tirto.id - Tiga bulan didera konflik, situasi dalam negeri Nikaragua belum betul-betul stabil. Demonstrasi massa menjalar di penjuru negeri, perekonomian mandeg, dan rutinitas warga sehari-hari terhalang blokade aparat bersenjata. Masing-masing pihak masih sama-sama keras. Pemerintah menolak tuntutan reformasi, sedangkan rakyat mendesak Presiden Daniel Ortega untuk mundur.
Huru-hara politik di Nikaragua mulai terjadi pada April silam. Menurut laporan Associated Press, semua bermula ketika Daniel Ortega memutuskan untuk meningkatkan pajak pendapatan dan merombak sistem dana pensiun. Kedua langkah tersebut dilakukan demi menopang sistem jaminan sosial yang sedang bermasalah di Nikaragua.
Apabila kebijakan tersebut diterapkan, maka kontribusi pekerja untuk dana pensiun (yang diambil dari gaji mereka) bakal meningkat; dari yang semula 6,25% menjadi 7,25%. Di sisi lain, kebijakan ini juga turut memengaruhi para pensiunan. Untuk mendapatkan perawatan medis, contohnya, pensiunan harus membayar 5% dari total uang pensiun yang mereka terima.
Keputusan itu sontak menuai penolakan besar-besaran dari masyarakat yang menilai bahwa langkah pemerintah merugikan. Penolakan atas kebijakan Ortega lantas diwujudkan lewat demonstrasi damai. Namun, aksi damai tersebut justru dibalas represif oleh unit paramiliter (dikenal dengan nama “grupos de choque”) yang berujung pada tewasnya dua warga sipil pada 19 April 2018.
Jatuhnya korban dari sipil membuat para demonstran kian murka. Mereka beranggapan perlakuan aparat kelewat berlebihan. Sementara aparat berpendapat bahwa warga sipil lebih dulu melakukan penyerangan kala demonstrasi berlangsung.
Sejak itulah Nikaragua jadi sarang konflik berdarah. Bentrok mematikan antara kelompok anti-Ortega dan paramiliter berlangsung intens. Berdalih menjaga keamanan wilayah, unit paramiliter meluncurkan “Operasi Pembersihan” dengan memasang penghalang jalan dan barikade di setiap sudut kota untuk menangkap siapapun yang dipandang berbahaya.
Tak cuma itu saja, pemerintah bahkan menganggap pendemo sebagai “teroris” serta “sekelompok pembangkang” yang berniat mengacaukan negara.
Bentrok tak berkesudahan itu memakan korban lebih banyak. Data Nicaraguan Association for Human Rights (ANPDH) menyebut, dalam rentang waktu 19 April hingga 10 Juli, sudah 351 warga Nikaragua tewas dan ribuan lainnya luka-luka akibat serangan pasukan paramiliter pemerintah. Kondisi ini tak pelak memicu kritik keras terhadap rezim Ortega. Amnesty International, misalnya, mengatakan bahwa “penindasan pemerintah Nikaragua telah mencapai tingkat yang menyedihkan.”
“Ini adalah momen yang buruk,” kata Geoff Thale, analis Washington Office on Latin America, kepada The Guardian. “Kelompok paramiliter melawan secara agresif. Suasanya sangat menegangkan.”
Namun, militansi masyarakat malah semakin membabi-buta. Ratusan ribu warga yang terdiri dari elemen mahasiswa, oposisi, sampai pebisnis turun memadati jalanan di kota-kota macam Managua, Masaya, sampai Carazo. Tuntutan mereka tak lagi soal sistem dana pensiun, melainkan desakan mundur yang ditujukan kepada Ortega dan kroni-kroninya di kursi pemerintahan.
Kendati demikian, Ortega tetap saja bebal. Ia menolak segala tuntutan rakyatnya sendiri seraya menyalahkan masyarakat atas meletusnya kerusuhan. Dialog antara kelompok anti-pemerintah dan rezim Ortega yang diinisiasi Gereja Katolik pun tak menghasilkan apa-apa. Krisis masih diprediksi belum menemui titik akhir dan di saat bersamaan, korban terus berjatuhan.
Mencampakkan Revolusi
Segala kekacauan yang terjadi di Nikaragua bersumber dari satu sosok: Daniel Ortega.
Nama Ortega mencuat pada era 1980an. Waktu itu, ia—yang berperawakan kecil dan memakai kacamata besar—bersama Frente Sandinista de Liberación Nacional (FSLN) berhasil menggulingkan kediktatoran klan Somoza yang sudah berkuasa di Nikaragua sejak 1936. Lewat serangkaian gerilya, dinasti Somoza yang dibekingi AS pun sukses dihancurkan.
Pemerintahan klan Somoza adalah mimpi buruk. Mereka tamak, korup, tiran, serta membangun kekuasaannya melalui patronase militer AS dan sentimen populis “kepribumian” yang marak sejak dekade 1930an. Di bawah klan Somoza, rakyat Nikaragua sengsara. Saking sengsaranya, sebagai contoh, bantuan kemanusiaan internasional senilai $250 juta yang seharusnya dipakai untuk rekonstruksi pasca-gempa besar 1972 di Managua, justru disikat habis oleh Somoza.
Usai Somoza lengser, FSLN mengambil alih pemerintahan. Langkah-langkah perbaikan segera dilakukan, misalnya menasionalisasi tanah milik keluarga Somoza hingga mengadakan pemilu untuk kali pertama yang mengantarkan Ortega terpilih menjadi presiden pada 1984.
Namun, masalah belum selesai. Kendati Somoza sudah diasingkan, rintangan datang dari AS yang masih belum rela melihat kaum kiri berkuasa. Di bawah Presiden Ronald Reagan, pemerintah AS mendanai gerilyawan anti-Sandinista (akrab disebut Contra) untuk menghancurkan pemerintahan Ortega. Kondisi tersebut lantas memicu perang sipil yang baru berakhir pada 1988, selepas dua kubu bersepakat damai.
Dua tahun usai gencatan senjata, pemilu kembali digelar. Jejak pendapat memperlihatkan bahwa Ortega bakal mulus memenangkan pemilihan untuk kali kedua. Namun, hitungan itu meleset. Ortega dipermalukan Violeta Chamorro, kandidat yang didukung Contra sekaligus janda dari mendiang Pedro Chamorra, jurnalis koran oposisi, La Prensa.
Di gelaran pemilu berikutnya, pada 1995 dan 2001, nasib Ortega pun tak membaik: kalah suara. Rentetan kekalahan tersebut disinyalir akibat rusaknya reputasi Ortega atas dugaan korupsi, konflik internal di kelompok Sandinista, serta tuduhan pemerkosaan terhadap anak tirinya sendiri, Zoilamérica Narváez.
Kekalahan demi kekalahan rupanya tak menyurutkan ambisi Ortega untuk berkuasa. Jika perlu, ia akan bersedia berjalan melenceng jauh dari akar Revolusi Sandinista agar tampuk kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Nikaragua berhasil ia dapatkan.
Ihwal hal itu dibuktikan ketika ia maju dalam pemilihan 2006. Semasa kampanye, mengutip BBC, Ortega datang dengan membawa jargon baru bernama “Fase Kedua Revolusi Sandinista.” Ini artinya ia mengganti bendera merah-hitam Sandinista dengan merah jambu, mengenakan kemeja putih alih-alih seragam militer hijau-zaitun khas Sandinista, dan menukar slogan-slogan Marxis dengan komitmen samar berbunyi “Kekristenan, Sosialisme, dan Solidaritas.”
Namun, tak ada yang lebih mengejutkan selain saat ia mengatakan bakal mencari investasi asing untuk mengentaskan kemiskinan. Selama masa kampanye, Ortega kerap menekankan betapa pentingnya keterlibatan pihak ketiga, terutama sektor swasta, dalam pembangunan negara serta mendorong publik mendukung perusahaan-perusahaan asing guna menanamkan modalnya di Nikaragua.
Max Cook dalam “Third Place – A Reluctant Partnership: Daniel Ortega and His Vexed Relationship with the Nicaraguan Private Sector” (2017) yang dipublikasikan The Yale Review of International Studies mengatakan bahwa wacana menggandeng sektor swasta tersebut direalisasikan Ortega dengan penandatanganan perjanjian bersama penanam modal serta beberapa pebisnis kelas kakap, menjalin komunikasi intens dengan organisasi ekonomi COSEP (Superior Council of Private Enterprise), hingga menghimbau masyarakat—terlebih pendukung Sandinista—agar tidak menduduki tanah atau properti milik swasta.
Keterbukaan Ortega terhadap swasta punya alasan tersendiri. Cook berpendapat, demi memuluskan jalannya ke kursi presiden, Ortega butuh dukungan dan kepercayaan dari elite bisnis. Kelompok yang terdiri dari para borjuis besar ini, catat Cook, punya pengaruh yang kuat di lingkaran politik pemerintahan sejak era Somoza. Mereka bisa memengaruhi opini publik dan menggaet kepercayaan dunia internasional.
Relasi Ortega dan elite bisnis ini terus berlanjut sampai ia berhasil memenangkan pemilu dan menjabat presiden. Namun, lambat laun, “kemitraan” kedua belah pihak mulai dikritik. Pasalnya, kemitraan itu cenderung menguntungkan kepentingan tertentu, dalam hal ini kelompok elite bisnis. Mereka, contohnya COSEP, memperoleh privilise dan perlahan mempengaruhi pengambilan kebijakan Ortega.
“Alasan utama COSEP telah setuju [bekerjasama] dengan Ortega karena organisasi ini dijanjikan kewenangan tata kelola ekonomi. Ortega memberikan bantuan kepada asosiasi bisnis dan perlakuan istimewa kepada perusahaan-perusahaan tertentu. Dan sebagai imbalannya, mereka diam ketika melihat pemerintahan Ortega menyalahgunakan wewenang,” tulis surat kabar Nikaragua, Confidencial.
Di saat kelompok elite bisnis mendapatkan apa yang mereka inginkan, mengutip Roger Burbach dalam “The Betrayal of the Sandinista Revolution,” masyarakat justru memperoleh sebaliknya. Kebijakan-kebijakan ekonomi Ortega cenderung tak pro-rakyat. Hal ini bisa dilihat kala ia menghapus program penyetaraan pendidikan serta membiarkan gaji para pekerja kesehatan, guru, dan pemerintah tetap di bawah standar.
Selepas duduk di kursi presiden, ambisi Ortega untuk berkuasa secara mutlak pelan-pelan muncul (dan akhirnya tak terbendung). Salah satu contohnya adalah saat Ortega mengubah pasal konstitusi yang melarangnya untuk kembali ikut pemilu. Di Nikaragua sendiri ada aturan yang sudah tertulis jelas: presiden hanya diperbolehkan menjabat dalam kurun waktu dua periode (entah terpisah maupun berurutan).
Namun, Ortega tak terima. Sebagaimana ditulis Ray Walser dalam “Nicaragua’s Presidential Elections: How Daniel Ortega Could Shame Democracy,” Ortega mengambil tindakan-tindakan culas. Ia menggunakan kontrol dan posisinya sebagai presiden untuk menekan Mahkamah Agung agar menghapus larangan itu.
Tekanan Ortega membuahkan hasil. Pada 2009, Mahkamah Agung Nikaragua bersedia menghapus pasal konstitusional yang menghambat upaya Ortega naik tahta. Alasan sang hakim MA kala itu: pembatasan periode untuk jadi presiden sama halnya dengan “melanggar HAM.”
Setelah pasal konstitusi berhasil diintervensi, kali ini giliran pelaksanaan pemilu yang diakali. Bersama Dewan Pemilu Tertinggi (CSE), Ortega menerabas aturan-aturan hukum. Ia merekayasa kecurangan berskala masif dan mencolok selama pemilihan kota 2008 dengan mempengaruhi dan menekan 40 sampai 50 walikota agar menyerahkan suaranya ke lumbung Sandinista.
Tak sebatas itu saja, pelaksanaan pemilu juga jauh dari transparansi. Masih mengutip tulisan Ray Walser dalam “Nicaragua’s Presidential Elections: How Daniel Ortega Could Shame Democracy,” atas desakan Ortega, CSE menghalang-halangi kehadiran LSM pengawas pemilu baik dari dalam maupun luar negeri. Izin birokrasi lembaga-lembaga tersebut digantung tanpa kepastian dan status kerja para peneliti dan aktivis LSM yang sebelumnya bersifat “pengamatan” diubah jadi “pendampingan.”
Ketika lembaga dan pelaksanaan pemilu sudah berada di genggaman, Ortega lantas menyingkirkan lawan-lawannya yang dinilainya punya potensi besar untuk menang. Caranya? Mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi syarat keikutsertaan dalam pemilu, seperti yang dialami Sandinista Renovation Movement (SRM)—partai pecahan FSLN yang berdiri pada 1995 dan berisikan mereka yang muak dengan kepemimpinan Ortega.
Walhasil, kombinasi tiga hal tersebut telah membuat Ortega menang pemilu (2011 & 2016) tanpa halangan berarti. Bahkan, dalam pemilihan terakhir, Ortega yang berpasangan dengan istrinya, Rosario Murillo, sukses menyikat 72,5% suara. Jumlah itu begitu mencolok dibandingkan lawannya, Maximino Rodriguez, dari Liberal Constitutionalist Party (PLC) yang hanya memperoleh 14,2% suara.
Ortega tak ragu untuk menyikat siapapun yang tak sependapat dengan kebijakan pemerintah. Bermodalkan dukungan aparat (tentara dan polisi) yang sudah berada di bawah pengaruhnya, Ortega membungkam serikat pekerja, gerakan pro-aborsi, dan para demonstran seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir di Nikaragua.
Pada akhirnya, Ortega adalah ironi. Empat dekade silam, ia dan gerakan Sandinista yang terdiri atas massa perkotaan, tani, buruh, sampai intelektual dielu-elukan sebagai pahlawan setelah berhasil menggulingkan rezim Somoza yang brutal. Revolusi tersebut seketika mengubah nilai-nilai sosial yang ada. Menyediakan harapan sekaligus visi kehidupan baru yang berlandaskan keadilan sosial dan ekonomi.
Tapi, Revolusi 1979 tinggal prasasti. Sekarang, Ortega tak sedang membangun kehidupan demokratis yang berkeadilan, melainkan rezim otoriter, korup, dan represif. Upaya-upaya yang dia lakukan untuk mempertahankan kekuasaan justru mengkhianati warisan Revolusi Sandinista.
Dan, tak ada lagi yang mengelu-elukan namanya sebagai “Commandante Daniel.”