yang menyuplai pasokan beras tetap bisa beroperasi.
Terlepas dari alasan teknis, banyak pihak meyakini bahwa kebijakan tersebut adalah cara Mao untuk menjaga suara konstituen PKC di kota. Mao khawatir apabila masyarakat desa dibiarkan masuk kota, maka penduduk kota akan tidak terima dan akhirnya memberontak dari partai. Maka, opsi “bijak” yang dapat diambil yakni dengan “mengorbankan” penduduk desa agar tetap di desa mengingat, terang Ma, “mereka cenderung mudah dikendalikan dan lebih sulit terlibat dalam aksi kolektif yang dapat mengancam rezim.”
Mulanya, sistem hukou berjalan relatif lancar tatkala perekonomian Cina masih ditopang sektor pertanian. Tapi, situasi perlahan berubah seiring munculnya tekanan reformasi ekonomi pada 1980-an yang menuntut pasar tenaga kerja Cina menyesuaikan industrialisasi serta pembangunan besar-besaran sektor manufaktur.
Akibatnya, Beijing tidak punya banyak pilihan selain mengendurkan pembatasan perpindahan penduduk ke kota. Masyarakat pedesaan berbondong-bondong meninggalkan desa dan mulai bekerja di pabrik-pabrik di tepi Sungai Zhujiang dan daerah Delta Sungai Yangtze.
Semakin ke sini, sistem hukou dirasa jadi penghalang bagi 'migran domestik' di Cina karena menghalangi mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Dorongan masyarakat agar pemerintah menghapuskan kebijakan itu pun seketika membesar.
Pada 2013, pemerintah Cina menyusun rencana untuk mereformasi sistem hukou. Singkatnya, pemerintah Cina ingin hukou tak lagi menyulitkan para pekerja pendatang.
Kenyataannya, usaha pemerintah masih jauh dari harapan. Dalam “China’s Hukou Reforms and the Urbanization Challenge” yang dipublikasikan The Diplomat (2017), Spencer Sheehan menyebutkan bahwa hidup para pekerja migran masih saja sulit, kendati pemerintah telah merencanakan reformasi hukou dan melakukan investasi besar-besaran untuk menghapus kesenjangan lewat penyediaan rumah dan fasilitas lainnya.
Reformasi hukou, tegas Sheehan, dipandang tidak merata. Akses kesehatan bagi pekerja masih minim, demikian pula pemenuhan pendidikan bagi anak-anak mereka. Angka kepemilikan rumah untuk para pekerja pun juga masih rendah karena pemerintah mematok harga yang cukup mahal.
Pembangunan di Cina memang sedang menggeliat. Tapi, di saat bersamaan, pembangunan itu membuat jutaan buruh dalam negeri hidup miskin di tengah beban kerja yang berat dan hak-hak sosial-ekonomi yang tak kunjung terpenuhi akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran.
Editor: Windu Jusuf