Menuju konten utama

Ketika Jaksa Jadi "Centeng" Proyek Infrastruktur

Para jaksa mendapat tugas baru sebagai pengawal dan pengaman proyek infrastruktur pemerintah mulai dari pusat hingga daerah. Tujuannya, meminimalisir terjadinya penyelewengan. Namun, keterlibatan para jaksa di dalam berbagai proyek pembangunan justru dikhawatirkan memunculkan konflik kepentingan.

Ketika Jaksa Jadi
Potret udara pembangunan halan layang khusus jalur bus transjakarta Ciledug-Tendean di kawasan Ciledug, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - "Proyek ini dikawal Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Tim Pengawal dan Pengaman Pembangunan Pemerintah Daerah (TP4D)”. Begitu bunyi spanduk berwarna hijau muda, berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter yang terpasang di bawah salah satu pilar kontruksi jalan layang khusus Bus Transjakarta koridor XIII rute Ciledug-Tendean. Tepatnya di depan apartemen Kebayoran Icon.

Tak hanya di depan apartemen Kebayoran Icon, di depan Polsek Kebayoran Baru, spanduk yang mengabarkan bahwa proyek yang sama dikawal Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, juga terpampang mencolok. Ukurannya lebih besar dengan panjang sekitar 20 meter, berlatar belakang warna bendera merah dan putih.

Para jaksa di negeri ini agaknya memang mendapat tugas baru. Kini, mereka tak hanya berkonsentrasi terhadap tugas utama di bidang yudisial seperti melakukan penuntutan, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, atau melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mereka kini dilibatkan secara langsung dalam pelaksanaan sebuah proyek, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten dan kota. Tugas mereka menjadi pengawal dan pengaman berbagai proyek pembangunan.

Tugas baru bagi para jaksa muncul setelah terbitnya keputusan Jaksa Agung HM Prasetyo nomor: KEP-152/A/JA/10/2105 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan RI, pada 1 Oktober 2015. Landasan utama pembentukan TP4 tak lain Instruksi Presiden Jokowi Nomor 7 tahun 2015 tentang “Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi” yang diterbitkan 6 Mei 2015.

Sementara tujuan TP4 tak lain mengawal dan mengamankan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan. TP4 terdiri dari TP4 Pusat (TP4P) yang berkedudukan di Kejaksaan Agung, TP4 Daerah (TP4D) di Kejaksaan Tinggi dan TP4D di Kejaksaan Negeri.

Guna menindaklanjuti KEP-152 tersebut, empat hari kemudian, keluar Instruksi Jaksa Agung Nomor Ins-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan dan Pelaksanaan Tugas TP4P dan TP4D. Pertimbangan keluarnya Instruksi 001 itu, salah satunya adalah upaya mencegah timbulnya penyimpangan dan kerugian negara.

Melalui Instruksi 001 itu, tugas mengawal dan mengamankan proyek pembangunan di tingkat pusat dipasrahkan kepada Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (Jamintel), Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), serta Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Ketiganya bertugas sebagai pengarah serta pengendali pelaksanaan TP4P. Termasuk menugaskan personel di bawahnya untuk terlibat dalam TP4P. Juga menugaskan personelnya untuk memperkuat TP4D untuk tingkat provinsi.

Sedangkan untuk kabupaten atau kota, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) didaulat sebagai pengarah dan pengendali. Kajari lah yang menugaskan personel jaksa di bawahnya untuk terlibat di dalam TP4D di wilayah masing-masing.

Pada Agustus 2015 atau dua bulan sebelum keluarnya Keputusan-152, Jaksa Agung HM Prasetyo telah mengabarkan kepada wartawan tentang rencana pembentukan TP4P dan TP4D. Pembentukan tim tersebut sebagai jawaban atas kekhawatiran para pejabat di daerah bakal dipidanakan jika salah memanfaatkan anggaran dari pusat untuk wilayahnya. Akibatnya, penyerapan anggaran pemerintah menjadi rendah dan pembangunan pun tersendat.

Penjelasan lebih rinci disampaikan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kejagung, Muhammad Roem, yang menyatakan bahwa pembentukan TP4P dan TP4D memang disebabkan rendahnya penyerapan anggaran akibat kekhawatiran para kepala daerah.

“Kita mau merubah stigma itu, pejabat jangan takut. Sehingga kita perlu kawal, kita perlu amankan pembangunan dan pemerintah. Pejabatnya takut dikriminalisasi lah, takut disidik lah. Makanya dibentuk TP4,” kata Roem kepada tirto.id, di ruang kerjanya, Kamis (27/10/2016).

Pembentukan TP4P maupun TP4D sebenarnya juga tekait erat dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Inpres yang memerintah pejabat, mulai dari para menteri, Jaksa Agung, Kapolri, hingga bupati dan walikota agar mendukung proyek strategis nasional.

Sebagai catatan, pada 8 Januari 2016, Presiden Jokowi memang mengeluarkan dua keputusan penting. Selain Inpres Nomor 1 Tahun 2016, juga Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang menyebut adanya 225 proyek yang tersebar di seluruh negeri.

“Ini khusus sebenarnya kepada Inpres Nomor 1 tahun 2016, pelaksanaan proyek strategis. Jadi supaya proyek nasional itu jalan sesuai progresnya. Kedua, kalau progress itu jalan, berarti menyerap anggaran. Kemudian yang ketiga, pemanfaatan impact-nya kepada masyarakat,” katanya.

Infografik HL Jasa Mandor Proyek

Seperti Jadi Centeng Proyek

Ikhtiar meminimalisir terjadi penyelewengan dalam berbagai proyek pemerintah patut diapresiasi. Namun, melibatkan para jaksa sebagai pengawal dan pengaman proyek pemerintah bisa memunculkan banyak masalah .

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono, niat Kejaksaan Agung untuk mencegah proyek-proyek pemerintah diselewengkan oknum yang tak bertanggung jawab sebenarnya cukup baik. Namun, ketentuan baru itu tetap berpotensi memunculkan persoalan baru.

"Di mana posisi Jaksa Agung ketika terjadi kasus penyelewengan dalam proyek yang dikawal? Artinya akan menjadi masalah serius jika jaksa masuk TP4P, karena seakan-akan menjadi centeng pembangunan proyek infrastruktur," kata Supriyadi kepada tirto.id, di Jakarta, Kamis (27/10/2016).

Maksud Supriyadi, para jaksa justru dikhawatirkan bakal tutup mata jika terjadi penyelewengan di dalam proyek yang sedang dikawalnya. "Bisa saja, dia (Jaksa) menahan diri sehingga tidak ada penyidikan terhadap proyek tersebut," katanya.

Menurut Supriyadi, sebenarnya untuk fungsi pengawasan proyek pembangunan infrastruktur, pemerintah harusnya memaksimalkan peran inspektorat di masing-masing kementerian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Jadi bukan menggunakan Jaksa Agung sebagai penuntut dalam mengawal atau pengamanan proyek tersebut,” katanya.

Pendapat hampir sama disampaikan Khairul Fahmi, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas. Berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, khususnya pada pasal 34 disebutkan bahwa kejaksaan bisa memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Memberi pertimbangan hukum, menurut Khairul, merupakan fungsi kejaksaan jika ada instansi pemerintah yang meminta pertimbangan. Misalnya di dalam sebuah proyek pemerintah, sebuah instansi pemerintah meminta pertimbangan agar pelaksanaan proyek tak menyalahi aturan perundangan.

“Bukan mengarahkan berjalannya sebuah proyek, itu sudah turun ke pelaksanaan teknis proyek. Jadi nggak ada urusan jaksa di situ. Masa jaksa ikut mengendalikan pelaksanaan proyek,” katanya kepada tirto.id, Jumat (28/10/2016).

Tak hanya itu, Khairul bahkan mempertanyakan instruksi Jaksa Agung yang melibatkan Jampidsus dalam TP4P. Sebab tugas utama Jampidsus adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penutupan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksaan putusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya. Masuknya Jampidsus dalam TP4P bakal memunculkan konflik kepentingan.

Fungsi memberi pertimbangan oleh Kejaksaan Agung biasanya justru diberikan oleh Jamdatun atau Jamintel. "Jadi kalau dia (Jampidsus) sudah masuk ke sana (TP4P), lalu bagaimana mau menindak jika nanti ada indikasi terjadi korupsi atau penyelewengan kewenangan. Masa Jampidsus sebagai penegak hukum, lalu ikut pula sebagai pengarah dan pengendali TP4P? Nggak mungkin kan, dia pengarah dan pengendali TP4P lalu dia akan bertindak," kata Khairul.

Dengan begitu, upaya Jaksa Agung menindaklanjuti harapan Presiden Jokowi agar menjadi garda terdepan pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan membentuk TP4, agaknya justru bisa mengganggu tugas dan fungsinya.

Baca juga artikel terkait JAKSA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho