tirto.id - Dewan Pers mengeluarkan pernyataan terkait sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan kriminalisasi wartawan. Setidaknya ada dua poin yang menjadi sorotan, yaitu soal berita bohong dan tindak pidana terhadap proses peradilan.
Anggota Dewan Pers, Nezar Patria mengatakan, pihaknya telah mencermati dua hal tersebut dan berupaya untuk memberikan masukan kepada DPR RI agar berhati-hati dengan kebebasan beropini dan berekspresi. Menurut dia, jangan sampai pasal-pasal “karet” dalam draf RKUHP itu justru mengekang kebebasan pers.
Pasal-pasal yang dimaksud Nezar adalah Pasal 285 ayat (1) dan (2), serta Pasal 305 huruf d dalam draf RKUHP (draf RKUHP 2 Februari 2018). Jika pasal ini diberlakukan, maka kebebasan berekspresi dan pers yang selama ini cukup baik menjadi terancam.
“Kami berharap agar wakil rakyat itu mendengar sejumlah kritikan dan me-review kembali pasal-pasal yang bisa mengancam kehidupan berdemokrasi,” kata Nezar kepada Tirto, Selasa malam (13/2/2018).
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers ini berkata, ada dua poin yang seharusnya diperhatikan oleh DPR dan pemerintah dalam revisi KUHP ini. Pertama, penyusunan rancangan KUHP ini seyogyanya menghargai prinsip kebebasan berekspresi. Kedua, pasal-pasal yang ada di draf revisi KUHP juga mempertimbangkan wilayah yang sudah diatur oleh UU Pers.
“Sebetulnya revisi KUHP itu sendiri juga banyak menyasar terhadap kebebasan masyarakat sipil, yang mungkin akan terancam oleh aturan-aturan yang sifatnya draconian yang bisa melibas ke sana ke mari,” kata Nezar.
Selain berita bohong yang kriterianya tidak jelas, Nezar juga menyoroti pasal yang mengatur soal fitnah di RKUHP. “Soal fitnah ini juga sebenarnya sudah menjadi perhatian sejak lama karena pasal ini bisa melebar menjangkau wilayah pers yang sebetulnya diatur oleh UU Pers,” kata Nezar.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Djauhar yang menyayangkan munculnya pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi mengancam kebebasan pers.
Menurut dia, apabila pasal terkait berita bohong dan tindak pidana terhadap proses peradilan disahkan, maka aturan itu bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi produk pemberitaan, baik dalam bentuk online maupun cetak.
Padahal selama ini, kata Djauhar, wartawan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh UU Pers. Karena itu, tidak perlu lagi diatur dalam RKUHP. “Itu kok jadi delik pidana gitu. Padahal selamanya, kalau produk pers itu seharusnya diselesaikan dengan UU Pers,” kata Djauhar kepada Tirto, Selasa malam.
Dewan Pers Minta DPR Mengkaji Ulang
Menyikapi hal tersebut, menurut Djauhar, Dewan Pers dalam waktu dekat ini akan menggelar pertemuan dengan komunitas media untuk membahas pasal-pasal dalam draf KUHP yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan kriminalisasi wartawan.
Selain itu, kata Djauhar, pihaknya juga akan meminta DPR untuk memperhatikan kebebasan pers dalam pembahasan draf RKUHP yang masih berjalan. Djauhar menyarankan agar delik pers tidak perlu dimasukkan dalam RKUHP, cukup menggunakan UU Pers yang selama ini cukup baik menjamin kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
“Tolong jangan dicampur-adukkan dengan kriminalisasi begitu. Kebebasan pers itu sudah dijamin sepenuhnya dalam UU Pers,” kata Djauhar.
Hal senada juga diungkapkan Nezar. Pemimpin redaksi The Jakarta Post ini mengatakan, Dewan Pers akan melakukan kontak dengan wakil rakyat di DPR untuk membahas pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi tersebut.
“Terutama Panja RUU KUHP ya, kalau bisa mendiskusikan pasal yang berpotensi beririsan dengan UU Pers, bukan hanya beririsan tapi bertabrakan dengan UU Pers, misalnya soal kriteria berita bohong, terus soal pemberitaan di pengadilan itu berpotensi menabrak UU Pers,” kata Nezar.
Pers Tak Pernah Dilibatkan
Pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR di Panja RUU KUHP memang tidak pernah melibatkan institusi pers. Akibatnya, beberapa poin dalam draf RKUHP justru bertolak belakang dengan UU Pers yang selama ini menjadi acuan kerja-kerja jurnalistik.
Menurut Nezar, secara kelembagaan Dewan Pers tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RKUHP tersebut. Namun demikian, Nezar berkata, saat bertemu dengan Komisi I DPR yang membidangi penyiaran, pihaknya pernah mengingatkan agar revisi KUHP memperhatikan kebebasan berekspresi.
“[Pembahasan] revisi KUHP ini kan sudah lama, dan prosesnya sudah bertahun-tahun, karena begitu banyak pasal-pasal yang di-review kami coba beri masukan waktu itu. Draf ini sendiri kami belum diajak konsultasi kembali tentang hal ini,” kata Nezar.
Pendapat senada juga diungkapkan Suwarjono (Pemimpin Redaksi Suara.com) dan Maryadi (Pemimpin Redaksi VIVA.co.id). Keduanya mengatakan, selama ini pembahasan RKUHP yang dibahas di Panja RUU KUHP tidak pernah melibatkan institusi pers.
Maryadi mengatakan, seharusnya DPR dan pemerintah melibatkan insan pers, baik Dewan Pers, organisasi profesi, maupun organisasi perusahaan pers dalam pembahasan yang menyangkut produk jurnalistik. “Dari awal memang tidak melibatkan. Saat pembahasan UU ITE, insan pers juga tidak dilibatkan,” kata Maryadi kepada Tirto.
Pendapat Maryadi ini diperkuat oleh penuturan Suwarjono. “Selama ini, baik di organisasi atau di personal tidak. Saya cek banyak di grup para pemred, asosiasi jurnalis bahkan dewan pers tidak dilibatkan. Mungkin ini upaya diam-diam untuk menggolkan pasal ini,” kata mantan Ketua AJI Indonesia ini.
Jono, sapaan akrab Suwarjono, berharap agar DPR memperhatikan masukan dan keinginan publik terkait pembahasan RKUHP ini. Jika suara publik ini tidak diperhatikan, dan DPR tetap mengesahkan RKUHP tersebut menjadi UU, maka uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi solusi terakhir.
“Tapi yang saya khawatirkan kalau JR, MK juga lagi sedang masuk angin, karena ketuanya yang sekarang ini sedang disorot oleh banyak pihak, dan tidak ada respons untuk pergantian,” kata Jono.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz