tirto.id - Sudah tidak asing di telinga masyarakat luas jika Provinsi Bali padat wisatawan. Dilihat dari kunjungan wisatawan mancanegara, terlihat peningkatan yang signifikan selama 2024 berlangsung. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat, terdapat sekitar 625.665 wisatawan asing yang masuk ke Pulau Dewata melalui Bandara Ngurah Rai dan pelabuhan laut.
Angka wisatawan yang terus bergulir tentu mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap jasa akomodasi, seperti hotel atau penginapan lainnya. Apabila merujuk pada sumber statistik yang sama, didapatkan jumlah hotel pada 2023 berada pada angka 541, naik dibandingkan 2022 yang tercatat 498 hotel. Dari sisi kamar hotel, BPS mencantumkan angka 52.370 kamar pada 2022 dibandingkan dengan 46.302 kamar di 2021.
Akan tetapi, di balik peluang peningkatan pendapatan secara ekonomi, terdapat dampak secara langsung terhadap lahan terbuka hijau yang tersebar di Provinsi Bali, utamanya lahan-lahan pertanian. Eksistensi sawah mulai terdesak karena perkembangan pariwisata dan infrastruktur pendukungnya yang begitu menjanjikan. Berkurangnya lahan pertanian produktif dan daya dukung lingkungan menjadi dua hal yang terus disorot pemerhati lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Made Krisna Dinata, menuturkan bahwa pembangunan infrastruktur di Bali, baik itu akomodasi parisiwata maupun penunjangnya, memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan. Tidak menutup kemungkinan pula, dampak yang dihasilkan bersifat merusak.
Krisna mengambil contoh pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi yang akan dibangun sepanjang 96 kilometer dan melintasi tiga kabupaten, yakni Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Jembrana. Namun, sebagai dampak, proyek ini diketahui menerabas kurang lebih 480,54 hektare lahan produktif sawah.
“Belum lagi dalam konteks trase jalan, proyek ini juga mengancam 98 wilayah subak. Subak adalah salah satu bentuk sistem irigasi tradisional Bali yang memang lekat dengan sawah, pertanian, dan petaninya,” ucap Krisna pada kontributor Tirto saat ditemui di Kantor Walhi Bali, Jumat (13/9/2024).
Selain jalan tol Gilimanuk-Mengwi, Walhi juga menyoroti beberapa proyek infrastruktur pariwisata lainnya, seperti Pelabutan Terintegrasi Sangsit di Buleleng yang dibangun di atas lahan pesisir dan akses jalannya mengancam 26.193 meter persegi lahan sawah produktif, serta Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung yang menggerus 93.806 meter persegi lahan sawah.
“Terakhir kami mengkritisi proyek hotel N2S Lot 5 yang akan dibangun di Sawangan. Dia dibangun di pesisir yang tapaknya itu secara bacaan kami dari berbagai regulasi yang coba kami himpun, berada pada kerentanan wilayah tsunami dan gempa dari kualifikasi sedang hingga tinggi,” ujar pemerhati lingkungan hidup itu.
Efek Overbuild Bali Bisa Merambah ke Pangan dan Air
Krisna mengafirmasi pernyataan guru besar FEB Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Prof. Ida Bagus Raka Suardana, yang menyatakan Bali sudah overbuild. Ia memaparkan bahwa pada 2000 hingga 2020, terjadi pengurangan luas lahan pertanian di Kecamatan Kuta dan Kota Denpasar dari 7600 hektare (41,6% luas wilayah) menjadi hanya 3305,91 hektare (18,2% luas wilayah). Hal tersebut berarti, terdapat penyusutan sebanyak 4294,09 hektare lahan sawah selama 2 dekade ke belakang.
“Utamanya di Bali selatan, memang banyak ruang hijau berubah menjadi bangunan. Tentunya, ketika lahan pertanian berkurang, pasti akan ada dampak terhadap ketahanan pangan yang kita miliki di Bali,” beber Krisna.
Terungkap pula dari data BPS Provinsi Bali per April 2024, produksi beras pada 2023 untuk konsumsi pangan mencapai 379.870 ton. Namun, apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi penurunan sebanyak 3.960 ton (1,03%). Sementara itu, luas panen padi pada 2023 turut mengalami penurunan sebesar 3.807 hektare (3,39%), yakni dari 112.321 hektare di 2022 menjadi 108.514 hektare di 2023.
Selain dari sawah, diketahui Bali turut mengalami krisis air. Krisna merujuk pada penelitian oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang menyatakan satu kamar hotel berbintang memiliki kebutuhan minimal 800 liter, sementara rumah domestik biasa hanya mengonsumsi 200 liter air.
“Ketika infrastrukturnya dibangun banyak, maka tidak menutup kemungkinan kita akan dibawa ke dalam keadaan krisis air. Masyarakatnya bisa sulit untuk mengakses air,” kata dia.
Tangani Alih Fungsi Lahan, Pemerintah Mulai Godok Moratorium
Alih fungsi lahan pertanian di Bali turut mendapat atensi dari pemerintah pusat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, bersama dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, segera mengusulkan adanya moratorium pembangunan hotel di kawasan Bali Selatan.
“Tidak ada lagi orang membuat vila di sawah. Sawah biarlah sawah, supaya Bali jadi Bali yang unik,” tutur Luhut pada rapat koordinasi persiapan Bali International Airshow (BIAS) 2024 di Nusa Dua, Selasa (3/9/2024).
Moratorium yang dipaparkan keduanya akan diterapkan di wilayah yang sudah padat dengan sasaran utama berada di kawasan Bali Selatan, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan (Sarbagita). Namun, sebelum dibahas dalam rapat terbatas, regulasi perihal moratorium masih digodok dengan mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali turut menyambut ide pemerintah pusat dengan hangat. Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra, mengungkapkan moratorium diperlukan sebagai langkah untuk menata ulang lahan-lahan strategis, khususnya sawah yang terus mengalami penurunan akibat pembangunan.
“Tentu ini membutuhkan upaya bersama untuk melakukan pengendalian. Pariwisata kita jaga pertumbuhannya, tetapi keberadaan sawah produktif juga harus kita pertahankan agar produksi pangan tidak turun,” ungkap Dewa Indra di Wiswa Sabha, Rabu (11/9/2024).
Dipaparkan pula oleh Dewa Indra, moratorium yang dicetuskan pemerintah pusat digunakan sebagai jeda waktu agar Pemprov Bali bisa mendata ulang lahan-lahan sawah yang tersisa, termasuk irigasi dan kondisinya. Pihaknya mengatakan akan memetakan zona yang bisa digunakan untuk pembangunan dan zona yang harus dikonservasi.
“Berdasarkan analisis situasi ini, untuk bisa kita menata kembali ruang-ruang dan sawah yang masih kita miliki, ruang mana yang harus kita pertahankan, ruang mana yang bisa untuk pengembangan sektor pariwisata, maka tentu membutuhkan jeda waktu. Kalau semuanya jalan terus, maka tidak ada waktu untuk menata,” kata Dewa Indra.
Dewa Indra turut menyebutkan bahwa pembangunan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihentikan, tetapi mempertahankan sawah dan lahan yang tersisa juga sama pentingnya.
Di sisi lain, terungkap pula respons para pengusaha terhadap kebijakan moratorium yang sedang digodok ini. Beberapa menyambut positif, tetapi tidak sedikit pula yang meragukan efektivitas dan mekanismenya.
“Ada yang sangat setuju moratorium, banyak pertimbangan karena kita menghadapi situasi overtourism. Ada yang mengatakan ada ketimpangan utara dan selatan. Ada yang mengatakan produksi dan produktivitas pangan harus dijaga. Yang masih meragukan adalah apa benar moratoriumnya? Kapan mulai? Siapa yang membuat? Apakah izinnya akan dibuat oleh pusat?” kata Dewa Indra.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz