tirto.id - Desakan agar DPR dan pemerintah mengkaji ulang serta menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus berlanjut. Selain 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, sejumlah pemimpin redaksi (pemred) media massa juga mengkritik pasal yang dinilai mengancam kebebasan pers.
Suwarjono, Pemimpin Redaksi Suara.com mengatakan, dalam draf RKUHP yang dibahas DPR dan pemerintah terdapat dua ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan pers, yaitu: soal berita bohong dan tindak pidana terhadap proses peradilan.
Dalam pasal 285 (draf RKUHP 2 Februari 2018), misalnya, tertulis: "Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II."
Sementara pasal 305 huruf (d)—terkait contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan—tertulis: “Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan."
Menurut Jono, sapaan akrab Suwarjono, pasal terkait berita bohong itu tidak hanya rentan menjadi alat untuk mengkriminalisasi masyarakat dan narasumber, namun juga wartawan yang menulis berita.
“Ini, kan, sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers,” kata dia kepada Tirto, Selasa (13/2/2018).
Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini memberi contoh. Misal seorang wartawan menulis soal tempat perjudian di salah satu daerah, kemudian lokasi perjudiannya pindah tempat. Si pengusaha bisa saja menuduh wartawan menyebarkan berita bohong dan melaporkan wartawan tersebut dengan pasal “karet” sebagai penyebar berita bohong seperti diatur dalam RKUHP.
Menurut Jono, jika pasal tersebut diberlakukan, banyak jurnalis yang bisa dipidana atau dikriminalisasi karena menyiarkan informasi-informasi yang masih dalam proses verifikasi atau kabar-kabar yang berupa indikasi. Pers "dipaksa" untuk membuktikan segalanya seperti -- katakanlah -- aparat kepolisian membongkar sebuah kejahatan.
“Jadi kita [pers] harus membuktikan. Itu hal yang tidak mungkin karena [membuktikan kejahatan] tugas aparat negara. Aparat negara juga bisa saja kongkalikong untuk memenjarakan seseorang dengan menutupi bukti-bukti yang kurang. Ini sangat bahaya,” kata Jono.
Pasal “karet” tersebut, kata Jono, berpotensi menjadi alat mengkriminalisasi jurnalis dan media. “Ini akan lebih berbahaya daripada Orde Baru karena akan menyasar semua, mulai dari media sampai masyarakat. Dan ini ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia,” kata Jono.
Kritik serupa dilontarkan Maryadi (Pemimpin Redaksi VIVA.co.id), Yusro M. Santoso (Pemimpin Redaksi Beritagar.id), Budiman Tanuredjo (Pemimpin Redaksi Harian Kompas), dan Wahyu Dhyatmika (Pemimpin Redaksi Tempo.co). Mereka sepakat persoalan yang menyangkut pemberitaan dan kerja-kerja jurnalistik tidak perlu diatur lagi dalam RKUHP, cukup dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Kita ini profesi yang diakui negara dan UU [Pers]. Sama dengan dokter ada UU Kedokteran, pengacara ada UU Advokat, kedudukannya sama. Jadi kalau ada masalah, menyelesaikannya dengan UU yang melindungi profesi tersebut,” kaya Yusro kepada Tirto, Senin (12/2/2018).
Hal senada diungkapkan Maryadi dan Budiman. Keduanya menyatakan, pasal yang menyangkut kerja-kerja jurnalistik dalam RKUHP tersebut bertentangan dengan UU Pers yang bersifat khusus (lex specialis).
“UU Pers itu, kan, lahir dari reformasi. Jadi kalau KUHP itu bertentangan dengan UU Pers ini, mereka [DPR dan pemerintah] bisa dikatakan mengkhianati amanat reformasi tersebut,” kata Maryadi, kepada Tirto, Selasa (13/2/2018).
Sementara Budiman Tanuredjo menyatakan, mekanisme penyelesaian masalah dalam pemberitaan juga sudah diatur dalam UU Pers. Dalam konteks ini, Dewan Pers yang menentukan apakah satu berita bernilai bohong atau tidak. Ada mekanisme hak jawab atau ralat di sana.
"Yang namanya tulisan itu dijawab dengan tulisan, bukan dengan hukuman. Tidak bisa serta-merta konsekuensinya pidana," kata Budiman.
Pendapat serupa diungkapkan Pemimpin Redaksi Tempo.co, Wahyu Dhyatmika. Menurut dia, UU Pers yang lahir pada 1999 itu sudah cukup baik menjamin kebebasan pers. “Jangan sampai kondisi yang baik ini menjadi terancam dengan adanya regulasi baru,” kata Wahyu saat dihubungi Tirto, Selasa (13/2/2018).
Karena itu, Wahyu menyarankan, agar DPR dan pemerintah memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pihak, sebelum mengesahkan RUU KUHP tersebut menjadi UU. Khusus terkait regulasi yang berkaitan dengan pers ini, kata Wahyu, seharusnya DPR juga melibatkan pihak terkait, seperti Dewan Pers, asosiasi wartawan, dan perusahaan media.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz