tirto.id - PT Pertamina (Persero) mengklaim kelangkaan elpiji 3 kg bersubsidi yang berlangsung selama sepekan terakhir diakibatkan lonjakan permintaan oleh masyarakat menjelang libur akhir tahun. Pertamina mengaku kaget lantaran lonjakan biasanya terjadi pada pertengahan hingga periode libur Natal dan Tahun Baru, bukan di awal Desember.
Namun, alasan Pertamina dinilai tak rasional oleh Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno. Menurut Agus perlu ada perhatian serius terkait sejumlah hal lantaran kelangkaan elpiji 3 kg yang merupakan barang subsidi sering terjadi.
Faktor pertama, yang harus diperhatikan adalah harga. Agus menilai, ada disparitas yang terlalu jauh antara harga elpiji 3 kg dengan 12 kg yang dijual Pertamina. Disparitas ini membikin konsumen beralih ke gas elpiji 3 kg.
“Selain murah, banyak konsumen menganggap praktis, mudah ditenteng. Konsumen kaya pun tak malu-malu menggunakan gas elpiji 3 kg karena alasan ini,” ujar Agus kepada Tirto Jumat (8/12/2017)
Faktor kedua, terkait dengan persoalan distribusi. Terkait pola distribusi ini, Pertamina dan pemerintah berencana mengubah pola distribusi dari sistem terbuka menjadi sistem tertutup.
Menurut Agus, pola distribusi ini berkaitan dengan masalah disparitas harga kedua jenis produk tersebut. Berdasarkan laporan yang diterima YLKI, banyak pengguna elpiji 12 kg hijrah menjadi pengguna elpiji 3 kg lantaran selisih harga keduanya terlalu jauh setiap per kg.
Sebagai gambaran harga elpiji 3 kg sekitar Rp16.000 atau Rp5.300 per kg, sedangkan elpiji 12 kg yang tak disubsidi Rp139.000 atau Rp 11.500 per kg.
“Ini menunjukkan adanya inkonsistensi pola distribusi oleh pemerintah,” kata Agus.
Faktor ketiga, kata Agus, ada kabar yang menyebutkan bahwa pemerintah akan mencabut subsidi elpiji 3 kg yang selama ini harganya disubsidi. Agus mengatakan kalau pemangkasan kuota elpiji 3 kg dari yang semula sebanyak 6,5 juta metrik ton menjadi 6,1 juta metrik ton tak sebanding dengan kenaikan permintaan produk berharga miring ini.
“Pemerintah makin limbung saat subsidi gas elpiji 3 kg terus melambung karena penggunaan gas elpiji 3 kg yang terus meningkat,” tutur Agus.
YLKI mendorong pemerintah mampu meningkatkan pengawasan terhadap potensi penyimpangan distribusi. Agus menilai pemantauan proses distribusi secara maksimal merupakan komitmen pemerintah dalam memasok kebutuhan gas bagi konsumen menengah ke bawah.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu menggandeng pemerintah daerah untuk turun ke lapangan guna melakukan pengawasan yang lebih intensif.
“Berikan sanksi tegas bagi distributor yang terbukti melakukan malapraktik distribusi dan melakukan pengoplosan. Kepolisian harus lebih bergigi untuk melakukan law enforcement,” jelas Agus.
Disinggung mengenai keluhan terbanyak dari masyarakat perihal elpiji 3 kg, Agus mengatakan bahwa masalah kelangkaan memang yang paling utama. Maka dari itu, selain mendorong pemerintah, Pertamina juga dinilai harus tegas dalam menyikapi aksi distributor yang nakal.
“Tanpa itu maka penyimpangan distribusi dan pelanggaran hak-hak konsumen menengah akan semakin besar. Mendapatkan gas elpiji dengan harga terjangkau adalah hak konsumen yang harus dijamin keberadaannya,” ujar Agus.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, pihaknya akan menyelidiki penyebab terjadinya kelangkaan peredaran tabung gas elpiji 3 kg di masyarakat.
“Kami akan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait untuk mengidentifikasi apakah ada penyimpangan yang membuat terjadi kelangkaan,” kata Agung, di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, seperti dikutip Antara.
Pihaknya pun meminta masyarakat ekonomi mampu agar tidak menggunakan tabung gas elpiji 3 kg dan beralih pada tabung gas elpiji 12 kg.
Berdasarkan data penyaluran harian elpiji 3 kg, hingga akhir November 2017, realisasi penyaluran telah mencapai 5,750 juta metrik ton, atau 93 persen dari kuota subsidi yang ditetapkan pada APBN-P 2017 sebesar 6,199 juta metrik ton.
Sampai dengan akhir Desember 2017, penyaluran elpiji 3 kg bersubsidi diperkirakan akan melebihi kuota sekitar 1,6 persen di atas kuota APBN-P 2017.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih