tirto.id - Persaingan bisnis tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) bakal semakin ketat setelah kedatangan pemain baru PT Sierra Nusa Gas. Belum lama ini perseroan meluncurkan produk LPG yang diberi nama Nusagaz.
Induk usahanya, yaitu PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) sebelumnya juga masuk ke bisnis Bahan Bakar Minyak (BBM), melalui SPBU Vivo yang terkenal dengan harga yang miring.
Kehadiran produk tabung LPG Nusagaz yang masih sebatas uji coba di Surabaya beberapa hari lalu menjadi pesaing pemain lama seperti Elpiji PT Pertamina (Persero) dan Blue Gaz keluaran PT Blue Gas Indonesia yang sudah lama eksis.
Mampukah Nusagaz merebut pangsa pasar Elpiji Pertamina atau Blue Gaz?
Pada bisnis LPG, Vivo Energy masih tetap menerapkan pemasaran produk yang dijual dengan harga yang terpaut jauh dengan kompetitor. Strategi yang sama saat Vivo menjual BBM berkadar Research Octane Number (RON) 89 dengan harga jauh lebih murah dibanding BBM RON 88 Premium yang dijual Pertamina Rp6.550 per liter. RON 89 SPBU Vivo atau Revvo 89 sempat dijual Rp6.100 per liter tapi mulai 4 November naik jadi Rp6.300.
Nusagaz yang dijual Vivo dengan variasi ukuran yang jauh di bawah harga pesaing. Namun, ukuran tabung dari masing-masing pemain LPG tidak lah sama. Nusagaz ukuran tabung 60 harga rata-rata di Jawa Rp460.000 per tabung. Sementara itu, Elpiji Pertamina ukuran 50 kg yang harga rata-rata di Jabodetabek Rp651.000 per tabung.
“Harga tersebut merupakan harga akhir, atau harga yang ditawarkan kepada konsumen," kata Corporate Communication PT Vivo Indonesia Maldi Aljufrie dikutip Antara.
Nusagaz sudah diluncurkan sejak 30 November 2017 di halaman parkir Grandcity Surabaya Mall. Namun Nusagaz baru bisa dijual secara umum pada triwulan I-2018 karena masih ada proses administrasi yang belum selesai. Maldi mengklaim produk Nusagas tersebut telah melalui uji tabung serta keamanan berkali-kali.
Strategi Vivo sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat, terlebih dengan harga yang relatif lebih murah. Sehingga secara teori persaingan sempurna di pasar akan mendorong terciptanya efisiensi antar produsen, yang pada akhirnya memicu penurunan harga jual.
“Hanya saja, murahnya harga Nusagaz hanya sebatas strategi masuk ke pasar, bukan karena efisiensi. Sebab, pada akhirnya Vivo akan menaikkan harga juga. Seperti halnya Revvo 89 yang awalnya dijual Rp6100, lalu naik jadi Rp6300,” ujar Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi kepada Tirto.
Sebagai pendatang baru, Vivo tidak bisa menjual produknya sama dengan harga produk Pertamina, apalagi lebih mahal. Itu jelas akan membuat bisnis Vivo tidak mampu bersaing. Apalagi bila Vivo konsistensi mematok harga murah bisa saja membuat konsumen berpaling dari pemain lama.
“Kalau Vivo bisa konsisten dalam enam bulan ke depan, mengindikasikan bahwa Vivo memang lebih efisien dari Pertamina. Tidak bisa dihindari jika Vivo akan memenangkan persaingan,” katanya.
Di atas kertas, strategi pemasaran dengan memberikan harga promo yang sangat murah memang berpeluang efektif untuk mencuri pangsa pasar. Namun, hal itu hanya ampuh untuk jangka pendek. Alasannya penjual seperti Vivo tentu tidak bisa terus menerus merugi akibat "harga promosi" di awal peluncuran.
Kehadiran Nusagaz ditanggapi santai oleh manajemen Pertamina. Namun, Nusagaz hadir di saat yang tepat saat konsumen banyak mendapat pilihan para pemain.
“Sudah ada yang lain juga, seperti Blue Gaz. Sebetulnya bukan hal baru,” kata Direktur Pemasaran Pertamina M. Iskandar kepada Tirto.
Penetapan harga miring yang dilakukan Vivo masih dalam strategi pemasaran. Namun produsen yang mampu memberikan kepuasan bagi pelanggan, sangat tak mustahil bisa merebut pangsa pasar berikutnya dari tangan pendahulunya.
_________________
Catatan: Pada artikel ini untuk harga LPG merek Nusagaz dan Pertamina telah mengalami koreksi dan berlaku sebagai harga rata-rata.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra