Menuju konten utama

Ketika Sukmawati Soekarnoputri Batal Jadi Permaisuri

Sukmawati Soekarnoputri menikah dengan putra mahkota Mangkunegaran, tetapi bercerai sebelum sang pangeran naik takhta. Ia lalu berkecimpung di dunia seni dan masuk politik setelah Soeharto lengser.

Ketika Sukmawati Soekarnoputri Batal Jadi Permaisuri
Sukmawati Soekarnoputri memberikan keterangan pers terkait polemik puisi "Ibu Indonesia" di Jakarta, Rabu (4/4/2018). ANTARA FOTO/Meli Pratiwi/RIV

tirto.id - Tidak terlalu sulit membayangkan apa yang dirasakan Sukmawati Soekarnoputri menjelang pertengahan dekade 1970-an itu. Putri Presiden Sukarno ini akan menikah dengan Pangeran Sujiwakusuma dari Istana Mangkunegaran Surakarta.

Dipersunting seorang pangeran barangkali menjadi angan-angan sebagian anak perempuan di muka bumi ini. Bagi Sukmawati, itu bukan impian belaka.

Apalagi Pangeran Sujiwakusuma merupakan putra mahkota. Artinya, jika nanti mereka menikah dan suaminya itu dinobatkan menjadi raja, maka Sukmawati tentu saja akan menyandang predikat mentereng: permaisuri.

Perkawinan agung tersebut benar-benar terlaksana pada 16 September 1974. Tak lama berselang, hadirlah dua buah hati, satu laki-laki, satu perempuan. Lengkap sudah kebahagiaan pasangan muda dari keluarga terhormat ini.

Namun, ternyata Sukmawati tidak sempat menikmati rasanya menjadi permaisuri. Pernikahan mereka berakhir memasuki tahun ke-10, sebelum Pangeran Sujiwa Kusuma naik takhta.

Putri Presiden dan Putra Raja

Sukmawati adalah salah satu anak Presiden Sukarno dari Fatmawati, selain Guntur, Megawati, Rachmawati, dan Guruh. Ia lahir di Istana Merdeka Jakarta pada 26 Oktober 1951 dengan nama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri.

Sukmawati dilahirkan saat status Sukarno sebagai presiden sudah benar-benar mantap seiring pengakuan kedaulatan oleh Belanda menjelang 1950. Sebelumnya, sejak merdeka pada 1945, Indonesia disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda yang ingin berkuasa lagi.

Ketertarikan Sukmawati terhadap seni dan budaya sudah terlihat sejak kecil. Saat beranjak dewasa, ia menempuh studi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta atau IKJ).

Sempat bergabung dengan grup tari Bali bernama “Saraswati”, pergaulannya di kalangan penari papan atas lumayan luas. Menurut Ajip Rosidi dan kawan-kawan dalam TIM: Taman Ismail Marzuki (1974), Sukmawati kerap berlatih bersama Sardono W. Kusumo, Sentot Sudiharto, Yulianti Parani, Farida Syuman, dan lainnya (hlm. 14).

Umur Sukmawati masih muda saat disunting pangeran dari Solo. Kala itu ia memasuki usia 23, sepantaran dengan calon pasangan hidupnya, Pangeran Sujiwakusuma.

Sebenarnya, Sujiwakusuma bukanlah calon raja utama karena ia adalah anak laki-laki kedua dari Mangkunegara VIII. Namun, lantaran kakaknya yang semula merupakan pewaris takhta meninggal dunia, maka gelar putra mahkota dilimpahkan kepada Pangeran Sujiwakusuma.

Mangkunegaran merupakan salah satu dari kerajaan pecahan Mataram Islam yang ada di Jawa, selain Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan kemudian Kadipaten Pakualaman yang muncul belakangan.

Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa adalah pendiri dan pemimpin pertama Istana Mangkunegaran, berkat disepakatinya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Setelah bertakhta, Raden Mas Said bergelar Mangkunegara I.

Kandasnya Pernikahan Ideal

Pernikahan Sukmawati dengan Sujiwakusuma boleh dibilang perkawinan ideal. Sukmawati adalah putri Presiden Sukarno, sementara Sujiwakusuma adalah pangeran, bahkan calon raja, berdarah Mataram.

Hanya saja, Bung Karno memang tidak sempat merasakan kebahagiaan atas pernikahan salah satu putrinya itu. Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini telah wafat sebelumnya, pada 21 Juni 1970, dalam tahanan rumah yang diterapkan penguasa Orde Baru.

Istri Soeharto, Raden Ayu Siti Hartinah alias Tien, berasal dari lingkungan yang sama dengan suami Sukmawati. Tien masih bergaris keturunan dari Mangkunegara III, pemimpin Kadipaten Mangkunegaran periode 1835-1853.

Ini suatu kebetulan yang menarik mengingat hubungan antara keluarga Sukarno dengan Soeharto kala itu ibarat api dalam sekam. Anak-anak Bung Karno, termasuk Sukmawati, tentu saja masih ingat bagaimana manuver serta perlakuan Soeharto terhadap ayah mereka menjelang dan setelah tergulingnya rezim Orde Lama.

Tidak ada pesta besar-besaran layaknya pernikahan anak raja dalam perkawinan Sujiwakusuma dan Sukmawati. Prosesi pernikahan dilakukan secara sederhana di Jakarta. Kelak, beberapa media, salah satunya majalah Pertiwi, membanding-bandingkan pernikahan itu dengan perkawinan kedua Sujiwakusuma—yang sudah menjadi Mangkunegara IX—pada 1990.

Sukmawati dan Sujiwakusuma dikarunai dua orang anak. Yang sulung adalah seorang putra bernama Paundrakarna Sukmaputra Jiwanegara, lahir 19 April 1975. Sedangkan yang kedua lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Agung Suniwati Sukmaputra, lahir 4 Agustus 1977.

Sayangnya, pernikahan yang mempertautkan dua keluarga terpandang dan dianggap sebagai pasangan ideal ini ternyata tidak sanggup bertahan selamanya. Satu dasawarsa setelah menikah, pada 1984, Sukmawati dan Sujiwakusuma akhirnya bercerai.

Setelah perceraian itu, Sukmawati menikah lagi dengan seorang pria bernama Muhammad Hilmi. Perkawinan Sukmawati yang kedua ini dianugerahi satu orang anak laki-laki, yakni Muhammad Putera Perwira Utama.

Sementara itu, menurut laporan majalah Tempo (Vol. 17, 1987), Sujiwakusuma mengakui, perceraian dengan Sukmawati pada 1983 itu cukup berat baginya. Sang pangeran melakukan koreksi total dalam hidupnya usai perpisahan itu.

Dan jika benar-benar ditunjuk sebagai penerus ayahnya, Mangkunegara VIII yang mangkat pada 2 Agustus 1987, Pangeran Sujiwakusuma berjanji akan berbuat yang terbaik. "Saya akan memperbaiki manajemen Mangkunegaran, ya, semacam penataan ke dalam.”

Memang akhirnya Pangeran Sujiwakusuma dinobatkan sebagai penguasa Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara IX pada 1987. Saat itu, sang raja baru belum punya permaisuri—gelar yang seharusnya disandang Sukmawati andaikata perceraian itu tidak terjadi.

Tiga tahun kemudian, Mangkunegara IX akhirnya melangsungkan pernikahan keduanya dengan seorang wanita bernama Prisca Marina Supardi di Surakarta dan dirayakan besar-besaran, berbeda dengan saat ia menikahi Sukmawati.

Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan (2008) menuliskan, Paundrakarna, putra pertama Sujiwakusuma dan Sukmawati, berpeluang paling besar sebagai penerus takhta Mangkunegaran berikutnya (hlm. 103).

Namun, semua kemungkinan masih bisa terjadi mengingat suksesi kekuasaan kerajaan-kerajaan turunan Mataram hampir selalu berlangsung panas hingga saat ini, meskipun sudah tidak memiliki kewenangan politik lagi.

Infografik diah mutiara sukmawati soekarnoputri

Kontroversi ala Sukmawati

Sukmawati semakin intens menggeluti ranah seni dan budaya setelah pernikahan pertamanya kandas di tengah jalan. Ia beberapa kali tampil dalam pementasan tari bersama para penari kenamaan di tanah air, dan acara-acara budaya lainnya.

Memasuki dekade 1990-an, Sukmawati mulai melirik politik, sesuatu yang sebenarnya sudah tidak asing baginya, terlebih bagi keluarga besarnya, terutama sang kakak, Megawati Soekarnoputri, yang telah malang-melintang bersama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) selama era Orde Baru dengan segala dinamikanya.

Sehari menjelang lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, Sukmawati turut membidani lahirnya Partai Nasional Indonesia Supeni (PNI-Supeni) pada 20 Mei 1998. PNI adalah partai politik besar yang digagas Sukarno sejak 4 Juli 1927.

Namun, PNI-Supeni tidak bisa mengikuti Pemilu 2004 karena gagal bersaing di Pemilu 1999. Nama partai ini diganti menjadi PNI Marhaneisme sejak 2002. Sukmawati Sukarnoputri terpilih sebagai ketua umumnya, dan berhasil memperoleh 1 kursi di parlemen pada Pemilu 2004.

Sukmawati menggeliat lagi pada 2011 dengan merilis buku berjudul Creeping Coup d’Etat Mayjen Suharto. Di buku ini ia mengungkapkan bagaimana Soeharto menghabisi karier politik ayahnya pelan-pelan namun pasti, bermula sejak peristiwa G30S yang membuat Sukarno terusir dari istana, hingga wafatnya sang proklamator dalam kegetiran sebagai tahanan rumah.

Pada 10 Oktober 2016, Sukmawati selaku Ketua Umum PNI Marhaenisme melaporkan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke kepolisian dengan tuduhan penodaan terhadap lambang dan dasar negara Pancasila, serta menghina kehormatan Ir. Sukarno sebagai proklamator sekaligus Presiden pertama RI.

Persoalan tersebut belum menemui kejelasan sampai saat ini, ditambah dengan ketiadaan Habib Rizieq yang telah meninggalkan Indonesia dan tinggal di Arab Saudi hingga kini.

Kini, Sukmawati menjadi sorotan lagi gara-gara puisi yang dibacakannya dituding menistakan agama Islam. Ia kemudian dilaporkan ke pihak yang berwajib atas persoalan ini pada awal April 2018.

Sukmawati sempat membela diri, tetapi akhirnya ia menggelar konferensi pers dan meminta maaf kepada umat Islam di Indonesia atas puisinya yang kontroversial itu. Kendati begitu, Sukmawati tampaknya tetap harus bersiap untuk menghadapi urusan hukum dalam perkara ini.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan