Menuju konten utama

Mengakhiri Hidup Akibat Persoalan Jam Kerja

Bunuh diri di Jepang sesuatu yang sudah tak asing, dengan cara harakiri atau seppuku karena persoalan kehormatan. Di era modern, mengakhiri hidup di Jepang bisa juga dipicu dari persoalan jam kerja yang berlebihan.

Mengakhiri Hidup Akibat Persoalan Jam Kerja
Ekonomi jepang menyusut 1,1 persen per tahun di kuartal terakhir 2015, direvisi naik dari pembacaan awal dari kontraksi 1,4 persen, menurut data yang ditunjukkan kantor kabinet pada hari selasa. antara foto/reuters/yuya shino

tirto.id - Tadashi Ishii, Presiden dan CEO Dentsu mengundurkan diri lantaran kasus bunuh diri seorang pekerjanya. Pengunduran diri itu dilakukan sebagai pertanggungjawaban sang CEO, karena pemicu bunuh diri karena jam kerja yang berlebihan di perusahaan periklanan berbasis di Tokyo itu.

Bunuh diri itu dilakukan oleh Matsuri Takahashi seorang perempuan berusia 24 tahun yang baru lulus pendidikan. Matsuri mengakhiri hidupnya pada Natal 2015 silam.

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, terungkap Matsuri sering lembur kerja yang berlebihan. Sejak 9 Oktober 2015, Matsuri lembur 105 jam setiap bulan.

Asahi Shimbun, sebuah surat kabar di Jepang melaporkan bahwa di perusahaan Dentsu lembur kerja jadi hal yang biasa. Manajemen Dentsu memberikan lembur normalnya 50 jam per bulan pada pekerja baru seperti Matsuri. Namun, dalam pekerjaan tertentu Dentsu boleh memberlakukan lembur hingga 100 jam per bulan pada para pekerja, dengan persetujuan serikat buruh di sana.

Kasus seperti yang terjadi pada Matsuri, bukan satu-satunya di Jepang. Ada banyak kasus serupa. Berdasarkan catatan kementerian kesehatan dan tenaga kerja Jepang, sepanjang 2015 jumlah kasus bunuh diri karena persoalan pekerjaan mencapai 2.159 kasus.

Tingginya angka bunuh diri akibat jam kerja di Jepang sudah jadi sebuah kenyataan. Meskipun bila dibandingkan dengan kota-kota di negara lain di Asia, jam kerja di Jepang tidak terlalu lama. Pada 2015 rata-rata setiap harinya pekerja di Tokyo bekerja selama 7,9 jam.

Jam kerja itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan para pekerja di Hong Kong yang harus menghabiskan waktu 10 jam per hari. Begitu pula jika dibandingkan dengan Jakarta yang rata-rata mencapai 8,1 jam. Bila dilihat dari jumlah cuti tahunan, Tokyo relatif lebih banyak daripada di Jakarta.

Jumlah cuti tahunan di Jakarta hanya 12 hari, sedangkan di Tokyo hingga 17 hari. Padahal jam kerjanya justru lebih banyak di Jakarta. Hong Kong yang memiki jam kerja tertinggi memiliki cuti tahunan 17 hari. Sedangkan rekor cuti tahunan terbanyak di Asia dipegang Manama di Bahrain hingga 34 hari cuti per tahun.

Merespons kasus bunuh diri akibat pekerjaan, pemerintah Jepang lantas mengeluarkan kampanye Premium Friday, pada hari Jumat para pekerja akan pulang lebih cepat, setiap pukul 15.00. Rencananya, kampanye itu mulai berlaku 24 Februari 2017 mendatang.

INFOGRAFIK Tenaga kerja Jepang

Apa yang sedang diupayakan oleh pemerintah Jepang, bisa dimaknai sebagai cara mengurangi beban jam kerja, untuk meminimalisir tekanan stres terhadap para karyawan. Stres menjadi persoalan yang dihadapi oleh para pekerja di dunia, termasuk Kezia dan Nadia, karyawati perusahaan swasta di Jakarta.

Keduanya mengaku stres dengan rutinitas pekerjaan. Kezia dan Nadia hanya contoh yang dialami para pekerja pada umumnya. Mereka mengaku tidak punya pilihan selain menjalani rutinitas harian di kantor. “Kalau cari kerja sekarang susah, dapat kerja begini ya dijalani,” ujar Kezia.

“Emang ada kerja kantoran yang sehari cuma 6 jam? Kalau ada pasti mau. Tapi hitung juga berapa salary-nya. Kalau nggak cocok juga nggak mau, mending kerjaan sekarang, stres-stres dulu nggak papa,” kata Nadia.

Persoalan lama waktu bekerja juga sering dikaitkan dengan kebahagiaan seseorang. Dalam sebuah riset yang dilakukan Loughborough University Inggris terhadap pola waktu kerja dan tingkat kesejahteraan dari 20.000 orang dalam periode 18 tahun, terungkap bahwa keleluasaan dalam memilih waktu kerja berpengaruh pada kebahagiaan. Kesimpulan dari studi yang dilakukan 2015, seseorang yang terlalu lama bekerja merasa tidak puas dan tak bahagia dengan hidupnya.

Apakah dengan tak bahagia karena persoalan jam kerja seseorang harus mengakhiri hidupnya? Imbas dari aktivitas bekerja seperti stres memang menjadi tantangan bagi pekerja, tapi mengakhiri hidup bukanlah sebuah pilihan. Namun, bagi pemerintah dan perusahaan, mereka juga perlu berkaca dari Jepang.

Baca juga artikel terkait BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Suhendra