Menuju konten utama

Menggugat Narasi Tanah Subur dan Realitas Pertanian Indonesia

Mitos tanah subur Indonesia terbantahkan oleh lahan terbatas dan kerusakan akibat Revolusi Hijau, mengancam produktivitas dan kesejahteraan petani.

Menggugat Narasi Tanah Subur dan Realitas Pertanian Indonesia
Header perspektif Menyehatkan Kembali Lahan Pertanian yang Kelelahan. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Banyak pihak (masih) percaya Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Negeri yang kaya sumber daya alam, lahan maha luas, tanahnya subur, lautnya luas, dan bejibun keanekaragaman hayati. Begitu suburnya tanah, meminjam lirik lagu “Kolam Susu” Koes Ploes, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Narasi ini diajarkan di sekolah-sekolah dan aneka lembaga pendidikan, dari tingkat terendah hingga tinggi. Karena disampaikan berulang-ulang, narasi ini dianggap sebagai kebenaran (akhir). Benarkah demikian?

Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Ini sudah mencakup sungai, rawa, dan hutan. Jika dibagi jumlah penduduk sebanyak 278 juta jiwa, luasan per kapita hanya 0,70 hektare (ha).

Bila hanya menghitung lahan yang bisa ditanami hanya sebesar 26,3 juta ha. Alhasil ketersediaan lahan per kapita lebih kecil lagi, yakni 0,096 hektare. Sangat kecil. Jauh tertinggal dari negara lain seperti Thailand dengan tingkat lahan 0,23 ha/kapita.

Kemudian, sekitar 70 persen lahan di Indonesia bersifat masam. Tak mudah berbudidaya atau berusaha tani. Butuh input lebih mahal, rakitan varietas khusus, dan teknologi spesifik.

Lebih dari itu, setelah mengalami eksploitasi sejak introduksi Revolusi Hijau era 1960-an, sawah kita sudah jenuh dan keletihan (soil fatique), bahkan sakit (sick soil).

Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2010), sekitar 73 persen sawah memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen).

Untuk diketahui C-organik atau karbon organik merupakan faktor penentu kualitas tanah. Kian tinggi kadar C-organik, kualitas tanah semakin baik. C-organik berperan memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologis tanah, dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman.

Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen bisa dikatagorikan sebagai lahan sakit, kelelahan, dan amat kritis (Simarmata, 2012). Lahan miskin bahan organik membuat fungsi fisik, kimia, dan biologi tanah tak optimal. Padahal, fungsi ketiganya jadi penentu produktivitas.

Lahan miskin bahan organik membuat fungsi fisik, kimia, dan biologi tanah tak optimal. Padahal, fungsi ketiganya jadi penentu produktivitas.

Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda. Lewat adopsi paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan, sehingga ramalan Malthusian tak terbukti. Kaum Malthusian atau pengikut Thomas Robert Maltus (1766-1834) percaya produksi pangan tak mampu mengejar pertumbuhan penduduk.

Produksi padi naik dari 1,8 ton per ha jadi 3,01 ton per ha hanya dalam tempo 14 tahun (1970-1984). Prestasi Indonesia yang mengalahkan Jepang dan Taiwan itu membuat dunia berdecak kagum.

Puncak prestasi ditandai pencapaian swasembada beras pada 1984. Presiden Soeharto pun diganjar penghargaan FAO. Persoalannya, meskipun produksi meningkat, petani tetap miskin. Swasembada beras pun hanya bertahan hingga 1989. Sejak saat itu sampai sekarang, impor beras selalu berulang ketika produksi turun.

Imbas Revolusi Hijau

Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang begitu cepat memunculkan kekaguman, tapi diakhiri kekecewaan berkepanjangan di kemudian hari. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Filipina, Thailand dan negara-negara Amerika Latin.

Paket teknologi Revolusi Hijau, terutama pupuk (kimia) dan pestisida, terbukti merusak tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan kontinuitas produksi. Pemakaian pupuk anorganik terus-menerus dan takarannya selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi. Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.

Varietas unggul yang ditanam rakus hara dan mineral, sehingga tanah harus terus-menerus diberikan input hara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida yang digunakan bertubi-tubi tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan penyakit yang kebal.

Varietas unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada hama/penyakit yang kian tangguh telah mengerosi varietas milik petani yang menghasilkan nasi punel dan wangi. Varietas-varietas lokal yang tidak rakus hara, tidak hanya tersingkir tetapi juga mulai punah.

Dampak paling terasa dari pemakaian pupuk anorganik adalah tanaman makin tidak responsif terhadap pemupukan. Meski takaran diperbesar, tingkat produktivitasnya tidak sebanding dengan penambahan inputpupuk.

Berlakulah hukum besi:the law of deminishing return. Dilihat dari teknologi produksi, yang dihasilkan petani Indonesia saat ini sudah mendekati frontier yang bisa dicapai.

Rata-rata produktivitas padi di lahan irigasi di Indonesia mencapai 6,4 ton/ha, kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah China (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas kian sempit dengan input mahal.

Betapa tidak mudah menaikkan produktivitas tecermin dari produktivitas padi yang tumbuh minor dalam enam tahun terakhir (2018-2023): 0,3 persen. Untuk menggenjot produktivitas, salah satunya bisa dilakukan dengan mengembalikan kandungan bahan organik tanah agar kesuburannya pulih.

Selama ini bahan organik tanah terkuras karena seresah panen tidak dikembalikan lagi ke lahan. Meningkatnya intensitas tanam membuat waktu antar musim tanam kian pendek, membuat pelapukan jerami tidak sempurna dan mempersulit pengolahan tanah, imobilisasi nitrogen, dan defisiensi nitrogen.

Kebijakan subsidi pupuk yang bias pupuk urea turut memperburuk perlunya pemupukan berimbang. Subsidi yang bias pupuk anorganik membuat petani kian minded pupuk kimia, bahkan memupuk berlebih, lalu melupakan pentingnya pupuk organik.

Inisiatif Go Organic pun Kandas

Menyadari dampak ini, di era Presiden SBY dicanangkan go organic: pengembangan perdesaan lewat pertanian organik, kelompok tani organik, dan pemasaran pertanian organik.

Presiden Jokowi melanjutkan dengan program Indonesia Go Organic dengan membuat percontohan 1000 desa organik dari program reforma agraria sebagai sentra penghasil pangan organik. Pupuk organik sempat disubsidi, lalu dihapuskan kembali.

Karena komitmen rendah, kedua program di era SBY dan Jokowi ini menguap tak berbekas. Subsidi pupuk anorganik kembali jadi andalan meningkatan produksi. Merujuk regulasi, ada dua tujuan subsidi pupuk (anorganik): agar pendapatan petani meningkat dan tetap bergairah berusahatani secara berkesinambungan.

Dua tujuan itu sulit dicapai. Meski disubsidi, banyak petani seringkali harus membeli pupuk di atas harga eceran tertinggi. Subsidi membuat petani minded pupuk anorganik, melupakan pupuk organik. Ketidakseimbangan ini membuat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun.

Untuk mengembalikan kesuburan tanah, perlu gerakan masif memakai pupuk organik. Ada tiga tujuan gerakan ini. Pertama, kemandirian petani.

Berbeda dengan pupuk anorganik yang diproduksi pabrikan, pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh petani dari bahan alam yang melimpah.

Mereka tidak tergantung pada pabrik. Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi. Secara empiris, pupuk organik tidak hanya mengembalikan hara (makro dan mikro), tetapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Kombinasi pupuk anorganik dan organik mengurangi penggunaan pupuk anorganik, memperbaiki sifat kimia, dan meningkatkan hasil.

Ketiga, mengurangi tekanan pada perluasan lahan. Kala produktivitas stagnan, kenaikan produksi digeser dengan memperluas lahan. Padahal, perluasan lahan selain memerlukan waktu dan anggaran besar, dan dampak lingkungan, juga hanya tersisa di lahan suboptimal.

Di sisi lain, masih terbuka peluang meningkatkan produktivitas dengan menyehatkan (kembali) lahan yang kelelahan dan sakit. Gerakan menyehatkan lahan ini bisa dimulai dengan menjadikan pupuk organik sebagai bagian pupuk bersubsidi.

Secara gradual nilainya harus diperbesar. Produksi tidak diserahkan ke pabrikan, tapi dikerjakan petani atau kelompok tani. Yang diperlukan adalah pendampingan intensif dan masif.

Penulis adalah pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP).

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.