tirto.id - "Pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk menyalurkan BBM dengan mengikuti peraturan. Vivo ini menjual RON 89, 90, dan 92. RON 89 pada hari ini dijual Rp6.100. RON-nya sedikit lebih tinggi, harganya juga bersaing sehingga masyarakat juga punya pilihan," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, usai meresmikan SPBU Vivo di Cilangkap, akhir Oktober lalu.
Kehadiran Jonan dalam peresmian SPBU Vivo menimbulkan kontroversi. Ada suara yang menganggap Jonan hadir layaknya seorang marketing sebuah perusahaan. Namun, ada yang menangkapnya sebagai pesan dari Jonan sebagai "teguran" halus kepada PT Pertamina soal inefisiensi di Pertamina yang berdampak pada tingginya harga jual produk BBM di SPBU Pertamina.
Baca juga:Laba Pertamina yang Tergerus
Namun, manajemen Pertamina menanggapi santai soal kehadiran SPBU Vivo. Pertamina justru tidak berkenan jika kehadiran merek baru itu disebut sebagai pesaingnya. "Ini outlet kita ada 6.300 SPBU, kalau dibandingkan dengan satu gelintir, ini nggak sebanding, jangan diobrolin inilah. Nanti kalau mereka (Vivo) ada 50 SPBU mau di-compare bisa. Udah gitu lokasinya di Cilangkap lagi," kata Direktur Pemasaran Pertamina, Mochammad Iskandar dalam sebuah kesempatan pekan lalu di Jakarta.
BUMN energi ini boleh saja memberikan isyarat bahwa mereka sama sekali tidak khawatir pangsa pasarnya akan direbut oleh pendatang baru. Apalagi sebelum kehadiran Vivo, Pertamina sudah punya pesaing seperti SPBU Shell, Total, dan Petronas yang sudah tutup. Namun, yang membedakannya, kehadiran Vivo punya nilai lebih terutama ihwal harga.
Vivo memang menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) berkadar Research Octane Number (RON) 89 dengan harga jauh lebih murah dibanding BBM RON 88 Premium yang dijual Pertamina. RON 89 SPBU Vivo atau dengan merek dagang Revvo 89 sempat dijual Rp6.100 per liter (mulai 4 November naik jadi Rp6.300). Mereka juga punya Revvo 92 dengan harga Rp 8.250 per liter, Revvo 90 dengan harga Rp7.500 per liter, yang harganya sama dengan Pertamina.
Sedangkan RON 88 (Premium) di SPBU Pertamina dijual Rp6.550 per liter. Harga yang lebih mahal dari kompetitor itu malah masih dianggap belum sampai keekonomian BBM Premium oleh Pertamina yang ditaksir Rp7.100 per liter.
Persoalan harga ini memang kompleks, Pertamina di sisi lain punya distribusi yang jauh lebih luas ke seluruh Indonesia dengan biaya distribusi beragam di masing-masing daerah. Di sisi lain, Vivo sebagai pendatang baru masih di Jakarta, yang mana persoalan distribusi bukan lagi masalah. Selain itu, bisa saja Vivo melakukan strategic pricing bagi produknya. Namun, Vivo mengklaim mereka masih mendapatkan untung.
Jual Miring Tetap Dapat Untung
Corporate Communication Vivo Energy Indonesia, pengelola SPBU Vivo, Maldi Al-Jufrie mengaku tetap mengantongi untung dari penjualan BBM Revvo 89. Sayangnya Maldi enggan menyebutkan secara pasti angka keuntungannya. Kementerian ESDM telah menegaskan harga jual termasuk distribusi BBM oleh Vivo tidak melanggar aturan.
"Pasti ada dong (untung), kan kami bukan lembaga amal. Harga itu berdasarkan hitungan keekonomian pada saat crude $55 per barel, dan bisa saja berubah sesuai harga minyak dunia," kata Maldi.
Ia mengaku saat ini Vivo masih mengimpor pasokan BBM, tanpa mengungkap asal negara pemasok. Maldi menepis soal rumor yang menyebut Vivo mencampurkan zat octane booster demi mengubah RON 88 menjadi RON 89. Octane Booster adalah zat aditif yang berfungsi meningkatkan jumlah oktan dalam BBM. Buruknya, penggunaan zat aditif akan menyisakan banyak jelaga yang mengotori komponen mesin kendaraan.
"Kami sudah menyerahkan hasil lab kepada Pemerintah mengenai hal ini," ujar Maldi.
Vivo juga akan terus memperkuat jaringan SPBU dengan membuka kembali beberapa SPBU dalam waktu dekat, dan berkomitmen untuk tetap membangun SPBU di luar Jawa Madura dan Bali (Jamali).
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, bila Vivo bisa konsisten dalam menjual Revvo 89 di bawah harga Premium RON 88, Fahmy menganggapnya semakin membuktikan adanya inefisiensi di Pertamina. Fahmi juga menantang Vivo agar merealisasikan wacana membangun SPBU di wilayah terluar yakni Pulau Seram, dengan harga Revvo 89 yang sama dengan di wilayah Jamali.
“Vivo harus bisa membuktikan kalau ini bukan hasil dari manipulasi harga. Kalau bisa menjual RON 89 dengan harga yang sama, artinya memang Vivo jauh lebih efisien,” kata Fahmy.
Merespons soal kabar itu, pihak Vivo melalui Maldi menegaskan bahwa pada 30 November 2017, Vivo akan membuka dan mengoperasikan SPBU yang kedua di wilayah Pulau Seram, Maluku.
“Dengan harga Revvo 89 yang sama dengan wilayah Jamali (Jawa-Madura-Bali),” tutur Maldi.
Siapa Vivo?
Mayoritas saham PT Vivo Energi Indonesia dipegang oleh Vitol Asia Pte Ltd yang berbasis di Singapura, dan terafiliasi dengan Vitol Group yang berbasis di Swiss. Selain di Indonesia, Vivo juga telah beroperasi di Singapura, Belanda, London, Afrika dan Australia. Sebelumnya, SPBU VIVO didaftarkan oleh PT Nusantara Energy Plant Indonesia (NEPI).
Namun, tes operasi tidak bisa dilanjutkan lantaran izin administrasi tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah, yaitu nama operator PT NEPI harus sesuai dengan nama SPBU. Kemudian induk usaha memutuskan untuk mengganti nama NEPI menjadi PT Vivo Energy Indonesia pada 19 Oktober 2017 lalu.
Vitol Asia Pte Ltd merupakan perusahaan trading minyak yang sudah memiliki fasilitas kilang blending dan pengolahan di beberapa negara, termasuk di Fujairah UAE fasilitas refinery berkapasitas 80.000 barel per hari. Selain itu, Vitol juga terdaftar sebagai mitra Pertamina dalam hal pengadaan minyak. PT NEPI bukanlah pemain baru dalam bisnis ritel migas.
Menurut sumber Tirto, rencana NEPI mendirikan SPBU sudah dimulai sejak 2016 lalu, saat itu pemegang saham minoritas NEPI ingin menggunakan merek SPBU Nusantara. Namun, Vitol selaku pemegang saham mayoritas tetap ingin menggunakan merek internasional yakni Vivo.
Di luar persoalan siapa Vivo, langkah Menteri ESDM Ignasius Jonan yang mengizinkan adanya produk BBM baru dengan RON 89 patut dipertanyakan. Alasannya karena RON 88 atau 89 tidak memenuhi standar energi bersih dan terbarukan. Keduanya tidak memenuhi standar Euro 2. Padahal saat ini standar dunia sudah di level Euro 4.
“Ini namanya tidak konsisten dan langkah mundur. Seharusnya Menteri ESDM malu, negara lain berusaha untuk lolos Euro 3 dan Euro 4, sementara Indonesia belum lolos dengan Euro 2,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi kepada Tirto.
Baca juga:Indonesia Masih Tertinggal Standar Emisi Kendaraan
Tulus memandang bahwa memang seharusnya SPBU Vivo didorong untuk beroperasi di daerah terluar Indonesia, seiring dengan program pemerintah yang getol dengan kebijakan satu harga untuk BBM. “Di daerah tersebut masyarakat dianggap jauh lebih membutuhkan karena masih minimnya infrastruktur SPBU,” kata Tulus.
Beroperasinya SPBU Vivo yang menjual BBM dengan kualitas relatif rendah memberikan penegasan pemerintah yang tidak konsisten dengan target mengurangi emisi kendaraan. Di sisi lain, Vivo menjadi catatan buat Pertamina dalam mengelola harga BBM yang lebih bersaing. Selain itu, Vivo pun harus membuktikan bahwa harga miring di SPBU mereka bukan sebatas gimmick pemasaran sebagai pendatang baru.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra