tirto.id - Ketua Mahkamah Agung (MA) RI Muhammad Syarifuddin mengatakan pengurangan hukuman terhadap terpidana tindak pidana korupsi pada tingkat peninjauan kembali (PK) sepenuhnya merupakan kewenangan hakim yang mengadili perkara tersebut.
"Itu adalah sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili perkara itu, memenuhi perasaan keadilan menurut hakim yang mengadili itu," ujar Syarifuddin di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (30/12/2020) dilansir dari Antara.
Syarifuddin menegaskan pengurangan hukuman terhadap para napi koruptor itu tidak ada kaitannya pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung di tahun 2018. Diketahui, Artidjo dikenal sebagai sosok yang tidak segan menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor. Saat ini Artidjo menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas KPK 2019-2023.
"Kalau dikaitkan dengan pak Artidjo pensiun tidak ada sangkut paut-nya. Pak Artidjo masih ada di sini pun tidak bisa juga mempengaruhi ini," kata Syarifuddin.
Diketahui, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) Mahkamah Agung telah mengurangi hukuman terhadap delapan terpidana kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tingkat peninjauan kembali (PK), terhitung sejak Januari hingga Oktober 2020.
Syarifuddin menegaskan pengurangan hukuman terhadap narapidana koruptor di tingkat PK merupakan independensi kewenangan hakim. Ia lalu mengklaim sebagai Ketua MA juga tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri putusan tersebut.
"Jangankan para ketua kamar atau para hakim agung, saya sebagai ketua itu tidak boleh mencampuri independensi hakim itu," kata dia.
Di samping itu, Syarifuddin mengatakan bahwa jumlah narapidana koruptor yang memperoleh pengurangan hukuman di tingkat PK hanya delapan orang. Sementara jumlah PK yang ditolak, menurut Syarifuddin angkanya jauh melebihi itu.
"Tadi disebut ada delapan. Delapan dari ribuan perkara PK. maka kalau diangka, yang dikabulkan hanya 8 persen. yang ditolak 92 persen. jadi kalau yang diberitakan itu yang 92 persen mungkin tidak menjadi masalah. Cuma karena yang selalu diberitakan yang delapan persen ya jadi begitu dia," ujarnya.
Selain ICW, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah mencatat 20 koruptor mendapatkan keringanan hukuman selama 2019-2020. Keringanannya beragam, ada yang satu tahun ada pula yang mencapai tiga tahun. Beberapa di antaranya: (1) Billy Sindoro dalam kasus korupsi pembangunan Meikarta, divonis 2 tahun dari sebelumnya 3 tahun 6 bulan; (2) Hadi Setiawan dalam kasus suap hakim ad hoc Pengadilan Negeri Tipikor Medan, divonis 3 tahun dari 4 tahun; (3) Pengacara OC Kaligis dalam kasus suap PTUN Medan, divonis 7 tahun dari 10 tahun;
(4) Eks Panitera Pengganti PN Medan Helpandi dalam kasus gratifikasi, divonis 6 tahun dari 7 tahun; (5) Tamin Sukardi dalam kasus suap hakim PN Medan, divonis 5 tahun dari 6 tahun; (6) Eks Panitera Pengganti PN Bengkulu Badaruddin Bachsin dalam kasus suap penanganan perkara, divonis 5 tahun dari 8 tahun;
(7) Mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dalam kasus suap pembangunan, divonis 4 tahun dari 5,5 tahun; (8) Mantan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun--ayah Adriatma Dwi Putra--dalam kasus yang sama dengan anaknya, divonis 4 tahun dari 5,5 tahun.