Menuju konten utama

Kesia-siaan Promosi Wisata Indonesia ke Venezuela yang Masih Krisis

Ratusan ribu warga Venezuela memang pergi ke luar negeri. Bukan jadi turis, tapi pengungsi yang sayang perut, nyawa, dan sanak saudara.

Kesia-siaan Promosi Wisata Indonesia ke Venezuela yang Masih Krisis
Promosi Wonderful Indonesia di Kereta bawah tanah Venezuela atau biasa disebut Metro Caracas. FOTO/Dok. Dubes RI untuk Venezuela

tirto.id - Dua jempol. Demikian gestur yang diberikan Menteri Pariwisata Arif Yahya untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Caracas, yang berhasil melobi pemerintah setempat untuk menampilkan merek promosi wisata Wonderful Indonesia di badan kereta bawah tanah di Kota Caracas, Venezuela.

Desain logo yang mengandung beragam warna akan terlihat mencolok selama tiga bulan ke depan untuk dua juta orang yang lalu lalang empat lines dan 22 stasiun. Gambar-gambarnya mewakili sejumlah ikon pariwisata di Indonesia. Antara lain penari Bali, Taman Laut Bunaken, Candi Prambanan, Pulau Komodo, Candi Borobudur, dan lain-lainnya.

Dikutip laman resmi Kementerian Pariwisata RI, Menpar amat mengapresiasi hasil kerja keras KBRI Caracas ini mengingat anggarannya sebenarnya terbatas. Pemasangan logo di sarana transportasi publik sejak tahun 1983 itu dilaksanakan pada Jumat (13/4/2018) dan juga dihadiri oleh pejabat Caracas dan perwakilan kementerian kebudayaan Venezuela.

Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar Guntur Sakti mengatakan Indonesia memang punya daftar negara-negara yang jadi “potential market” sebab menyumbang turis dalam jumlah besar. Misalnya Cina, India, Singapura, dan beberapa negara di Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Jika tidak masuk daftar, promosi mesti dilakukan, sebagaimana pesan Menteri Yahya Arif kepada seluruh KBRI.

“Nah promosi di Caracas setidaknya akan memberikan kesadaran kepada masyarakat Venezuela untuk tahu tentang Indonesia. Aware dulu tentang Indonesia. Setelah itu diharapkan muncul ketertarikan. Setelah ketertarikan, muncul aksi, yakni memutuskan untuk melihat Indonesia,” katanya melalui sambungan telepon, Selasa (17/4/2018).

Persoalannya, Venezuela sedang mengalami krisis mendalam dalam berbagai segi: politik, ekonomi, sosial, hukum dan keamanan. Kenyataan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini menimbulkan kritik: tepatkah sasaran kebijakan menghabiskan dana untuk promosi di negara yang sedang bangkrut?

Menurut laporan terbaru Reuters, Rabu (11/4/2018), inflasi Venezuela di tiga bulan pertama tahun 2018 melesat di kisaran 454 persen. Sejak 12 bulan terakhir, menurut otoritas setempat, inflasi tahunannya mencapai 8.900 persen. Inflasi bulan Maret kemarin 67 persen. Meski turun dari angka 80 persen dari bulan sebelumnya, masa depan ekonomi Venezuela masih tergolong suram.

Krisis ekonomi ini disebut para analis sebagai yang terburuk dalam sejarah Venezuela. Kontraksi PDB nasional dan per kapita antara 2013 dan 2017 tercatat lebih parah daripada yang dialami AS selama Depresi Besar, atau dari Rusia, Kuba, dan Albania usai kejatuhan komunisme.

Venezuela meratapi ini sebagai dampak dari jatuhnya harga minyak, padahal ekspor komoditi itulah yang jadi pemasukan mayoritas negara. Ditambah sejumlah faktor lain, termasuk korupsi, dampak krisis terasa ke hampir seluruh segi kehidupan mayoritas warga Venezuela, terutama kalangan menengah ke bawah.

Meningkatnya pengangguran mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan militan yang ingin mengubah sistem politik dan model ekonomi. Perselisihannya kian tajam hingga mengobarkan aksi persekusi kepada lawan politik. Warga sipil yang tak tahu apa-apa kerap jadi korban

Kelangkaan pangan menggejala, di samping kelangkaan barang kebutuhan pokok lainnya. Untuk sesuap nasi, orang-orang rela melakukan apa saja. Kriminalitas kemudian turut merajalela, dan menyingkirkan rasa aman di antara para warga.

Malnutrisi meningkat terutama di kalangan anak-anak. Pada 2009 rasio berat badan rendah terhadap tinggi badan balita Venezuela di kisaran 3,2 persen. Pada Agustus 2017 angkanya naik menjadi 15,5 persen. Orang sakit berbondong-bondong ke rumah sakit, namun tak mendapat pelayanan yang optimal sebab krisis juga melumpuhkan pelayanan kesehatan.

Menanggapi ini Guntur hanya mengulangi penjelasan bahwa yang disorot sekali lagi soal apresiasi atas usaha dan semangat KBRI Caracas dalam mengenalkan daya tarik Indonesia. Artinya, terlepas dari persoalan bahwa Venezuela bukan negara kategori “potential market” atau sekarang masih terjerat krisis multi-dimensi, yang penting promosi.

“Yang menilai silakan menilai. Kritik wajar. Tapi konteksnya hari ini kita di Kemenpar tetap memberikan dukungan dan apresiasi,” kata pria yang berkantor di Kemenpar sejak akhir Februari itu.

Djoko Wijono selaku Ketua Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (Puspar UGM) punya pendapat yang lebih tegas. Ia sebenarnya tak mempermasalahkan jika promosi dilakukan sebelum krisis terjadi. Namun, jika dijalankan sesudahnya, seperti ke Venezuela yang krisisnya makin parah dalam beberapa tahun terakhir, promosi itu tergolong sia-sia.

“Bagi saya ya useless, tidak berguna. Tidak ada hasil. Apa yang mau ditarik ke Indonesia? Barangkali juga sudah terlanjur melibatkan pihak ketiga sehingga harus dijalankan promosinya. Mau nggak mau, sama-sama terpaksa, walaupun tetap useless. Duitnya hilang,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Selasa (17/4.2018).

Krisis ada banyak tipe, kata Djoko. Ada yang cuma terjadi di tingkat elite politik, dan belum tentu berdampak signifikan pada ekonomi rakyat—termasuk kemampuan berlibur ke luar negerinya. Jepang, misalnya, memang sedang mengalami gejolak di tubuh pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. Namun, rakyatnya tetap punya modal untuk berwisata ke negara tetangga.

Venezuela masuk dalam kategori krisis menyeluruh, baik elite pemerintahan maupun masyarakat di akar rumput. Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja mereka kesusahan, apalagi memenuhi kebutuhan tersier seperti berlibur ke Indonesia—negara yang secara geografis berjarak amat jauh, hingga harus mengelilingi setengah bumi untuk mencapainya.

Ratusan ribu warga Venezuela memang bepergian ke luar negeri, khususnya negara-negara tetangga di Amerika Latin. Tapi bukan berstatus sebagai turis, melainkan pengungsi. Awal Maret kemarin Anthony Faiola melaporkan untuk Washington Post bahwa eksodus itu disebut setara dengan migrasi warga Suriah ke Eropa Barat pada tahun 2015 atau orang Rohingya ke Bangladesh.

Sekitar 250.000 pengungsi Venezuela telah menyeberang ke Kolombia sejak Agustus tahun lalu, dengan tingkat kedatangan 3.000 orang per harinya, hingga saat ini. 3.000-an tentara disiagakan pemerintah Kolombia di perbatasan negara. Sikap serupa juga ditunjukkan pemerintah negara tujuan mengungsi seperti Brazil, Peru, Chile, Argentina, Ekuador, serta negara-negara di Amerika Tengah.

Venezuela sudah tidak aman serta tidak layak lagi untuk ditinggali, kata para pengungsi. Mereka kelaparan, bisnisnya bangkrut, menganggur, dan terancam nyawanya oleh konflik horizontal maupun dari angkatan bersenjata pemerintah. Bak melarikan diri dari kawasan perang, meski di negara tujuan juga tak disukai oleh warga asli sebab dianggap membuat onar atau jadi pelaku pencurian.

Djoko memberikan perspektif lain, bahwa tidak semua yang melarikan diri dari Venezuela adalah rakyat miskin yang sedang tertekan. Pendapat ini benar, namun jumlah warga kelas ekonomi atas yang dimaksud juga berjumlah jauh lebih sedikit. Kondisinya pun kontras sebab golongan ini punya modal untuk terbang ke Eropa atau Amerika, lalu tinggal dalam nuansa yang nyaman bak sedang liburan.

Pada Mei tahun yang lalu muncul kehebohan di sebuah restoran di Miami, Amerika Serikat. Pusatnya ada pada mantan menteri Venezuela Euginio Vasquez yang sedang sarapan bersama anaknya, lalu bertemu dengan warga pendatang asal Venezuela lain, Javier Fungairino.

Fungairino menumpahkan kemarahan pada Vasquez yang dinilai tak tahu diri: hidup nyaman di luar negeri sementara rakyat Venezuela sedang menderita. Situasinya makin panas sebab cemoohan juga datang dari warga Venezuela lain yang sedang berada di lokasi. Ada yang merekam kejadian ini, lalu diunggah dan viral di media sosial.

Konfrontasi terhadap pejabat aktif maupun pensiunan yang hidup glamor, plus anak-anaknya, makin sering terjadi. Baik yang sedang menghadiri opera di New York, atau berjalan-jalan di pantai Australia, atau sedang berada di kawasan perbelanjaan di Swiss.

“Aku tahu itu dia. Aku tak pernah melakukan kekerasan fisik. Hanya menaikkan volume suara. Mereka benci saat orang-orang protes. Mereka pikir mereka sangat berkuasa sehingga tidak pernah terbiasa dengan konfrontasi semacam itu,” kata Fungairino sebagaimana dikutip US News yang melansir Associated Press.

Infografik Krisis Berlanjut kabur

Pemerintahan Presiden Nicholas Maduro masih pusing mencari upaya penanggulangan krisis. Mereka paham Venezuela harus keluar dari ketergantungan pada minyak. Januari lalu, kembali mengutip Washington Post, rencana terbaru pemerintah terkuak: mengoptimalkan sektor pariwisata.

“Turisme adalah minyak yang tak akan pernah habis,” kata Menteri Pariwisata Venezuela Marleny Conotreras.

Upaya ini dianggap aneh serta menuai ketidaksetujuan di kalangan pelaku industri pariwisata di Venezuela. Krisis membuat hotel-hotel kesusahan memenuhi kebutuhan barang impor. Listrik lebih sering mati. Fasilitas hotel dibiarkan rusak sebab biaya perbaikan mahal atau jasanya susah didapat. Biaya menginap juga meningkat tajam, dan otomatis menjauhkan para turis.

Salah satu pemilik hotel di Kota Chichiriviche mengungkapkan masalah utama lain, yakni keamanan. “Turis asing tak akan datang ke sebuah negara jika kemungkinannya bisa terbunuh”, katanya.

Turis-turis dari AS dan Eropa kapok datang ke hotelnya sebab suatu kali pernah dirampok oleh enam orang yang bertopeng dan bersenjata. Krisis juga membuat orang-orang Venezuela pura-pura menginap di hotel hanya untuk mencuri lampu kamar.

Negara yang aman adalah syarat utama tumbuhnya sektor wisata, kata Djoko. Ia menganalogikan orang tak akan datang berwisata ke Jakarta jika sedang banjir atau ada aksi teror. Perjalanan wisata selalu bisa ditunda. Ia mencontohkan aksi teror di daerah Thamrin yang beberapa waktu lalu sempat mengguncang keamanan ibukota—meski untungnya hanya sebentar.

“Orang berwisata tujuannya untuk refreshing. Setidaknya tidak teracam nyawanya,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf