tirto.id - Mantan Wakil Ketua Dewan Pers 2007-2010 Sabam Leo Batubara mengkritik keras sebagian pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini sedang dibahas oleh DPR RI.
Leo menentang adanya ketentuan yang mengatur pidana atas perbuatan menghina presiden atau wakil Presiden dan pemerintah dalam RKUHP.
Berdasar draf RKUHP versi rilisan 2 Februari 2018, ketentuan khusus tentang penghinaan ke Presiden dan Wakil Presiden diatur oleh pasal 238 dan 239 yang memuat ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Sedangkan pasal 385 ayat 1 dan 386 mengatur pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Menurut Leo, ketentuan seperti itu lebih mengancam kebebasan warga negara dibandingkan KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda. Dia menilai pasal-pasal itu bertentangan dengan demokrasi dan perlindungan hak warga negara dalam berpendapat yang dijunjung tinggi oleh konstitusi Indonesia.
Apalagi, Leo mencatat Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di KUHP, pada 2006. MK sudah membatalkan 134, 136 dan 137 KUHP dengan alasan ketentuan itu menegasikan prinsip kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi serta kepastian hukum.
"RUU KUHP ini sebuah kemunduran di era demokrasi dan keterbukaan informasi," kata Leo dalam diskusi membahas RKUHP di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, pada Kamis (15/2/2018).
Leo juga mengecam keberadaan pasal-pasal di RKUHP yang bisa mengkriminalisasikan pers. Sebab, menurut Leo dalam ketentuan tersebut, setiap orang yang menyiarkan berita yang tak pasti, tak lengkap atau menimbulkan keonaran dapat diancam pidana.
Berdasar draf RKUHP versi rilisan 2 Februari 2018, ketentuan pidana yang berkaitan dengan pemberitaan terdapat pada pasal 285 ayat 1 dan 2 serta pasal 305 huruf (d).
Leo menegaskan ketentuan itu bertentangan dengan dengan UU Pers yang bersifat khusus atau lex specialis. Dia mengingatkan, UU Pers sudah mengatur mekanisme penyelesaian masalah pemberitaan.
Berdasar UU Pers, Dewan Pers berwenang menentukan sebuah berita bisa dianggap memuat perbuatan pidana atau hanya pelanggaran kode etik jurnalistik, atau justru tidak bermasalah. UU Pers juga mengatur hak jawab dan hak koreksi sebagai solusi penyelesaian sengketa pemberitaan.
"Pada 1999, lahir UU Kebebasan Pers (UU Pers) yang memerdekakan pers di Indonesia. Bayangkan, (UU Pers) ini yang membuat anggota DPR hasil pemilu Orde Baru. Saya sedih karena DPR dan pemerintah hasil pemilu 2014, pemilihan demokratis, justru mengalami kemunduran," kata Leo.
Dewan Pers juga sudah mengeluarkan pernyataan mengenai keberadaan sejumlah pasal di RKUHP yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan mengkriminalisasi wartawan.
Anggota Dewan Pers, Nezar Patria meminta DPR RI berhati-hati dalam merumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan beropini dan berekspresi. Dia mengimbuhkan DPR juga harus mencegah kemunculan pasal-pasal karet dalam draf RKUHP yang justru akan mengekang kebebasan pers.
“Kami berharap agar wakil rakyat itu mendengar sejumlah kritikan dan me-review kembali pasal-pasal yang bisa mengancam kehidupan berdemokrasi,” kata Nezar pada Selasa pekan ini.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers itu mencatat, ada dua poin yang seharusnya diperhatikan oleh DPR dan pemerintah dalam RKUHP ini. Pertama, penyusunan rancangan KUHP ini harus menghargai kebebasan berekspresi. Kedua, perumusan pasal-pasal di draf RKUHP juga perlu mempertimbangkan wilayah yang sudah diatur oleh UU Pers.
“Sebetulnya revisi KUHP itu juga banyak menyasar kebebasan masyarakat sipil, yang mungkin akan terancam oleh aturan-aturan yang sifatnya draconian yang bisa melibas ke sana ke mari,” Nezar menambahkan.
Selain berita bohong yang kriterianya tidak jelas, Nezar juga menyoroti pasal yang mengatur soal fitnah di RKUHP.
“Soal fitnah ini juga sebenarnya sudah menjadi perhatian sejak lama karena pasal ini bisa melebar menjangkau wilayah pers yang sebetulnya diatur oleh UU Pers,” kata Nezar.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom