Menuju konten utama

Ancaman Pilar Demokrasi, Aktivitas Jurnalisme Dihalangi

Kekerasan kepada jurnalis yang bekerja meliput aksi damai zikir dan tausiah pada Sabtu, 11 Februari 2012 dinyatakan sebagai ancaman atas kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers yang jelas-jelas mengancam pilar demokrasi.

Ancaman Pilar Demokrasi, Aktivitas Jurnalisme Dihalangi
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Forum Lintas Jurnalis Banyumas Raya, melakukan unjuk rasa mengutuk kekerasan terhadap wartawan di Alun-alun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (4/10). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria.

tirto.id - Kekerasan kepada jurnalis yang bekerja meliput aksi damai zikir dan tausiah pada Sabtu, 11 Februari 2012 dinyatakan sebagai ancaman atas kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers yang dilindungi undang-undang. Selain itu, menghalangi-halangi aktivitas jurnalisme jelas-jelas mengancam pilar demokrasi.

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz menyatakan jurnalis adalah komponen penting demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), sehingga keberadaannya harus dihormati oleh semua pihak.

"Bahkan, di dalam pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dimungkinkan adanya sanksi atas tindakan penghalangan atau penghambat aktivitas tersebut," kata Hafiz, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Minggu, (12/2/2017) seperti dilansir dari Antara.

Menurut dia, harus diakui bahwa kekerasan terhadap jurnalis seringkali terjadi akibat ketidaksukaan atas pemberitaan media dengan alasan yang beragam.

"Penghalangan terhadap jurnalis juga menghalangi publik untuk menerima informasi yang utuh terhadap situasi atau suatu peristiwa," ujarnya pula.

Ia menegaskan semua pihak harus menghargai dan menghormati pemberitaan media sebagai bagian dari iklim demokratis, karena jika tidak setuju dengan konten atau materi pemberitaan, setiap orang diberikan hak untuk membantah atau meluruskannya dengan prosedur yang telah disediakan.

"Seperti menggunakan hak jawab, meminta koreksi, hingga melalui Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia. Prosedur ini yang seharusnya digunakan oleh setiap pihak untuk menyampaikan keluhan atas apa yang diberitakan oleh media massa dan tidak memilih cara penyelesaian sendiri, apalagi dengan kekerasan," ujarnya pula.

Pada sisi lain, kata dia, lembaga-lembaga pengawas media juga seharusnya dapat bekerja independen dan tetap menjaga independensi pers di Indonesia dan memastikan setiap media untuk berpegang pada prinsip jurnalisme profesional.

"Industri media, dengan berbagai macam kepentingannya, harus pula tetap mendorong independensi dan menggunakan prinsip dan etika jurnalistik," ujar Hafiz.

Karena itu, menurut dia, dalam situasi demikian negara melalui perangkat penegakan hukum harus memastikan setiap awak media di lapangan dapat bekerja secara aman, tanpa ada kekerasan dari pihak manapun sebagai bagian dari hak yang dijamin melalui konstitusi dan undang-undang.

Sebelumnya, terjadi kekerasan terhadap reporter dan kamerawan jurnalis televisi. Di antara mereka adalah reporter dan jurnalis Metro TV yaitu Desi Fitriani dan Ucha Fernandez. Korban kekerasan juga dialami kamerawan Global TV atas nama Dino.

Kekerasan tersebut didapati saat meliput Aksi 112 di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (11/2).

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP WARTAWAN atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Hukum
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh