Menuju konten utama

Lupakan Drama Meghan-Harry: Monarki Inggris adalah Kongsi Bisnis

Banyak orang selalu terkesima menyaksikan kehidupan para penghuni istana.

Lupakan Drama Meghan-Harry: Monarki Inggris adalah Kongsi Bisnis
Pangeran Harry, Duke of Sussex dan Duchess of Sussex berada diatas kereta kencana Ascot Landau dalam prosesi usai pemberkatan pernikahan di Kapel St. George, Kastil Windsor, Inggris, Sabtu (19/5/18). ANTARA FOTO/Christopher Furlong/Pool via REUTERS/djo/18

tirto.id - Dari pembicaraan seputar kesehatan mental, perlakuan rasis, hingga keputusan keluar dari Istana Buckingham dan menjadi rakyat biasa, wawancara Oprah Winfrey dengan Meghan Markle dan Pangeran Harry tentang pengalaman menjadi “korban” sistem monarki Inggris menarik perhatian seluruh dunia.

Wawancara yang disiarkan CBS pada Minggu (7/3) ini, menurut data Nielsen, ditonton oleh lebih dari 17,1 juta orang—jumlah yang spektakuler karena berhasil mengalahkan jumlah penonton acara bergengsi seperti Golden Globes dan Emmy Awards, bahkan hampir menyaingi jumlah penonton edisi final Game of Thrones di hari pertama.

Kisah kerajaan, bangsawan, dan monarki secara umum nyatanya memang terus membuat banyak orang terkesima. Sebelum Meghan, misalnya, ada wawancara Diana di BBC yang ditonton oleh 23 juta orang—atau lebih dari 39% dari penduduk Britania Raya saat itu.

Kisah-kisah bangsawan juga terus diglorifikasi oleh budaya populer, mulai dari serial TV The Crown yang total durasi konsumsinya mencapai 3,36 miliar menit sepanjang 16-22 November 2020, The Princess Diaries yang sedang dalam proses penggarapan film ketiga, hingga Frozen yang mencatat rekor sebagai animasi yang berhasil meraih pemasukan terbanyak.

Di satu sisi, tak sulit bagi penonton untuk berempati dengan Meghan dan Harry—apalagi jika kita melihat kemiripan pengalaman Meghan dan mendiang ibu Harry, Diana. Harry secara khusus mengatakan bahwa situasi yang dialami Meghan adalah pertanda “sejarah berulang” (“history repeating itself”). Ia juga mengatakan bahwa warisan dari Diana-lah yang membuat keduanya mampu bertahan hidup setelah tidak lagi mendapatkan dukungan finansial dari kerajaan.

Diana dan Meghan punya banyak kemiripan: keduanya datang dari keluarga bukan bangsawan, hidup mereka diawasi (dan dicaci maki) sedemikian rupa oleh koran kuning. Diana bahkan mengalami gangguan kesehatan (bulimia) dan tidak mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan selama tinggal di Buckingham. Menulis untuk Vulture, Kathryn VanArendonk menyatakan bahwa serial TV The Crown, khususnya di musim keempat yang secara spesifik menyorot hidup Diana dan Charles, telah memberikan “pondasi” bagi Meghan dan Harry untuk mendulang popularitas dan simpati publik.

Ganti Sistem? Nanti Dulu

Namun, terlepas dari “bom” yang telah Meghan jatuhkan—indikasi bahwa “institusi” kerajaan Inggris dibangun di atas sistem yang klasis, rasis, dan kuno—wacana untuk menghapus sistem monarki masih dianggap kontroversial.

Penyiar berita Inggris Piers Morgan tak terima isi wawancara Meghan dan Harry sanpai-sampai ia walk-out di tengah siaran. “Mereka menjelek-jelekkan semua orang. Dengan meledakkan isu ras, mereka mencitrakan seolah-olah seluruh keluarga bangsawan adalah sekumpulan pendukung supremasi kulit putih.”

Baik perdana menteri Kanada dan Selandia Baru, dua negara anggota persemakmuran (commonwealth) yang dipimpin oleh Elizabeth Windsor (yang kebetulan bergelar Ratu Elizabeth II), menolak berkomentar lebih lanjut soal wacana perombakan konstitusi. Justin Trudeau mengelak dan mengatakan dirinya “sedang fokus mengatasi pandemi”. Sementara Jacinda Adern menyatakan tidak melihat warga Selandia Baru menginginkan perubahan konstitusi yang signifikan, dan “tidak merasakan akan ada perubahan dalam waktu dekat.”

Popularitas monarki juga masih tinggi. Tak lama setelah wawancara Meghan dan Harry, YouGov melakukan survei kepada sejumlah sampel warga Britania. Pihaknya menemukan bahwa kebanyakan warga Britania tetap mendukung sistem monarki dan tidak simpatik terhadap kisah Meghan dan Harry.

Hasil survei ini juga mengonfirmasi besarnya dukungan terhadap sosok ratu dan monarki. Pada 2020, YouGov menemukan 67% warga Britania ingin mempertahankan sistem monarki. Sepanjang pandemi, popularitas sistem monarki juga malah semakin meningkat: ada kenaikan dari 56% (pada 2019) menjadi 63% (pada 2020) dukungan responden terhadap peran Elizabeth Windsor sebagai kepala negara yang dianggap penting dalam menangani krisis nasional.

Fakta bahwa popularitas politik monarki tak kunjung merosot sebetulnya bisa dipahami secara sederhana. Pasalnya, mereka tak bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik—yang tak lain adalah tugas eksekutif yang dipegang kepala pemerintahan.

Sistem monarki juga tidak hanya berlaku di Inggris. Saat ini, terdapat 44 negara yang dipimpin lewat sistem monarki. Selain 16 negara persemakmuran yang secara simbolik berada di bawah ketiak Elizabeth Windsor, monarki juga masih bertahan di Asia, Amerika Utara, hingga Afrika. Di Asia Tenggara, misalnya, sistem monarki masih berlaku di Thailand, Malaysia, hingga di Indonesia sendiri.

Meski Indonesia didirikan sebagai republik sejak 1945, Yogyakarta masih menyandang “daerah istimewa” yang dipimpin sultan. Dukungan terhadap sistem kesultanan di Yogyakarta pun masih berlanjut. Pada 2010, niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengubah sistem kesultanan di Yogyakarta melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta mendapatkan pertentangan keras: pemerintah pusat dituding telah melukai perasaan masyarakat Yogyakarta. Muncul juga tuduhan bahwa upaya penghapusan sistem itu adalah bentuk sikap otoriter pemerintah pusat terhadap Yogyakarta.

Mau Dipermak atau Dibubarkan Sekalian?

Di satu sisi, sistem monarki dipercaya berhasil meningkatkan standar hidup warganya: Mauro Guillen dari Wharton School of Business yang mempelajari 137 negara dengan sistem monarki dari 1900 hingga 2010 mengatakan bahwa sistem monarki berperan menjadi check and balance pemerintahan eksekutif (“Jika kamu seorang perdana menteri dan kamu menyadari ada kekuasaan yang lebih besar, kamu akan menjadi lebih hati-hati,”). Monarki juga dipandang bisa menjaga kestabilan negara. “Britania Raya menjadi lebih stabil meski ada perkara Brexit karena monarki yang menjadi simbol pemersatu bangsa.”

Namun, di sisi lain, mempertahankan monarki juga sama saja dengan mempertahankan sistem feodal. Laura Clancy dalam studi bertajuk “The corporate power of the Britich monarchy: Capital(ism) wealth, and power in contemporary Britain” (2020) juga menggambarkan monarki di Inggris sebagai “korporasi” dengan misi dan riwayat panjang “mengakumulasi kapital, menciptakan laba, dan melakukan berbagai bentuk eksploitasi.”

Dalam penuturan Clancy sendiri, studi ini “mengekspos kepentingan bisnis sebuah monarki: eksploitasi pekerja berupah rendah, laporan keuangan kerajaan yang meragukan, hingga menyalahgunakan privilese politik”.

Clancy memaparkan fakta bahwa, pertama, eksploitasi dan perlakuan diskriminatif dirasakan oleh para pekerja rumah tangga di dalam monarki sendiri. ‘Staf junior’ seperti pengurus rumah dan pelayan mengonsumsi makanan prasmanan dengan menggunakan alat makan berbahan plastik. Sementara itu, anggota yang lebih senior duduk di kursi berlapis kain dengan sendok dan garpu perak. Begitu pula dengan upah yang timpang: asisten rumah tangga mendapatkan gaji £14.513 per tahun pada 2015 yang tak lebih besar dari upah minimum Inggris saat itu, sementara staf yang lebih senior mendapatkan upah sebesar £146.000 hingga £180.000.

Clancy kemudian menilai “korporasi” ini tak ubahnya seperti perusahaan-perusahaan global semacam Amazon yang berupaya memanipulasi laporan keuangan demi mendapatkan kepercayaan publik. Ia menyatakan bahwa Buckingham ingin memperlihatkan akuntabilitas finansial dengan menerbitkan laporan keuangan tahunan sejak 1993. Namun, laporan tahunan itu tidak pernah secara transparan menyebutkan ongkos-ongkos operasional yang menggunakan anggaran di luar dari Sovereign Grant.

Infografik Terobsesi dengan Monarki

Infografik Terobsesi dengan Monarki. tirto.id/Quita

Ada pula portofolio properti dan tanah di bawah The Crown Estate yang bernilai hingga £14,1 miliar yang disebut Clancy sebagai “hasil pencurian dari Gereja di masa reformasi” dan hasil penguasaan oleh raja-raja terdahulu. Banyak di antaranya adalah wilayah pemukiman dengan 113 penghuni yang diusir supaya rumahnya bisa dijual. “Sistem monarki Inggris,” tulis Clancy, “tak ubahnya organisasi kapitalis yang terbentuk berdasarkan sistem sewa, perampasan, dan eksploitasi demi keuntungan.”

Penyelewengan kekuasaan juga bukan hal asing di Buckingham. Andrew Albert Christian Edward, yang dikenal media sebagai “Pangeran Andrew”, memanfaatkan koneksinya untuk menjual properti kepada oligark Kazakhstan Timur Kulibayev di atas harga pasar. Ia juga melobi bank Inggris untuk menerima Kulibayev sebagai klien.

Tak begitu berbeda, di Indonesia, sistem monarki kesultanan Yogyakarta yang dianggap “berjiwa demokrasi” juga jadi sistem yang melegitimasi perampasan tanah atas nama undang-undang dan melanggengkan rasisme sistemik dengan melarang warga beretnis Tionghoa untuk memiliki sertifikat tanah.

Rata-rata monarki dunia dibangun di atas perampasan hajat hidup orang banyak, kolonialisme, atau kolaborasi dengan penjajah. Tapi, orang Inggris kini lebih suka berdebat tentag siapa calon penerus Elizabeth II. Hal ini juga terlihat dari jawaban Meghan di wawancara, yang meski telah menyadari kenaifannya, merasa masalah sistemik monarki dapat diselesaikan jika sang keluarga membiarkan agar dirinya, seorang keturunan kulit hitam, menjadi simbol representasi kerajaan.

Pemahaman ini ditepis oleh Farah Stockman dalam paparannya di The New York Times dengan perumpamaan kisah-kisah bangsawan di produk budaya populer. Keragaman representasi tak akan menyelesaikan masalah-masalah sosial terkait monarki, meski karakter princess di masa sekarang telah berevolusi dan lebih beragam, seperti Elena di Disney yang menjadi princess Latina pertama yang memiliki teman princess berkulit hitam hingga keturunan Yahudi. Sebab, tulis Stockman, “mereka adalah bangsawan. Seluruh premis [cerita Disney] masih bertumpu pada pandangan bahwa beberapa orang memang dilahirkan untuk berkuasa.”

Tapi, seruan untuk menghapus monarki bukan berarti tidak ada. Pada 1983, organisasi Republic lahir di Inggris dengan misinya menghapus monarki. Organisasi ini adalah bagian dari Alliance of European Republican Movements, sebuah gerakan yang didirikan dengan tujuan penghapusan monarki di seantero Eropa. Yang sering dilupakan orang, Inggris sendiri pernah menjadi republik antara 1649 dan 1660, tepatnya setelah kepala Charles I dipenggal.

Ironisnya, drama-drama Buckingham juga menemukan penggemarnya di Amerika Serikat, tanah para pemukim yang pada 1776 menyatakan merdeka dari cengkeraman George III, raja Inggris yang hidup dalam bangsal pengasingan di usia senjanya setelah dinyatakan gila. Meski demikian, suara-suara kritis pun tetap hadir.

“Kita punya banyak presiden yang memalukan,” tulis Hamilton Nolan, editor In These Times yang telah lama mengorganisir gerakan anti-monarki, dalam paparannya di New York Times. “Tapi setidaknya orang Amerika tidak perlu membungkuk-bungkuk di hadapan orang kaya sampah yang punya legitimasi cuma gara-gara dirinya adalah anak dari seorang anak dari seorang anak yang berabad-abad lalu adalah gangster terbesar”.

Setelah wawancara Meghan dan Harry, muncul wacana reformasi monarki—alih-alih menghapus sepenuhnya. Tanggapan Nolan: “Tak peduli seberapa banyak gula yang Anda masukkan, mustahil Anda mengubah minuman beracun menjadi minuman penyegar.”

Baca juga artikel terkait FEODALISME atau tulisan lainnya dari Permata Adinda

tirto.id - Politik
Penulis: Permata Adinda
Editor: Windu Jusuf