tirto.id - Sebulan terakhir, para pemangku kepentingan gula riuh membahas pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Lewat Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2024 tertanggal 19 April 2024, Presiden Jokowi menunjuk Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, sebagai Ketua Satgas. Keriuhan bukan lantaran figur Bahlil, tapi urgensi pembentukan satgas. Benarkah kita memerlukannya?
Pertama, satgas adalah lembaga ad hoc. Pembentukan satgas dimaksudkan untuk mengambilalih tugas-tugas yang melekat pada kementerian/lembaga (K/L). Alhasil, keberadaannya adalah bentuk pengakuan bahwa K/L yang tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) mengurusi industri gula tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kedua, satgas dibentuk di penghujung senja pemerintahan Jokowi: tersisa kurang lima bulan. Bila mau swasembada gula dan bioetanol mengapa tidak dari dulu industri ini diurus serius?
Pembentukan satgas adalah kelanjutan dari terbitnya Perpres No. 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Sejak berbentuk draf, perpres berisi 22 pasal ini sudah memantik kontroversi karena pembahasannya tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.
Jika kemudian satgas sebagai “anak kandung” Perpres 40/2023 membuat riuh adalah lumrah. Kemudian sesuai namanya, Percepatan Swasembada Gula, ini berarti perpres mengandaikan program swasembada gula ada di rel yang benar. Agar segera tercapai, perlu percepatan.
Kondisi industri gula memang jauh dari kondisi swasembada. Padahal, program seperti ini sebelumnya telah dijadikan prioritas penting sejak puluhan tahun lalu. Mulai dari pemerintahan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi.
Bukannya mendekati target dan sasaran, capaian justru kian menjauh. Produksi gula kristal putih atau gula konsumsi tak pernah beranjak jauh dari 2,1-2,4 juta ton per tahun, sementara kebutuhannya lebih 3 juta ton
Gula rafinasi untuk industri, yang kebutuhannya lebih 3 juta ton per tahun, bahan bakunya, raw sugar, sepenuhnya diimpor. Akibat porsi impor yang besar, saat ini Indonesia sebagai importir gula terbesar di dunia.
Timbunan Regulasi
Polemik ini semua terjadi, antara lain, karena banyak beleid di industri gula yang saling berkonflik dan menegasikan. Disumbangkan oleh kebijakan pragmatis, inkonsisten, dan berubah-ubah dan juga Koordinasi K/L yang tidak jalan. Masing-masing K/L berjalan dengan peta jalan sendiri. Riset, inovasi, dan kelembagaan tak terurus.
Egosektoral membuat industri pergulaan seperti autopilot. Petani sebagai garda terdepan dalam industri pergulaan tidak ada yang mengurus serius nasibnya. Jika di negara lain petani dijamin untung, di sini tiap saat mereka harus berjuang dengan cara tak lazim agar negara hadir, yakni dengan berdemonstrasi.
Gula adalah salah satu komoditas yang paling banyak diatur (over-regulated). Masalahnya, regulasi bejibun itu tak selalu dievaluasi bagaimana hasilnya. Salah satunya soal kewajiban bagi pabrik gula membangun kebun sendiri.
Sejak 2014 setidaknya ada 11 aturan, dari UU, Perpres, hingga peraturan menteri yang mewajibkan industri gula berbasis tebu menyediakan 20% bahan baku dari kebun sendiri, 80% sisanya lewat kemitraan.
Tapi ini tak pernah diawasi dan dievaluasi. Riil empat tahun terakhir (2020-2022) luas panen tebu hanya 464-an ribu hektare (ha) dengan rendemen 7 persen dan produktivitas tebu 69 ton/ha.
Karena itu, jika kemudian Perpres No. 40/2023 menargetkan swasembada gula konsumsi pada tahun 2028 dan gula industri 2030, pertanyaan paling penting adalah bagaimana cara mencapai itu? Bukankah sisa waktu tinggal 4-6 tahun?
Keraguan, bahkan kemustahilan, pencapaian target itu makin tebal tatkala menilik angka-angka yang jadi dasar peta jalan swasembada. Ambil contohnya target mendongkrak produktivitas tebu hingga 93 ton/ha. Lalu, juga perluasan lahan tebu hingga 700.000 ha dan peningkatan efisiensi, utilisasi kapasitas pabrik gula hingga rendeman 11,2 persen.
Sebagai informasi, rendemen adalah perbandingan berat gula sebagai hasil produksi dengan jumlah tebu yang digiling sebagai bahan baku yang dinyatakan dalam persen.
Diproyeksikan, pada 2030 produksi tebu nasional sebesar 110,1 juta ton dan akan dihasilkan tetes 4,95 juta ton. Jika semua by product atau hasil samping tetes atau molases itu diolah menjadi etanol akan dihasilkan 1.239.283 kiloliter.
Dengan kebutuhan bensin non-PSO (public service obligation) pada 2030 sebesar 9 juta kiloliter, ada potensi pencampuran (blending) etanol sebagai campuran bensin sebesar 13,8%. Meski belum sebesar biodiesel 30% (B30), bioetanol 13,8% akan menekan kebutuhan impor bensin. Devisa impor bensin bisa ditekan.
Apakah angka-angka ini realistis untuk dicapai? Pertama, produksi tebu 110,1 juta ton pada 2030 didasarkan pada proyeksi luas panen tebu mencapai 670.561 ha milikPT Perkebunan Nusantara(PTPN) III.
Padahal saat ini total luas panen tebu PTPN III hanya 180.619 ha. Pertanyaannya, dari mana tambahan luas panen 489.942 ha itu? Bukankah luas panen tebu pabrik gula (PG) BUMN terus turun?
Rentang 2016-2021, luas panen tebu PG BUMN turun 53.247 ha, 48.763 ha di antaranya di Jawa. Di satu sisi, bukankah berbagai kebijakan perluasan panen tebu sejauh ini tak tampak hasilnya? Tanpa kepastian lahan, target bisa meleset amat jauh.
Perlu diketahui, PNPN III kini telah membentuk holding pabrik gula BUMN bernama PT Sinergi Gula Nusantara atau Sugar Co.
Kedua, produksi tebu 110,1 juta ton pada 2030 didasarkan pada asumsi rendemen PTPN III sebesar 9,2% dan produktivitas tebu 92,6 ton/ha. Saat ini rendemen yang dicapai baru 6,7% dan produktivitas tebu 52 ton/ha. Pertanyaannya, bagaimana cara mendongkrak rendemen dan produktivitas tebu?
Apakah akan ada terobosan teknologi baru, baik bibit, bongkar ratoon atau peremajaan tanaman, pupuk khusus maupun kultur teknis? Bagaimana relasi PG dengan petani? Apakah ada insentif bagi petani tebu dalam bentuk bantuan hidup selama tunggu panen 10-12 bulan? Tanpa kepastian semua ini, target akan melenceng.
Ketiga, produksi etanol sebesar 1.239.283 kiloliter pada 2030 didasarkan pada asumsi semua tetes yang dihasilkan PTPN III (2.163.207 ton) dan swasta (2.793.926 ton) diproduksi jadi etanol. Padahal, tetes produksi swasta (juga PTPN III) selama ini sudah digunakan untuk bahan baku bumbu masak, alkohol, dan kosmetik.
Bisakah dipastikan semua tetes, terutama milik swasta, akan disetor untuk program BBN dan diolah jadi etanol? Bagaimana jika tetes itu tidak mungkin digeser? Apa alternatif penggantinya?
Berbeda dengan Target Perpres
Di luar itu, dalam Perpres No. 40/2023, pemerintah mematok target buat PTPN III meraih produktivitas tebu hanya 87 ton/ha, memperluas lahan tebu 179 ribu ha, dan rendemen 8,05%.
Untuk mencapai target tersebur PTPN III bisa bekerja sama dengan badan usaha lain sesuai kaidah bisnis, termasuk membentuk usaha patungan dengan melego 49% saham.
PTPN III diberi fasilitas berupa alokasi impor gula kristal putih dan/atau raw sugar sesuai kebutuhan. PTPN III wajib menyusun dan menyampaikan peta jalan, termasuk rencana investasi, guna mencapai swasembada itu ke K/L terkait. Juga melaporkan hasil secara berkala.
Pertanyaannya, mengapa target PTPN III rendah? Lalu, siapa yang bertanggung jawab mewujudkan target produktivitas tebu 93 ton/ha, memperluas lahan tebu 700 ribu ha, dan rendemen 11,2%?
Perpres 40/2023 sama sekali tak menyinggung itu. Bagaimana peran swasta? Bukankah sejak 2019 luas panen, produksi tebu dan gula, produktivitas tebu dan kapasitas giling terpakai pabrik gula BUMN menurun dan kalah dari swasta?
Bahkan, di industri gula rafinasi yang kini berjumlah 11, semuanya swasta. Menafikkan peran swasta sama saja menegasikan realitas hari ini. Adalah benar keterlibatan swasta dibuka, tapi bagaimana peran dan fasilitasi oleh para K/L sama sekali tak disinggung.
Dalam centang perenang seperti itulah Bahlil ditunjuk sebagai Ketua Satgas. Ia dibantu Menteri ATR/Kepala BPN dan Menteri KLHK sebagai wakil. Sebagai anggota ada Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri PUPR, Menteri BUMN,dan Kepala Badan Karantina Indonesia.
Tugas Satgas tak lain untuk memfasilitasi pelaku usaha dalam kemudahan izin dan lainnya. Kala berbicara ke media, Bahlil mendaku ada 2 juta ha lahan di Merauke yang bakal ditanami tebu untuk diolah jadi gula dan etanol. Satu bagian lahan dikelola swasta murni, lainnya dikelola BUMN, Sugar Co, lewat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bekerja sama dengan pihak swasta.
Soal lahan 2 juta ha di Merauke tak disebut di Keputusan Menko Perekonomian No. 418/2023 tentang Peta Jalan Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Biofuel 2024-2030. Peta Jalan ini turunan Perpres 40/2023.
Di peta jalan ini, potensi lahan 2 juta ha yang cocok buat tebu ada diluar Merauke. Data lain, merujuk laporan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (2010), 500 ribu ha ada di Papua, di mana 220 ribu ha ada di Merauke. Jadi, benarkah di Merauke ada 2 juta ha cocok buat tebu?
Pada 2010 di Merauke mulai dibangun kebun tebu dan PG, bagian dari Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Lewat dua perseroan terbatas, PT Rajawali Corpora mendapatkan konsesi lahan 70 ribu ha. Berjalan 3 tahun (2011-2014), operasi perusahaan akhirnya ditutup.
PT Rajawali Corpora tak sendiri. PT Bangun Cipta, Medco, Sinar Mas, Hardaya, dan yang lain, yang mendapatkan konsesi lahan untuk komoditas berbeda di MIFEE, pun beku operasi. Tak ada sisa.
Selain tenaga kerja, konflik dengan warga lokal, dan infrastruktur hampir bisa dipastikan ongkos logistik jadi tantangan tak mudah di Merauke. Bagaimana menekan ongkos logistik di Merauke agar kompetitif?
Data-data ini, sekali lagi, menunjukkan betapa di atas kertas kalkulasi amat mudah dibuat. Apakah angka-angka itu akan terwujud dalam realitas adalah hal lain. Yang merisaukan adalah munculnya angka-angka, yang mohon maaf, seperti dilontarkan orang mabuk: asal sebut angka.
Oleh karena itu, penting bagi satgas untuk membuat peta jalan detail yang menuntun rencana kerja, cara mencapai, evaluasi hingga outcome. Yang tak kalah penting adalah pembagian rinci siapa melakukan apa, memastikan eksekusi di lapangan secara rigid dan konsisten serta ada reward and punishment.
Selama ini integrasi kebijakan dan konsistensi eksekusi di lapangan secara rigid selalu jadi tantangan terbesar integritas kebijakan pemerintah. Apakah satgas pimpinan Bahlil mengakhiri itu?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.