tirto.id - Beberapa minggu belakangan, desainer busana muslim Ria Miranda bersama timnya berupaya keras merahasiakan karya kolaborasi teranyar mereka dengan label busana Cotton Ink. Rencananya koleksi kolaborasi diunggah di media sosial dan dipasarkan serentak pada Kamis, 25 April 2019. Sayang, misi rahasia itu gagal karena potret desain busana terlanjur ‘bocor’ di media sosial sejumlah akun Instagram para pelaku jastip alias jasa titipan belanja.
“Kerabat fans kami sepertinya lihai. Setelah kami telusuri, mereka semacam meng-hack sistem kami dan mengambil foto-foto yang harusnya tidak disebarkan,” kata Ria.
“Yah, yang begini-begini sudah beberapa kali terjadi, Mbak. Apalagi kalau kami mengeluarkan koleksi baru,” bisik Yulia Wulandari, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat dan Pemasaran ketika dihubungi Tirto, Rabu (24/4).
Yulia berkisah, para calon pembeli di luar Jakarta kerap kali merasa tak sabar ingin segera memiliki produk terbaru. Biasanya koleksi terbaru terlebih dahulu dipasarkan di Jakarta dan barang siapa yang hendak memiliki baju merek Ria Miranda bisa datang ke toko untuk melakukan pre-order.
“Tapi ternyata para pembeli di luar Jakarta ini tak keberatan menggunakan jastip dan membeli dengan harga lebih mahal. Mereka bisa membeli barang dengan selisih harga Rp500,000. Ada juga yang membeli dua kali lipat dari harga asli,” lanjut Yulia.
Tirto menanyakan perkara ini pada Pandu Rosidi, suami Ria sekaligus perancang strategi bisnis label busana muslim Ria Miranda. Apakah ia tidak takut dianggap kurang profesional di mata partner bisnis?
“Ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi kita bisa melihat bahwa barang itu betul-betul dicari dan menarik hati target pasar kami. Sebetulnya yang lebih berat dari itu adalah kasus plagiasi desain. Kami sempat menuntut satu brand yang menjiplak desain kami. Ketika kasus selesai, muncul lagi brand lain yang juga menjiplak desain kami. Tidak ada habisnya. Akhirnya saya pikir, lebih baik kami fokus untuk terus mengeluarkan koleksi baru ketimbang terus mendalami permasalahan ini. Anggap saja itu euforia,” kata Pandu yakin.
Kini Ria harus mengeluarkan koleksi sebulan sekali karena ia punya enam jenis brand: Ria Miranda, Ria Miranda Essentials, Ria Miranda Signature, Luna, Mind, dan Ria Miranda Living. Di luar itu masih ada Ria Miranda kolaborasi, yakni proyek kolaborasi Ria dengan pihak ketiga seperti desainer fesyen atau perusahaan e-commerce.
Bila Ria tak kunjung melansir koleksi baru, bisa saja ia kena tegur anggota Ria Miranda Loyal Community (RMLC), komunitas pecinta busana Ria Miranda. Sampai saat ini pihak perusahaan belum melansir jumlah anggota RMLC. Menurut mereka, komunitas tersebut tumbuh secara organik di tiap kota tempat Ria membuka toko. Sampai hari ini toko Ria tersebar di 21 kota dan ia telah memiliki 24 cabang. “Semoga tahun depan kami bisa ke Sulawesi, pulau yang belum kami sentuh sejauh ini,” harap Pandu.
Perempuan-perempuan RMLC memungkinkan Ria dapat melansir empat jenis koleksi spesial untuk edisi Ramadan tahun ini. Basis massa yang cukup besar bikin perusahaan-perusahaan e-commerce besar seperti Tokopedia dan desainer luar Indonesia mau menjalin kontak dengan Ria.
Ria dan Pandu tak malu-malu menyebut RMLC sebagai tulang punggung bisnis mereka. Sebagian besar pembeli busana ria memang datang dari komunitas itu. Ria bercerita RMLC muncul pada 2014 di Jakarta.
“Awalnya cuma enam orang ibu muda yang bertemu karena berbelanja di toko. Dari situ mereka ngobrol-ngobrol dan mungkin cocok ya jadi saling menambah pertemanan masing-masing dan jadi rutin datang ke toko untuk melihat koleksi baru. Sekarang ketika jumlah anggotanya semakin membesar, mereka juga melakukan berbagai kegiatan seperti arisan atau pengajian,” tutur Ria.
Pandu melihat hal ini sebagai sebuah peluang untuk semakin mendekatkan brand dengan komunitas. “Alangkah baiknya kalau label Ria Miranda juga bisa masuk ke kehidupan mereka dan menawarkan solusi dari permasalahan ibu-ibu muda ini.”
Oleh karena itu, beberapa tahun terakhir tim Ria Miranda mulai menyelenggarakan aktivasi. “Parenting class, makeup class, art and craft class, juga sharing session jadi agenda rutin kami.”
Itu mereka lakukan agar para loyalis tak pergi berpindah ke lain hati. Selama 10 tahun terakhir, label busana ini berkembang seiring dengan cerita-cerita soal pelanggan yang datang pukul 3 pagi ke toko agar bisa jadi orang pertama yang punya koleksi terbaru Ria Miranda.
Bagi para loyalis, koleksi awal Ria Miranda bahkan dianggap jadi barang berharga. Mereka rela membeli atasan atau syal dari sesama fans dengan harga dua atau tiga kali lipat lebih tinggi.
“Ada yang pintar menyiasati. Produk saya di-bundling dengan aksesori yang sudah tidak mereka sukai. Jadi, pembeli mau tak mau harus membeli beberapa barang sekaligus, tidak hanya baju saya,” kisah ibu tiga anak ini.
Sesekali ia menggelengkan kepala mendengar cerita perilaku para loyalis. Mungkin juga Ria tak menyangka bisnisnya bisa seperti sekarang. Pada 2005 ia hanya seorang perempuan dewasa muda yang kebingungan harus mencari baju setelah memutuskan berhijab. Ia kesal melihat banyak perempuan berhijab yang menurutnya berpenampilan terlalu berlebihan.
“Bayangkan, apa yang ada di runway ditiru begitu saja. Mereka jalan-jalan ke mal dengan pakaian heboh. Warna-warna terang mencolok, baju ketat, hijab yang menumpuk dengan penuh aksesori. Saya pikir di mana kesan sederhananya?”
Ia pun menciptakan desain busana muslim berwarna pastel dengan potongan sederhana dan motif yang tidak mencolok. Ria sempat bekerja sebagai pengarah gaya di salah satu majalah gaya hidup muslimah. Di sana ia mendapat banyak referensi soal model busana modest wear—yang berpotongan longgar, minim detail dan aksen—dari negara-negara Barat.
Awalnya, busana rancangannya itu tidak laku di pasaran. Para hijabers masa itu—tahun 2009 hingga awal 2010-an—menganggap busana muslim karya Ria tidak layak digunakan karena bentuknya tidak umum.
Orang-orang ‘tua’ yang cenderung konvensional boleh saja bicara demikian. Tapi Ria tak kehabisan akal. Bersama sejumlah kawan termasuk Dian Pelangi dan Restu Anggraini—keduanya juga desainer busana muslim—ia membentuk Hijabers Community. Komunitas ini beranggotakan perempuan muda yang baru berhijab dan punya ketertarikan pada gaya busana.
Dari sana lah sesungguhnya tren hijabers milenial berawal. Mereka tak hanya berbagi info soal busana muslim yang cocok bagi ‘anak muda’ melainkan juga bertukar kisah soal pengalaman dan jalan hidup.
Gaya busana ala Ria dan kawan-kawan kemudian jadi viral. Mereka memanfaatkan kecakapan sebagai blogger fashion sekaligus sosok yang terpandang di media sosial.
Perlahan tapi pasti, gagasan Ria telah menggeser tren busana muslim ‘lawas’. Kini kala 'hijrah' tengah jadi tren di kalangan milenial, ia pun nampak siap memfasilitasi penampilan mereka.
Editor: Windu Jusuf