tirto.id - Setelah AS kembali mengumumkan kenaikan tarif progresif pada barang-barang produksi Cina awal pekan lalu, Alibaba Group membatalkan rencana membuka satu juta lapangan pekerjaan di AS. Sebuah langkah yang mencerminkan sentimen negatif bisnis Cina di AS sejak perseteruan ini dimulai.
Dalam wawancaranya dengan Xinhua, Jack Ma, salah satu pendiri dan CEO Alibaba Group, mengatakan, kondisi perseteruan dagang antara Cina dan AS ini membuat perusahaannya sulit memenuhi janji.
Ia menambahkan, janji yang disebutkan pada awal 2017 itu dibuat berdasarkan premis hubungan dagang yang baik antara Cina dengan AS dan pertumbuhan rasional dari hubungan dagang kedua negara.
"Premis itu tidak lagi berlaku saat ini, jadi janji itu tidak dapat kami penuhi," sebutnya.
The New York Times melaporkan pada hari Senin, (20/9/2018), Presiden Donald J. Trump mengumumkan bahwa AS akan menerapkan tarif pada barang-barang produksi Cina senilai US$200 milyar. Kebijakan ini diumumkan setelah sebelumnya AS menerapkan pajak pada barang-barang senilai US$50 milyar. Penerapan tarif baru itu berlaku progresif sejak Senin (24/9/2018), dimulai pada besaran 10 persen yang kemudian akan terus meningkat hingga 25 persen pada 1 Januari 2019.
"Kami telah memberikan Cina kesempatan untuk memperlakukan kami dengan lebih adil. Tapi, sejauh ini, Cina belum menunjukkan kesediaan mereka untuk merubah praktek mereka," kata Trump. Ia merujuk pada defisit perdagangan antara AS dengan Cina. Tahun lalu, defisit ini mencapai angka sekitar US$375 miliar.
Janji Jack Ma untuk membuka satu juta lapangan pekerjaan di AS dalam jangka waktu lima tahun itu sendiri berpusar pada ide membuka akses pasar di Cina yang lebih luas kepada usaha kecil dan menengah di AS melalui platform Alibaba. Meski demikian, banyak analis yang skeptis terhadap klaim Jack Ma. Salah satunya Christoper Balding, profesor ekonomi dan bisnis di Universitas Peking.
Dalam wawancaranya dengan Guardian, Balding mengatakan bahwa target tersebut tidak masuk akal jika mengacu pada periode waktunya. Ia mengatakan, jumlah satu juta lapangan pekerjaan baru akan masuk akal apabila tenggat waktunya bukan lima melainkan 25 hingga 40 tahun.
Sentimen Negatif Investasi
Terlepas dari masuk akal atau tidaknya janji tak kesampaian Jack Ma, perang dagang antara AS dengan Cina memiliki dampak pada investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) Cina ke AS, yang kemudian dapat berimbas pada potensi bertambahnya angka lapangan pekerjaan di negara tersebut.
Menurut laporan dari lembaga riset independen Rhodium Group tahun 2018, nilai investasi perusahaan-perusahaan Cina di AS hanya mencapai angka US$1,8 miliar antara Januari hingga Mei tahun ini.
Angka tersebut turun tajam sebesar 92 persen jika dibandingkan pada periode yang sama pada 2017 dan merupakan yang terendah dalam tujuh tahun terakhir. Penurunan ini, menurut Thilo Hanemann, Direktur Rhodium Group dan salah seorang penulis laporan tersebut, diakibatkan salah satunya oleh dampak tidak langsung dari perselisihan dagang AS-Cina.
"Pendekatan yang lebih konfrontatif dari administrasi Trump terhadap hubungan ekonomi dengan Cina telah menimbulkan keraguan dalam benak perusahaan-perusahaan [Cina] ini soal posisi mereka di sini," kata Hanemann kepada seperti dilansir dari CNN.
Pada 2016, jumlah investasi para pebisnis Cina di AS mencapai angka US$46 milyar, merujuk pada laporan Rhodium Grup tahun 2017 (PDF). Angka ini naik sekitar tiga kali lipat jika dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah US$15 miliar.
Masih menurut laporan yang sama, hingga akhir 2016, ada sekitar 141.000 lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan Cina di AS. Angka ini naik 46 persen jika dibandingkan tahun 2015 dan sembilan kali lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2009. Angka ini tidak mencakup jumlah pekerjaan tidak langsung seperti proyek-proyek konstruksi dan perusahaan penyuplai.
Farok J. Contractor, profesor departemen manajemen dan bisnis global di Rutger Business School, berpendapat bahwa hubungan ekonomi yang buruk antara AS dengan Cina dapat berdampak pada ratusan ribu pekerja AS, terutama yang terkait dengan investasi Cina ke AS.
Dalam esainya yang berjudul "Disrupting US-China Relations Will Incur High Costs" (2018), Contractor memperkirakan terdapat sekitar 90.000 hingga 357.000 pekerja AS yang berpotensi terdampak dari sentimen negatif investasi Cina ke AS. Angka itu diperoleh berdasarkan estimasi yang ia ambil dari laporan Rhodium dan Departemen Perdagangan AS.
Meski demikian, jumlah tersebut berpotensi naik jika pekerjaan di sektor yang terkait dengan perdagangan AS-Cina turut diperhitungkan. Ia memperkirakan sekitar 1,24 juta pekerjaan akan terdampak di sektor ekspor Amerika ke Cina. Hal ini membuat total perhitungan pekerjaan yang terdampak di AS dapat mencapai kisaran 1,5 juta pekerjaan.
Sejumlah perusahaan besar di AS sendiri saat ini dimiliki oleh Cina. Di antara perusahaan tersebut, catat Forbes, adalah Smithfield Foods yang diakuisisi oleh Shuanghui International (Saat ini bernama WH Group); Ingram Micro yang diakuisisi oleh Tianjin Tianhai Investment Development Co; Legendary Entertainment Group yang diakuisisi oleh Dalian Wanda; serta General Electric Appliances, salah satu unit bisnis General Electric (GE), yang diakuisisi oleh Qingdao Haier Co.
Sebagai catatan, Smithfield Foods merupakan produsen daging babi terbesar di dunia. Seperti dilaporkan oleh Nikkei Asian Review, Smithfield sudah merasakan dampak langsung dari perang dagang AS-Cina.
"Jika konflik perdagangan AS-Cina berlanjut, kami akan mempercepat laju penyesuaian portofolio perdagangan kami untuk unit AS guna mengurangi dampaknya," jelas CEO WH Group Wan Long.
Dorongan Pelbagai Faktor
Meski demikian, sentimen negatif investasi di atas semata-mata bukan hanya disebabkan oleh keraguan dari para pebisnis Cina terkait perang dagang antara AS-Cina, sama seperti yang dirasakan oleh Jack Ma.
Thilo Hanemann mengatakan, faktor lain yang berpengaruh terhadap menurunnya investasi Cina ke AS adalah makin ketatnya pengawasan regulator AS atas akuisisi perusahaan-perusahaan AS oleh para pelaku bisnis Cina. Foreign Policy melaporkan, ketatnya pengawasan ini terkait dengan kekhawatiran AS akan pengaruh Cina terhadap keamanan nasional AS, terutama pada investasi di sektor teknologi.
Masih dari laporan Rhodium Group 2018, disebutkan pula bahwa Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (The Committee on Foreign Investment in the United States/CFIUS) dan sejumlah regulator AS saat ini menjadi hambatan utama bagi investor-investor Cina.
Selain itu, pada 2017, pemerintah Cina juga mengeluarkan kebijakan yang membatasi investasi perusahaan Cina ke luar negeri. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Cina untuk merespons arus keluar modal dalam jumlah besar.
Terlepas dari sejumlah faktor tersebut, suasana penuh tekanan tetap mewarnai nuansa hubungan bisnis perusahaan-perusahaan AS-Cina akibat perang dagang antara kedua negara.
"Ketegangan [AS-Cina] membuat orang-orang Cina gamang untuk melakukan bisnis di AS," jelas Stephen Orlins, Presiden Komite Nasional Hubungan AS-Cina, seperti dilansir dari CNN.
Editor: Windu Jusuf