tirto.id - Jurnalis adalah salah satu pekerjaan yang rentan ancaman, dan potensi itu semakin tinggi jika Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) disahkan DPR. Ada potensi pemidanaan bagi penulis berita, terutama dalam pasal terkait berita bohong, contempt of court, dan pembukaan rahasia.
Dalam pasal 285 (draf RKUHP 5 Februari 2018) tertulis: "setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II."
Sementara pasal 305 huruf (d)—terkait contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan—tertulis: "mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan."
Terakhir adalah pasal terkait "pembukaan rahasia", yang dimuat di dua pasal. Pertama pasal 494 ayat 1: "setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya, baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III".
Pasal 495 ayat 1: "setiap orang yang memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan tempatnya bekerja atau pernah bekerja yang harus dirahasiakannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III."
Karet dan Selalu karet
Sama seperti pasal-pasal lain yang ditolak oleh banyak kelompok masyarakat sipil, tiga pasal di atas dinilai bermasalah karena tafsirnya yang tidak baku alias "karet".
Misalnya dalam pasal 285. Frasa "mengakibatkan keonaran", kata anggota LBH Pers, Ade Wahyudin, "tidak ada indikatornya."
"Bagaimana dengan berita yang heboh di publik karena banyak pembacanya? Bisa dipidana dong pembuatnya?" kata Ade kepada Tirto, Senin (12/2/2018).
Ada pula frasa "patut diduga" dalam pasal yang sama. Implikasi dari frasa tersebut adalah pengesampingan terhadap proses penyelidikan. "Kalau tiba-tiba setelah proses pengadilan berita itu ternyata benar, kan wartawan tetap harus dicap sebagai tersangka," kata Ade.
Pasal bermasalah berikutnya adalah pasal 305 huruf (d). Menurut Ade, yang karet dari pasal ini adalah tidak adanya penjelasan apa yang dimaksud publikasi yang "tidak memihak kepada hakim". Jika yang dimaksud dalam pasal itu adalah menyimpulkan status hukum sebelum putusan pengadilan, frasanya tidak tepat. Jika maksudnya adalah tidak mempublikasikan pembahasan dalam persidangan, menurut Ade, seharusnya hal itu tidak diatur dalam KUHP.
"Mungkin Mahkamah Agung dan Dewan Pers bisa membuat peraturan tersendiri persidangan yang boleh diliput dan tidak boleh diliput," kata Ade.
Pasal terkait "pembukaan rahasia" malah lebih jauh dari itu. Pasal itu mungkin membuat mutu jurnalistik Indonesia statis karena sangat mungkin menjerat wartawan investigasi—yang kerap bersinggungan dengan informasi rahasia/tidak atau belum diketahui publik.
"Kalau ada wartawan mengungkap korupsi suatu lembaga kan bisa dipidanakan semua itu," kata Ade.
Pasal ini, kata Ade, berkebalikan dengan prinsip keterbukaan informasi publik yang sudah dibakukan dalam Undang-undang karena tidak menjelaskan informasi apa yang dapat dikonsumsi publik dan apa yang tidak. "Jadi, pasal itu hapus saja karena sudah ada UU KIP," jelasnya.
Alasan Penolakan
Anggota tim perumus KUHP, Arsul Sani, tidak menangkap substansi kritik, meski pembahasan soal RKUHP cukup banyak dilansir di pelbagai media massa. Ia misalnya mengatakan bahwa mereka yang menolak sebaiknya juga memberikan argumen, bukan sekadar berkoar-koar.
"Kan saya bilang, boleh enggak mau [menolak rumusan KUHP]. Tapi kasih dong below the line [alasan] mereka itu apa. Harus disampaikan dong below the line mereka itu apa," kata Arsul. Jawaban ini disampaikan Arsul ketika ditanya apa tanggapannya terhadap kritik masyarakat, khususnya yang menyangkut pers.
Padahal, para penolak pasal seperti Ade Wahyudin jelas punya argumen. Hal serupa dikatakan praktisi pers seperti Yusro M. Santoso, kini menjadi Pemimpin Redaksi Beritagar. Katanya, pasal-pasal terkait kerja-kerja jurnalistik dalam KUHP tidak relevan karena sudah ada aturan spesifik (lex specialis) soal itu: UU Pers.
"Kalau segala sesuatu terjadi, kesalahan, apa pun namanyalah terkait tugas-tugas jurnalistik, penyelesaiannya kan sudah ada mekanismenya: mengadu ke Dewan Pers," kata Yusro.
Hal yang sama dikatakan Budiman Tanuredjo, Pemred Harian Kompas. Ia mengatakan bahwa pasal-pasal di RKUHP ini bertentangan dengan UU Pers. Dewan Pers yang menentukan apakah satu berita bernilai bohong atau tidak. Ada mekanisme hak jawab atau ralat di sana.
"Yang namanya tulisan itu dijawab dengan tulisan, bukan dengan hukuman. Tidak bisa serta-merta konsekuensinya pidana," kata Budiman.
Gambaran besar dari pasal-pasal ini, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, adalah bentuk konkret dari kemunduran demokrasi dan dukungan terhadap pers sebagai salah satu elemen kontrol sosial.
"Pasal-pasal itu justru menjadi ancaman baru dan membuat wartawan tidak bisa menjalankan fungsi kontrol sosialnya," kata Manan kepada Tirto.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani