tirto.id - Amerika Serikat baru saja menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro, menyusul penculikan beberapa tokoh oposisi pasca pemilihan anggota Majelis Konstituen yang akan menyusun konstitusi baru.
Senin (31/7), nama Maduro dimasukkan ke dalam daftar para pejabat Venezuela yang dikenai sanksi, yang sejatinya akan membekukan aset-aset Maduro di wilayah yang berada dalam yuridiksi AS. Menurut sanksi tersebut, warag AS dilarang melakukan transaksi keuangan dengan Maduro.
Sanksi juga disambut oleh sejumlah negara amerika latin seperti Argentina, Brazil, dan Panama.
Baca juga:
Kepada Washington Post, Asdrúbal Oliveros, direktur firma konsultasi Ecoanalítica di Caracas mengatakan, “sanksi hari ini sekadar simbolik saja. Saya tidak berpikir Maduro punya aset di AS.” Menurut Oliveros, sanksi ini ini membuat Maduro berada dalam daftar yang sama dengan pemimpin Korea Utara dan Suriah.
Sulit mengukur bagaimana sanksi ini akan mempengaruhi pertarungan di jalanan antara pemerintah Maduro di satu kubu dan partai-partai oposisi di kubu lainnya dalam setahun terakhir. Protes tidak saja datang dari kubu oposisi, tapi juga membuahkan protes tandingan yang digerakkan oleh para pendukung Maduro.
Mei lalu, para demonstran membakar hidup-hidup seorang pendukung Chavez. Pada awal Mei, tercatat 42 orang meninggal sepanjang enam minggu; 15 kematian diakibatkan oleh aksi protes, 5 korban lagi akibat represi aparat. Pada 11 Juli, jumlah korban sejak April naik hingga 115 orang.
Venezuelanalysismencatat terdapat 14 tewas di tangan aparat, 21 tewas diserang oposisi, 8 tewas dalam bentrok dengan oposisi, 14 tewas dalam penjarahan, 3 korban tewas diserang demonstran pro-pemerintah, 3 tewas kecelakaan. Sementara itu, terdapat 52 korban tewas yang belum dikonfirmasi penyebabnya.
Baca juga:
Juni lalu, Oscar Alberto Perez, seorang bekas polisi yang diidentifikasi berafiliasi dengan oposisi, membidik gedung-gedung pemerintah dari udara. Helikopter yang dikemudikan Perez melontarkan granat ke gedung Kementerian Kehakiman dan Mahkaman Agung. Tidak ada korban dalam peristiwa ini.
Efek Krisis Minyak
Ekonomi Venezuela sebagian besar bergantung pada sektor migas, yang menyumbang lebih dari 50 persen dari PDB negara, selebihnya dari industri berat. Pertanian hanya menyumbang 3 persen dari PDB dan 95% ekspor Venezuela berasal dari sektor migas.
Baca juga:
Jatuhnya harga minyak dunia sejak 2014 adalah tamparan keras untuk Venezuela. Pada 2016, harga minyak anjlok pada titik terendah selama 12 tahun terakhir. Inflasi naik secara dramatis mencapai 141 persen pada September 2015 dan 800% pada 2016. Nilai tukar mata uang Bolivar terhadap dolar beranjak naik dar1 175 bolivar untuk $1 menjadi 865 bolivar. Selama setahun terakhir, bahan pangan pokok seperti susu, telur dan tepung sulit ditemukan di pasar. Para distributor sembako diduga keras menyembunyikan stok sembako untuk dijual ke Kolombia.
Dilansir Al-Jazeera, perusahaan swasta terbesar Venezuela dan produsen pangan Empresas Polar SA menyatakan, “kelangkaan sembako adalah akibat dari serangan terhadap industri, pengambilalihan lahan pertanian oleh pemerintah, pembekuan harga, dan larangan pembelian mata uang asing.”
Pada Mei 2016, Maduro mengumumkan keadaan darurat selama 60 hari yang berakhir efektif pada 26 Juli. Militer dan komite-komite lokal ditugaskan untuk mendistribusikan dan menjual sembako.
Kendati perencanaan ekonomi yang disusun pemerintahan Chavez telah disahkan pada 2013, implementasi di lapangan menemui banyak kendala. Selain sektor migas, proposal Chavez ini menyasar penguatan sektor industri pangan dan manufaktur.
Namun, korupsi di tubuh pemerintahan, kesalahan Maduro membuat konsesi dengan elit-elit industri (banyak di antaranya berafiliasi dengan oposisi), serta faksionalisasi dalam PSUV (partai Maduro) ditengarai sebagai penghambat utama program-program Chavez.
Oposisi Makin Liar
Mayoritas protes oposisi terjadi di pemukiman kelas menengah dan atas, yang sejak awal menjadi basis utama para penentang kebijakan-kebijakan Chavez. Namun demikian, aksi-aksi para demonstran nampaknya juga mulai berupaya menggerakkan basis-basis pendukung Maduro, yakni masyarakat kelas bawah yang tinggal di kantung-kantung kumuh kota.
Dalam “Where are the Barrios? Protest and History in Venezuela” yang diterbitkan oleh jurnal Cultural Anthropology (2015), Alejandro Velasco menjelaskan bahwa kelas-kelas termiskin Venezuela tidak bergabung dalam protes-protes anti-pemerintah lantaran takut diperalat oleh oposisi serta kehilangan keuntungan yang telah mereka peroleh sejak Chavez terpilih sebagai presiden pada 1999. Lapisan masyarakat ini pula yang memenuhi jalan-jalan di Caracas dan menyelamatkan Chavez dari kudeta pada 2002.
Oposisi pun terbelah. Faksi moderat diisi oleh sejumlah mantan pendukung Chavez yang mengkritik korupsi yang dilakukan sejumlah aparat pemerintahan Maduro. Adapun oposisi kedua—yang lebih radikal dan mengambil kepemimpinan dalam protes-protes jalanan—adalah politisi-politisi sayap kanan yang menghendaki kejatuhan Maduro dan berakhirnya Chavismo, yakni ideologi dan praktik sosialis yang diperkenalkan Chavez.
Faksi terakhir ini adalah perwakilan oligarki, bagian dari kelas yang pundi-pundi bisnisnya disikat oleh pemerintahan Chavez dan menyaksikanprivilesenya rontok seiring meningkatnya partisipasi masyarakat kelas bawah dalam politik.
Pada Oktober 2015, skandal pembicaraan tokoh oposisi Lorenzo Mendoza, bos Empresas Polar, dengan Ricardo Hausmann, seorang profesor ekonomi Harvard yang pernah menjabat menteri dalam pemerintahan Carlos Andres Perez yang pernah mengalami percobaan kudeta Chavez pada 1992. Dalam komunikasi via telepon itu, Hausmann menyatakan Venezuela membutuhkan $40 miliar- $50 miliar dari IMF untuk mengatasi krisis. Hausmann juga menyatakan bahwa diundang oleh IMF untuk “membicarakan Venezuela.”
“Tidak ada revolusi tanpa kontrarevolusi,” tulis Greg Grandin di The Nation. “Revolusi pasti memicu reaksi internasional. Pada akhirnya, ia harus mengobrak-abrik hirarki domestik, sekaligus hegemoni dominan dalam sistem yang berlangsung antar-negara.” Grandin, sejarawan Universitas New York, banyak menulis tentang sejarah pergolakan politik di Amerika Latin, dari era kolonialisme, dekolonisasi, revolusi sayap kiri, kudeta militer, hingga intervensi Washington.
Kemenangan spektakuler dalam pemilu parlemen pada akhir 2015 kembali menggenjot morale oposisi untuk menyingkirkan Maduro dan para Chavistas (pendukung Chavez) dari pemerintahan.
Dalam perkembangan politik Venezuela belakangan, derajat represi terhadap demonstran meningkat. Pemerintah dituding mengambil langkah otoriter. Namun, sebagaimana yang diungkapkan kolumnis The Nation Greg Grandin, para pengamat terbelah dalam mengevaluasi apakah tindakan yang diambil pemerintah merupakan respons terhadap aksi-aksi jalanan oposisi, atau sejak awal melekat dalam gagasan dan praktik Chavismo itu sendiri.
Aksi-aksi liar yang dikerahkan oposisi menyasar fasilitas publik, termasuk layanan kesehatan. Ditambah serangan terhadap aparat kepolisian, serangan-serangan ini diduga dirancang untuk memancing derajat represi yang lebih besarn lagi serta menumbuhkan kesan bahwa pemerintahan sama sekali lumpuh, tak berfungsi, kecuali untuk merepresi protes-protes jalanan.
Menurut Grandin, salah satu faktor dalam internal pemerintah yang menyebabkan meningkatnya agitasi oposisi adalah tidak pernah ada hukuman serius yang dijatuhkan kepada pihak-pihak yang berusaha mendongkel Chavez. Vonis hukuman puluhan tahun memang dijatuhkan kepada para arsitek kudeta 2002, namun tidak untuk para pelaku yang terlibat dalam aksi-aksi pembunuhan terhadap pendukung Chavez, sampai-sampai otoritas peradilan Venezuela diprotes oleh keluarga korban.
Alih-alih otoriter, pemerintahan Chavismo justru cenderung lunak terhadap lawan-lawan politiknya. “Di luar retorik-retorik populis Chavez yang kasar menyerang oligarki, kenyataannya pemerintahan Chavez mampu menundukkan lawan-lawannya dengan menyerap mereka ke struktur politik dan ekonomi, hanya dengan represi yang terbilang kecil,” ungkap Grandin.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani