tirto.id - Tabung gas LPG yang sudah begitu akrab dengan rumah-rumah tangga di Indonesia saat ini melewati perkembangan yang sangat panjang. Pada 1968 atau hampir 50 tahun lalu masyarakat Indonesia mulai diperkenalkan dengan LPG atau Liquefied Petroleum Gas dengan merek dagang yang dirilis PT Pertamina (Persero) bernama Elpiji.
Pertamina mengemas LPG dalam tabung awalnya untuk memanfaatkan produk sampingan gas dari hasil proses pengolahan minyak di kilang. Karakter LPG yang praktis, bersih dan cepat panas menjadi pilihan konsumen. Kebijakan program konversi minyak tanah ke LPG sejak 2006 turut mengangkat pamor LPG dan penggunaannya semakin luas dengan lebih 50 juta rumah tangga di Indonesia.
Sebelum 2007, konsumsi LPG hanya 1 juta metrik ton (MT) per tahun. Namun kini kebutuhannya sudah berlipat-lipat hampir 7 juta MT per tahun. Sayangnya, pasokan LPG tak semuanya berasal dari dalam negeri, mayoritas masih diimpor dari Timur Tengah dengan nilai triliunan rupiah.
"Konsumsi LPG itu 6,5-6,7 juta ton setahun. Sekitar 4,5 juta ton dari itu kita impor," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Baca juga:Bongkar Pasang Penggawa Pertamina
Dari jumlah kebutuhan yang besar itu, pemain utama bisnis LPG masih didominasi Pertamina, dan pemain swasta seperti Blue Gaz. Segmen pasar LPG masih tersekat jadi dua yaitu LPG subsidi (3Kg) dan non subsidi atau komersial. Pengguna komersial umumnya adalah hotel, restoran, kafe dan industri. Tabung 12 kg segmen kebutuhan rumah tangga untuk non subsidi, kemasan 50 kg untuk kalangan komersial, dan LPG curah untuk kalangan industri.
Pasar gas tabung rumah tangga yang besar telah mengundang pemain seperti PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN untuk masuk ke segmen ini. Namun, PGN rencananya tak akan masuk ke produk LPG tapi LNG (Liquefied Natural Gas). Perseroan berencana mengemas LNG dalam kemasan tabung layaknya LPG yang sudah dikenal masyarakat. PGN mengusung LNG dengan mencoba mengangkat pamor sebagai solusi menekan impor LPG yang sudah kronis.
LNG Tabung dan Solusi Menekan Impor LPG
Selama ini LNG diekspor Indonesia ke banyak negara lebih banyak berstruktur C1 (metana) dan C2 (etana), yang memiliki tekanan yang sangat besar dan tidak ekonomis jika dimasukkan ke dalam tabung. Sedangkan LPG berstruktur C3 (propana) dan C4 (butana) yang memiliki tekanan yang lebih rendah sehingga mudah dimasukkan ke dalam tabung, sayangnya jumlah produksi di dalam negeri relatif terbatas.
PGN menyebut nama produk LNG kemasan tabungnya dengan nama Gaslink merupakan gas bumi yang dikompres sedemikian rupa hingga menjadi Compressed Natural Gas (CNG) yang kemudian didistribusikan menggunakan kendaraan untuk diantar hingga disuntikkan langsung ke tabung-tabung kemasan pengguna.
Gaslink juga merupakan produk gas yang setara dengan LPG 12Kg dan 50Kg. PGN mulai memasarkan Gaslink di sejumlah kota besar seperti Batam, Surabaya, Lampung, Bandung, dan Jakarta. Gaslink memang belum diluncurkan secara resmi. PGN masih sebatas melakukan uji coba pemasaran. Pangsa pasar yang dibidik adalah industri menengah, hotel dan restoran. Sayangnya, manajemen PGN masih merahasiakan harga persis produk Gaslink.
Baca juga:PGN Perluas Jaringan Gas Bumi
"Kalau harga sih kompetisinya sama LPG 12Kg. LPG itu harganya mahal lho, kalau PGN punya ya pasti lebih murah dong," ujar Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN, Dilo Seno Widagdo di Bogor, pekan lalu.
"Kalau mau lihat, silahkan datang ke Rumah Makan Ayam Suharti. Mereka sudah pakai. Kita akan launch dalam waktu dekat," kata Dilo.
Sejauh ini pelanggan CNG Gaslink adalah Hotel Dharmawangsa, Hotel Somerset, Top Yammie, Kimia Farma, hingga kantin Kementerian BUMN.
Dengan Gaslink, PGN mengklaim pelanggan bisa hemat lebih dari 20 persen dibandingkan memakai LPG. Dilo memperkirakan kemungkinan harga CNG tabung milik PGN bisa dijual di bawah Rp100.000 per 12kg.
"InsyaAllah bisa," kata Dilo.
PGN memang menyiapkan Gaslink sebagai subtitusi dari LPG. Tentu produk ini akan berhadapan langsung dengan produk LPG dari Pertamina, Blue Gaz dan lainnya. Namun, PGN yakin produknya tak hanya lebih terjangkau harganya tapi dapat membantu mengurangi jumlah impor gas LPG.
Selama ini rantai distribusi LPG panjang sehingga berpengaruh pada komponen harga yang tinggi hingga ke tangan konsumen. Sementara CNG atau LNG kemasan, cukup mencari pipa gas terdekat, kemudian didistribusikan menggunakan kendaraan untuk diantar hingga disuntikkan langsung ke tabung-tabung milik pengguna. Di sisi lain, Gaslink juga sebagai solusi PGN untuk mendistribusikan gas bumi pada wilayah yang belum terdapat jaringan pipa gas bumi.
Pemain lama seperti Pertamina turut menanggapi upaya PGN masuk ke segmen bisnis gas tabung kemasan. LNG kemasan berpotensi menggerus pasar LPG yang sudah berpuluh-puluh tahun mengisi pasar Indonesia.
Baca juga:Laba Pertamina yang Tergerus Saat Harga Minyak Naik Terus
Direktur Pemasaran Pertamina, M. Iskandar mengatakan bahwa bukan hal yang tidak mungkin Gaslink bisa merebut pangsa pasar LPG hingga akhirnya berdampak pada turunnya impor LPG. Hanya saja, untuk program masif seperti Gaslink tentunya membutuhkan usaha yang besar dan waktu yang relatif lama, mengingat besarnya volume kebutuhan masyarakat.
"Seperti CNG atau Gas kota untuk target 400 ribu pelanggan saja perlu waktu dan biaya besar, padahal itu saja belum menjangkau 1 persen pelanggan LPG yang sebesar 55 juta pelanggan," kata Iskandar kepada Tirto.
PGN harus membuktikan targetnya menjadi pemain gas tabung kemasan. Mereka juga harus memutar otak menyiapkan strategi pemasaran yang jitu, meyakinkan soal keamanan produk dan kemudahan isi ulang oleh konsumen.
Perusahaan transportasi gas ini juga tak hanya "menjual" pamor LNG dapat menekan impor dan iming-iming produk berharga miring untuk menghadapi LPG yang sudah mengakar puluhan tahun lamanya di masyarakat Indonesia. Dan itu tentu bukan suatu yang mudah.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra