tirto.id - Model busana yang dikenakan Meghan Markle saat berkunjung ke Australia Oktober 2018 lalu sungguh biasa-biasa saja: kemeja putih, celana denim ketat hitam, blazer, dan sepatu bot. Tapi seminggu setelah potret kunjungan Markle tersebar di media sosial, Outland Denim, lini celana yang dikenakan Markle saat kunjungan antarnegara, mengalami peningkatan penjualan 640%. Situs resminya sendiri mengalami peningkatan akses hingga 3.000%. Pendiri Outland Denim James Bartle pun sumringah. Ia lantas memberi sebutan khusus untuk kejadian tersebut: Markle Sparkle.
Andaikata sang Duchess of Sussex tak mengenakan Outland Denim, mustahil Bartle bisa merekrut 46 penjahit dalam kurun waktu singkat. Maklum, bisnisnya itu bukan bisnis retail raksasa. Pria tersebut membangun bisnis busana pada 2011, beberapa waktu setelah berkenalan dengan sejumlah anggota komunitas anti-perdagangan manusia.
Dari perjumpaan itu Bartle baru benar-benar menyadari bahwa korban eksploitasi seksual membutuhkan keahlian tertentu agar bisa memiliki pekerjaan layak.
Kepada Town and Country, Bartle mengaku bahwa dirinya tergugah sehingga membuat Denim Project, proyek edukasi keterampilan tangan dan penyediaan lapangan kerja bagi orang yang rentan jadi korban perdagangan manusia. Itu pula yang jadi asal usul didirikannya Outland Denim—dengan lokasi pabrik di Kamboja dan mempekerjakan mantan korban perdagangan manusia.
“Peningkatan penjualan membuat kami optimistis mengembangkan bisnis dengan menggunakan lebih banyak material organik, mengelola sistem daur ulang air, dan memanfaatkan ozone tech agar perawatan denim tidak perlu menggunakan begitu banyak air,” ujar Bartle kepada Town and Country pada 21 Juli lalu.
Selama dua tahun terakhir, "Markle Sparkle" dialami oleh beberapa lini busana yang mengaku melakukan praktik fesyen yang beretika (ethical fashion). Sejak tampil di depan publik sebagai pasangan Harry, Markle kerap kali mengenakan busana yang menurutnya sesuai dengan kaidah fesyen yang berkelanjutan (sustainable fashion).
Menurut penelusuran Time, lini sustainable fashion yang kerap digunakan Markle adalah Rothy (sepatu yang dibuat dari hasil daur ulang botol), Veja (sepatu yang dibuat dari katun organik), dan Reformation (busana dari material linen yang dibuat dengan meminimalisir emisi karbon dioksida).
Sementara menurut pengamatan Vogue, label busana fesyen lambat (slow fashion, sebagai kebalikan dari fast fashion) pilihan Markle adalah NoNoo, label yang membuat busana hanya berdasarkan pesanan dengan merek seperti Gabriela Hearst, Maggie Marilyn, Reformation, dan Everlane.
Kegemaran Meghan mengenakan merek-merek tersebut membuat Vogue menjuluki Markle "juara fesyen berkelanjutan". Semakin hari, publik mengenalnya sebagai duta ethical fashion yang dipuja para pengusaha retail adibusana dan label busana siap pakai.
Majalah gaya hidup Elle merinci efek penjualan busana yang dikenakan Markle sepanjang 2017-2018. “Rata-rata, satu lini busana mengalami peningkatan pencarian sebanyak 200% sesaat setelah Markle mengenakan busana mereka,” tulis Elle.
Efek itu juga berlaku bagi jenama besar dan kecil. Label adibusana Givenchy mengalami peningkatan penjualan 300% setelah pernikahan Markle. Label busana lain seperti Stella Mc Cartney mengalami peningkatan penjualan 200%. Merek yang kurang begitu tersohor secara global seperti Emilia Wickstead dan Castaner masing-masing mengalami peningkatan penjualan 442% dan 181%.
Rupanya, jadi duta sustainable fashion dengan menggunakan busana saja dirasa belum cukup. Akhir Juli lalu, Markle mengumumkan akan bekerjasama dengan beberapa label busana dan aksesori di antaranya Marks & Spencer, John Lewis, Jigsaw, dan Misha NoNoo dalam melansir koleksi khusus.
Sejauh ini Markle hanya menyatakan jenis busana yang dilansir adalah busana kerja. Seluruh hasil penjualan busana akan disumbangkan ke Smart Works, lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan busana kerja untuk orang-orang yang menganggur dan hendak kembali berkarier.
Markle dan Smart Works pertama berinteraksi dalam sebuah acara filantropi Januari lalu. Di sana ia bertemu seorang perempuan yang hendak meminta saran tim Smart Works soal busana kerja yang tepat. Kala itu Markle langsung bertindak sebagai 'konsultan busana' untuk sang klien.
“Saya melihat antusiasme para sukarelawan, ketulusan staf organisasi, dan lebih dari itu semua, senyuman indah klien ketika mereka berkaca, membuat saya sangat tertarik bekerjasama dengan Smart Works,” tutur Meghan sebagaimana dikutip WWD.
Sejumlah media mode bertanya-tanya apakah Markle akan melansir koleksi busana sesuai prinsip ethical fashion. Sayangnya baik Markle maupun sejumlah label busana tak kunjung memberikan keterangan resmi tentang detail busana yang akan diproduksi.
Semakin hari, harapan akan keberadaan produk fesyen berkelanjutan terus tumbuh. Sampai hari ini para pelaku industri mode belum mampu mengatasi dampak buruk produksi busana siap pakai alias fast fashion.
Pada 2 Agustus 2019, The Conversation menerbitkan tulisan Anika Kozlowski yang menunjukkan bahwa kebijakan penanggulangan dampak negatif fast fashion yang dilakukan perusahaan retail raksasa seperti Inditex (pemilik Zara) dan H&M tidak akan punya dampak signifikan.
“Saya tidak melihat tanda-tanda perusahaan tersebut akan melakukan perubahan bisnis model secara fundamental atau membuat kultur sustainability karena hal tersebut baru bisa dilakukan bila mereka mengubah struktur bisnis secara keseluruhan,” tulis Kozlowski, assistant professor kajian fesyen, Ryerson University.
Target perusahaan juga bertolak belakang dengan prinsip fesyen keberlanjutan. Kozlowski menyebutkan bahwa laporan tahunan perusahaan-perusahaan retail besar senantiasa mencantumkan target ekspansi berupa penambahan ratusan toko di berbagai negara yang belum pernah dijajaki.
Rencana retail besar seperti H&M atau Zara yang berusaha mengatasi dampak kerusakan lingkungan akibat sistem produksi fast fashion dianggap belum cukup. Bustle melaporkan bahwa dalam kurun waktu 5-10 tahun lagi mereka akan membuat pakaian 100% dari bahan ramah lingkungan dan mendaur ulang seluruh busana dan aksesori.
Environmental Audit Commitee melaporkan Zara setidaknya melansir 500 ragam busana per minggu dan menghasilkan 300.000 ton sampah setiap tahun. Dua puluh persen dari sampah tersebut dibiarkan menumpuk dan sisanya dibakar.
“Saat ini emisi karbon dari industri fesyen menyumbang delapan persen dari jumlah emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu industri fesyen mesti mengubah sistem kerja mereka. Hal itu tidak sesederhana mengubah jenis bahan atau membuat kemasan baru. Solusi sustainability harus mencakup perubahan kultur perusahaan,” kata Kozlowski.
Editor: Windu Jusuf