Menuju konten utama

Ada 'Rem Darurat' atau Tidak, Ekonomi Tetap Suram di Awal 2021

Ekonomi sudah suram, dan mungkin bakal semakin suram jika PSBB jilid II diterapkan awal tahun nanti.

Ada 'Rem Darurat' atau Tidak, Ekonomi Tetap Suram di Awal 2021
Petugas medis mandi di bilik disinfektan usai melayani pasien Covid-19 tanpa gejala yang mengikuti misa natal virtual di Hotel Karatina Yasmin, Tangerang, Banten, Kamis (24/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Isu penerapan 'rem darurat' di ibu kota kembali muncul di tengah lonjakan kasus baru COVID-19 di akhir tahun. Ini adalah istilah yang mengacu ke penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat.

"Kalau nanti memang sudah melebihi dari standar terkait Ro (angka reproduksi), kasus aktif, dan lainnya bisa saja emergency break ditarik kembali," kata Wakil Gubernur DKI Riza Patria di Gedung Balai Kota DKI, Jakarta, Senin (28/12/2020) lalu.

Kasus COVID-19 Jakarta faktanya dalam tren naik cukup signifikan. Dalam satu pekan terakhir, 21-28 Desember, kenaikannya hampir mencapai 2.000 kasus per hari. Di tingkat nasional 6.000-7.000 meski pada 28 Desember kembali turun menjadi 5.854.

Bila rencana ini terwujud, maka PSBB ketat akan memasuki jilid III.

Kabar ini membuat dunia usaha ketar-ketir, kata Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang. Dia mengatakan isu rem darurat usai libur tahun baru 2021 membuat pengusaha khawatir, cemas, dan galau. Pasalnya PSBB ketat bakal mengembalikan masa pembatasan jam operasional sehingga aktivitas ekonomi menjadi stagnan.

“Ini sinyal ekonomi yang kurang baik di awal tahun, dan secara psikologis akan menurunkan rasa optimisme di kalangan pelaku usaha,” ucap Sarman dalam keterangan tertulis, Senin (28/12/2020).

Dia menolak penerapan ini dengan mengingatkan DKI Jakarta adalah provinsi dengan kontribusi 17-18% terhadap PDB nasional alias yang paling tinggi. Gangguan aktivitas ekonomi pada ibu kota diyakini bakal langsung berdampak pada peningkatan pengangguran dan penutupan lapangan kerja secara nasional.

Sebagai gantinya, ia meminta pemerintah mengutamakan pengawasan dan sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan serta memprioritaskan vaksinasi di ibu kota.

Kekhawatiran Sarman tampak semakin beralasan jika melihat dampak PSBB terhadap ekonomi di atas kertas. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat selama 10 bulan pandemi, daya beli masyarakat hilang senilai Rp374,4 triliun akibat pendapatan raib. Kehilangan ini disebabkan karena penurunan jam kerja dan rendahnya utilisasi industri dan sektor wisata yang di bawah 50%.

Dalam konferensi pers akhir tahun 2020, Senin awal pekan lalu, Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan kehilangan daya beli ini bisa membengkak lagi sampai Rp1.000 triliun. Angka itu diperoleh bila perhitungan dilanjutkan pada dampak tak langsung, yakni efek domino yang menimpa sektor pendukung dan turunan dari industri atau usaha terdampak.

Data Purchasing Managers Index (PMI) yang menjadi tolok ukur kinerja manufaktur juga terpengaruh PSBB. Pada PSBB jilid I, PMI Manufaktur turun dari 51,9 (Februari) ke 45,3 poin (Maret) dan menjadi 28,6 (April). PSBB jilid II turun lagi dari 50,8 (Agustus) ke 47,2 (September). PMI di bawah 50 artinya skala usaha dan kapasitas berkurang.

Kementerian Perindustrian dan BPS mencatat per Agustus ada 1,45 juta orang kehilangan pekerjaan di sektor manufaktur, dari 18,93 juta menjadi 17,48 juta.

Pengetatan aktivitas akhir tahun seperti pengurangan jam operasional restoran-pusat perbelanjaan serta pemberlakuan syarat tes antigen dan swab bagi perjalanan antar kota-provinsi bahkan sudah membuat pertumbuhan Q4 terpuruk. Kementerian Keuangan belum lama ini memangkas proyeksi dari semula kontraksi 1,6% sampai 0,6% menjadi kontraksi 2,9% sampai 0,9%.

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan pada situasi normal saja, masyarakat sudah menahan konsumsi, apalagi disertai pembatasan mobilitas lewat PSBB. Dampak ke dunia usaha juga sama seriusnya karena pembatasan tentu menurunkan penjualan yang berimbas pada penurunan produksi.

Alhasil, efek PSBB DKI pada perekonomian RI Q1 2021 akan sangat berat. Pasalnya, selain PSBB, pertumbuhan Q1 2021 sangat bergantung pada pertumbuhan Q4 2020 yang saat ini trennya terpuruk. Target mencapai 5 persen pada 2021 pun menjadi semakin menantang.

“Ekonomi kita tetap terkontraksi. Pasti negatif. Perkiraan kami di kisaran minus 2%,” ucap Taufik kepada reporter Tirto, Selasa (29/12/2020).

Terlepas dari dampaknya, Taufik menilai PSBB agaknya tak terhindarkan. Pasalnya rumah sakit berangsur penuh, dilihat dari bed occupancy ratio (BOR) di 9 provinsi yang rata-rata sudah di atas 80%. Bahkan pemakaman khusus pasien COVID-19 di Pondok Ranggon Jakarta dikabarkan mulai penuh.

Risiko semakin menjadi saat dunia digegerkan munculnya varian baru COVID-19 yang lebih menular atau SARS-CoV-2. Di saat yang sama, vaksin masih belum tersedia. Perkiraan KPCPEN, sampai akhir 2021 jumlah vaksin baru mencapai 275 juta dosis alias hanya cukup 50% populasi dan di bawah syarat estimasi herd immunity, 70%.

Keputusan PSBB ini menjadi genting. Ia bilang dampak ekonomi akibat PSBB jilid III masih tidak ada apa-apanya dibanding kalau sampai sektor kesehatan lumpuh karena tak mampu lagi merespons peningkatan kasus COVID-19 yang terus terjadi.

Ibarat investasi, Taufik mengatakan tak ada salahnya menekan jumlah kasus sebanyak-banyaknya di awal tahun 2021 sehingga di akhir tahun tak perlu pengetatan serupa. Di sisi lain, ekonomi bisa berjalan lebih leluasa dibanding saat kasus harian konsisten tinggi.

Baca juga artikel terkait PSBB DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino