tirto.id - Dunia internet tak melulu soal hiburan dan jalur komunikasi baru yang menghubungkan teman atau keluarga. Internet, seperti yang diwakili Facebook dan Youtube, kini jadi media baru syiar keagamaan.
Ustaz Khalid Basalamah, yang menyeru pada kemurnian Al-Qur’an dan Hadist, populer di Youtube dengan kanal Khalid Basalamah Official dan memiliki lebih dari 800 ribu pengikut. Ustaz Abdul Somad memiliki lebih dari 200 ribu “like” di laman fanpage Facebook.
Ahli politik Islam Indonesia, Greg Fealy, dalam bukunya Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (2012), secara tersirat menyebut penggunaan media-media internet sebetulnya adalah strategi lama.
Strategi semacam ini bisa ditarik hingga awal 2000-an. Kala itu, SMS atau layanan pesan singkat dijadikan salah satu cara inovatif para pengusaha muslim untuk mempopulerkan pesan-pesan keagamaan.
Pada 2006, tahun keemasan SMS pesan-pesan keagamaan, Fealy mencatat terdapat lebih dari 500 ribu pelanggan layanan SMS keagamaan. Pengisinya antara lain Ustaz Jeffry Al Buchory alias Uje, Ustaz Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym, dan Ustaz Yusuf Mansur.
Selain pada Facebook dan Youtube, syiar keagamaan pun menyebar pada podcast.
Merujuk asal-usulnya, podcast sebetulnya lebih tua dibandingkan Facebook. Podcast lahir seiring kelahiran iPod, perangkat pemutar audio bikinan Apple yang diperkenalkan Steve Jobs pada 2001. Podcast sebagai kependekan dari “iPod broadcasting” alias siaran dengan menggunakan iPod adalah siaran radio non-linear. Serupa dengan Youtube, ia memberikan konten bagi pendengarnya secara on demand, ketika sang pendengar menginginkannya.
Sebagaimana dilansir New York Magazine, podcast hadir dalam beragam jenis. Ada podcast perihal perbincangan politik, olahraga, komedi, hingga serial podcast yang menyajikan materi fiksi secara berkelanjutan.
Contoh podcast sukses ialah “Serial”, podcast yang menyajikan drama fiksi kriminal yang diproduseri Sarah Koenig. Ada juga “99% Invisible” yang berbincang perihal kampanye Kickstarter—kampanye pengumpulan dana bagi suatu proyek—yang dipandu Roman Mars. Contoh lain adalah “StarUp”, podcast yang mengisahkan kesuksesan Alex Blumberg mendirikan siaran podcast-nya sendiri.
Di Amerika Serikat, podcast laris. Merujuk riset yang dilakukan Edison Research, terdapat 39 juta pendengar podcast di Amerika Serikat. Menurut data yang dilansir Statista, 24 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengkonsumsi siaran podcast. Data lainnya, seperti dipetik Business Insider, memperkirakan 20 persen penduduk Amerika Serikat berumur 18 hingga 49 tahun setidaknya mendengarkan podcast sekali dalam sebulan.
Di Indonesia, podcast mulai bersinar akhir-akhir ini. Laporan yang dirilis DailySocial berjudul “Podcast User Research in Indonesia 2018” menyatakan 68 persen total responden mereka menyatakan familiar dengan podcast. Lebih dari 80 persen responden mengaku mendengarkan podcast.
Kepopuleran podcast di Indonesia dipengaruhi semakin populernya Spotify. Laporan DailySocial itu menyatakan bahwa Spotify jadi platform utama masyarakat Indonesia mengkonsumsi podcast.
Mengapa podcast populer? Dari sisi pencipta konten, masih dilansir New York Magazine, podcast bisa diciptakan dalam skala rumahan. Perangkat seperti mikrofon, aplikasi Audacity, dan hosting murahan—sebagai tempat bersemayam konten podcast di internet—cukup sebagai alat produksi konten-konten podcast.
Meski murah, podcast lumayan menguntungkan. Ia memiliki nilai keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan platform media lainnya. CPM atau cost per M—M merujuk pada angka Romawi yakni 1.000—yang diraih podcast jauh lebih besar dibandingkan TV, radio, maupun situsweb.
CPM merujuk pada penghitungan pembayaran iklan. Jika harga CPM Rp50.000, artinya impresi atau klik sebanyak 1.000 kali dihargai Rp50.000. CPM podcast ialah $20 hingga $45. Sementara itu, CPM radio konvensional berada di angka $1 hingga $18, TV berada di angka $5 hingga $20, dan situsweb berada di angka $1 hingga $20.
Bagi pendengar, merujuk paper yang ditulis Ilenia Picardi berjudul “Science via Podcast” yang rilis di Journal of Science Communication (2008), podcast mudah dan sederhana. Pendengarnya hanya tinggal memasang program yang lumayan sederhana. Pendengar, sebagaimana ketika berselancar di Youtube, bisa memilih konten-konten pilihannya sendiri. Mereka tak perlu mengamati jadwal siaran radio konvensional.
Melihat keunggulannya, podcast tentu jadi medium yang layak dilirik para pendakwah agama.
Di Spotify, jika kita mencari konten podcast dengan kata kunci “ngaji”, cukup banyak hasil tersaji. Ada “Ngaji Gus Baha” yang digawangi Baha’uddin Nursalim, “Ngaji Bersama Gus Ulil” dari Ulil Abshar Abdalla, hingga “Kajian Hijrah” yang menampilkan tausiah dari beragam ustaz.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa konten-konten pengajiannya yang disebar melalui Spotify itu merupakan kelanjutan dari konten yang ada di Facebook. “Pengajian saya disebar utamanya melalui Facebook, lalu di-link ke Youtube, dan di-link lagi ke Spotify,” kata Ulil.
Menurut Ulil, penggunaan Spotify merupakan caranya untuk “mencoba menjangkau semua golongan” pemirsa. Spotify, seperti Facebook dan Youtube, baginya merupakan suatu medium yang memudahkan syiar agama diterima masyarakat.
“[Facebook, Youtube, dan Spotify] memudahkan syiar agama. Teknologinya juga murah dan mudah digunakan,” paparnya.
Namun, meski media sosial bisa menjangkau semua kalangan, Ulil memberi catatan. Karena pengajiannya menggunakan kitab-kitab klasik, pendengar syiar Ulil adalah mereka yang telah familiar dengan kitab-kitab itu.
“[Setelah saya perhatikan,] sudah ada komunitas yang rutin [mendengarkan ceramah saya],” sambung Ulil.
Hamzah Salah, aktivis media Nahdlatul Ulama sekaligus pendiri alif.id, menyatakan bahwa dakwah melalui media sosial, seperti Youtube, Facebook, maupun podcast, adalah sarana lanjutan berdakwah.
“Watak Islam, kan, dakwah. Ia akan menggunakan sarana apa pun sebagai media dakwah. Media sosial akan menjadi sarana dakwah. Bukan hanya Islam, semua agama menggunakan [sarana] apa pun sebagai media dakwah,” tegasnya.
Ia menunjukkan beberapa alasan mengapa dakwah via media baru ini diminati.
Pertama, adanya kalangan yang ingin belajar agama, tetapi memiliki keterbatasan waktu. Mendengarkan atau menyimak syiar agama 10-15 menit via Youtube, Facebook, atau podcast cukup memberi ilmu bagi mereka.
Kedua, syiar agama gaya baru ini membikin orang-orang berumur yang malu mencari ilmu secara langsung bisa terselamatkan. Terakhir, populernya belajar agama via internet terjadi karena membesarnya populasi mereka yang ingin belajar secara instan.
Syiar agama selalu adaptif dengan medium perkembangan zaman. Selepas SMS, Facebook, hingga podcast, ceramah agama akan terus merasuk lewat teknologi-teknologi informasi masa depan.
Editor: Maulida Sri Handayani