Menuju konten utama

AJI Soroti Ancaman Kekerasan Pada Jurnalis

AJI minta prinsip kebebasan pers harus ditingkatkan dan dilindungi oleh semua pemangku kepentingan untuk terus menerus peduli kepada kemerdekaan pers.

AJI Soroti Ancaman Kekerasan Pada Jurnalis
Ilustrasi. Seorang jurnalis meletakan kartu persnya ketika ikut berunjuk rasa di Medan, Sumatera Utara, Rabu (29/3). Para jurnalis mendesak polisi mengusut tuntas kasus penganiayaan yang dilakukan belasan orang terhadap wartawan iNews TV - Medan, seusai melakukan peliputan gudang diduga meyimpanan semen ilegal. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti banyaknya ancaman kekerasan yang dialami oleh pekerja media. Pada 2016, tercatat 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat apabila dibandingkan pada 2014 dan 2015.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono, di sela-sela kegiatan World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Senin (1/5/2017). Ia mengatakan Hari Kebebasan Pers Sedunia sangat penting karena masih ada ancaman kekerasan terhadap jurnalis.

Karena itu, Menurut Suwarjono, prinsip kebebasan pers harus ditingkatkan dan dilindungi oleh semua pemangku kepentingan untuk terus menerus peduli kepada kemerdekaan pers.

“Prinsip kebebasan pers terutama perlindungan terhadap jurnalis perlu ditingkatkan oleh semua pemangku kepentingan. Isu kebebasan pers tidak hanya disampaikan oleh sekelompok orang tapi oleh semua stakeholder untuk terus menerus bagaimana peduli kepada kebebasan pers,” ujarnya dikutip Antara.

Menurut dia, berdasarkan data lembaga PBB untuk pendidikan dan budaya, UNESCO, sepanjang 10 tahun terakhir, 827 wartawan tewas ketika melakukan tugas. Lokasi-lokasi yang berbahaya, yaitu wilayah Timur Tengah seperti Suriah, Irak, Yaman dan Libya.

Ia mengatakan kekerasan tidak hanya terjadi di level internasional, tetapi juga di Indonesia. Pada 2016, tercatat 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat apabila dibandingkan pada 2014 dan 2015.

“Tahun ini, hingga April, terjadi 21 kasus kekerasan terhadap jurnalis,” kata dia.

Selain itu, terdapat delapan pembunuhan jurnalis yang kasusnya tak terselesaikan.

Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra'is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

"Praktik impunitas (pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman) menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya," kata dia.

Ia mengatakan gelombang kekerasan terhadap jurnalis tidak akan pernah putus selama praktik impunitas masih terjadi di negara ini.

"Karena itu kami mendesak negara mencabut impunitas pelaku kekerasan maupun pembunuhan," tegas dia.

Baca juga artikel terkait ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz